Namanya WW, sudah delapan tahun hidup di Eropa, kuliah hingga Master dan sekarang bekerja disana, menetap dan mungkin tidak kembali lagi. WW anak yang hilang, anak lelaki satu-satunya dari tiga bersaudara, sekarang dibuang begitu saja, tidak lagi diakui sebagai anak dalam keluarganya yang Kristen taat. Pulang natal dua tahun lalu pun WW hanya datang bertamu ke rumahnya untuk makan malam natal, untuk mencegah kemungkinan pertengkaran, WW mengajak Devi, teman perempuannya yang berjilbab untuk bertamu kerumahnya sendiri. Itu makan malam pertama bersama keluarganya lagi sejak dia diusir dari rumah dua tahun sebelumnya. Sekalipun sudah bisa berkomunikasi dengan Ibu dan saudara-saudaranya, tapi tidak lagi seperti dulu, ada kesedihan dan dinding yang tinggi. Apalagi dengan Ayahnya yang sampai saat ini tidak mau bertukar kata sama sekali. WW sudah mati baginya, kemarahannya mengalahkan kesedihan dan rasa rindu pada anak lelaki semata wayangnya. Anak lelaki yang diharapkan membawa marga. Di usianya yang senja tidak mungkin dia memiliki anak lagi, bahkan dengan perempuan lain, karena cintanya sangat besar pada sang istri.
WW sudah merasa berbeda sedari masih anak-anak, dia menyimpannya. Dia tidak menyalahkan lingkungannya yang lebih banyak perempuan dibanding laki-laki atau kesibukan ibunya yang menjadi dokter di rumah sakit. Dia memang memiliki mimpi, khayalan dan keinginan-keinginan yang berbeda sedari masih kecil. Sejauh itu dia bisa menyembunyikan diri, mengendalikan diri, tidak tergoda untuk ikut main boneka walaupun ingin. Tidak kecentilan dengan sepatu tinggi atau make up ibu nya, walau dia tahu itu adalah alat yang dipakai untuk menarik pria. Ketabahan WW membuat penampilannya tetap maskulin hingga sekarang, hanya hatinya merasa berbeda, tertarik pada sesama pria.
Pergumulan batin terberat baginya adalah rasa bersalah kepada Tuhan dan kedua orang tua nya. WW adalah anak gereja yang aktif dalam berbagai kegiatan, bahkan menjadi pemain piano untuk kelompok paduan suara. Suaranya  yang ngebas sesuai dengan ukuran tubuhnya yang XL, tinggi besar. Dia menjalani masa kecil dan remaja dalam suasana keimanan yang taat, yang membuatnya selalu menangisi mimpi-mimpi yang membangunkannya di tengah malam.
Selepas SMU WW berangkat ke Eropa dan sekolah disana. Ibarat singa masuk hutan, WW mendapatkan habitat yang selama ini diinginkannya, juga kebebasan untuk mengekspresikan dirinya. WW segera menjalin hubungan dengan beberapa pria sampai dia menemukan seseorang yang tepat dengan mimpinya selama ini. WW mengikuti beberapa aktivitas gay termasuk perkumpulan gay pelajar, WW memiliki sosialita dimana dia bisa mengaktualisasi diri, menjadi dirinya sendiri dan menemukan kenyamanan disana. Keluarganya di indonesia jelas tidak tahu semua itu, disimpan rapat.
WWÂ telah berpasangan dengan seseorang secara tetap, bahkan sudah menyatakan relationship secara formal. Lelaki paruh baya yang sangat menyayanginya dan memberikan dukungan pada study WW bahkan secara finansial. Sebagai anak keluarga mampu di Jakarta WW sebenarnya tidak perlu dukungan finansial lagi, tetapi hal itu menambah kemandirian WW di awal usia dewasanya. Euforia pergerakan gay dan lesbian yang cenderung mengajak sesama mereka untuk coming out, memproklamirkan dirinya sebagai Gay secara terbuka sangat mempengaruhi WW saat itu. Tekanan perasaan selama ini karena harus merahasiakan identitas ke Gay annya membuatnya marah dan merasa harus bersolidaritas pada sesama kaum yang tertekan. Dia harus coming out, harus menyatakan diri secara terbuka bahwa dia adalah Gay, keluar dari closet ......
Empat tahun lalu, WW pulang ke Indonesia dengan tekat untuk membuka diri pada keluarganya. Itu adalah malam bencana bagi mereka sekeluarga, Ayahnya marah sekali sampai hampir menamparnya, Ibunya menangis, juga kedua saudaranya. Mereka semua bersedih mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Malam itu juga WW diusir dari rumahnya, Dia menginap di rumah Devi, becerita banyak padanya semalam suntuk.
Sekarang WW sudah mulai bisa berkomunikasi lagi dengan Ibu dan kedua saudara perempuannya. Dalam satu pembicaraan Ibunya pernah berkata " Kau tidak fair dengan menceritakan keadaan mu sebenarnya. Kau hidup di Eropa yang orang lain bisa menerima pilihan hidupmu itu, sedangkan kami ada di Indonesia dengan segala tata krama pergaulan yang ada. Dulu kami bisa secara jujur menjawab pertanyaan teman-teman terutama teman gereja mengapa kamu tidak juga segera menikah. Tapi sekarang kami harus berdusta pada mereka, kami tidak bisa mengatakan yang sebenarnya"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H