Sudah melekat hampir di setiap benak orang, ketika memasuki hari-hari terakhir menjelang hari raya Iedul Fitri ada sebuah kata yang sering diperbincangkan dan diharapkan kehadirannya yaitu "Tunjangan Hari Raya" atau THR.Â
Sebenarnya pemberian THR tidak hanya pada hari raya Iedul Fitri saja, bagi umat kristen dan katholik pemberian THR dilakukan pada hari raya Natal, sedangkan umat hindu pada hari raya Nyepi dan umat Budha pada hari raya waisak. Intinya pemberian THR dilakukan sesuai hari raya keagamaan tiap-tiap pekerja.
Sebagaimana dikutip dari Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan, dinyatakan bahwa: "Tunjangan Hari Raya atau biasa disebut THR adalah pendapatan non upah yang wajib dibayarkan pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan di Indonesia. THR ini wajib dibayarkan paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan.
Siapa saja yang disebut Pengusaha, sehingga wajib mengeluarkan THR?
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia (UU) Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan , Pengusaha adalah setiap orang perseorangan atau persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu jenis perusahaan; sedangkan Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba. Sementara menurut Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016, Pengusaha adalah:
- orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri
- orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknyaÂ
- orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan milik sendiri atau bukan miliknya yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia Â
Lalu , siapa saja pekerja yang berhak mendapat THR?
Masih menurut Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016, yang berhak mendapat THR adalah para pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih maka mereka berhak mendapat THR sebesar satu bulan upah. Â Sedangkan Pekerja/buruh yang memiliki masa kerja minimal 1 bulan secara terus-menerus tetapi kurang dari 12 bulan, diberikan THR secara proporsional, dengan menghitung jumlah masa kerja dibagi 12 (dua belas) bulan dikali satu bulan upah.
Menjadi pertanyaan dan keinginan besar adalah Bagaimana THR bagi para Pendidik dan Tenaga Kependidikan Non PNS/ Honorer atau Pegawai Yayasan?Â
Jika melihat definisi yang ada dalam UU No. 3 Tahun 1982 maupun Permennaker No. 6 Tahun 2016, tidak ada satupun yang terkait dengan satuan pendidikan atau sekolah. Biasanya pemilik dari sebuah sekolah memiliki badan hukum yang bernama yayasan bukan Perseroan Terbatas, CV , maupun bentuk usaha lainnya yang bersifat profitable.Â
Tujuan didirikannya yayasan, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No.28 Tahun 2004 tentang Yayasan, adalah lebih bersifat sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, dan kalaupun ada unsur laba atau keuntungannya tidak terlalu signifikan jika dibandingkan PT atau CV. Artinya, pemilik sebuah sekolah swasta bukanlah sebuah perusahaan, sehingga tidak terkena kewajiban Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya.
Namun demikian, Jika merujuk pada kinerja dan masa kerja para pendidik dan tenaga kependidikan di sebuah sekolah, selayaknya mereka pun bisa mendapatkan hak yang sama dalam Tunjangan Hari Raya. Namun, karena belum adanya payung hukum atau kekuatan hukumnya maka selama ini yang terjadi adalah mereka bisa mendapatkan THR dengan tidak ada ketentuan besaran nominal rupiahnya atau bahkan sama sekali tidak mendapat THR bergantung kemampuan sekolah atau yayasannya.
Perlu dicarikan solusi terbaik, khususnya oleh mereka sebagai pemangku kebijakan di negeri ini. Di tengah anggaran pendidikan yang sudah mencapai angka 20 % dari APBN, atau  sebesar Rp549,5 triliun pada tahun 2021, sudah selayaknya nasib para guru honorer diperhatikan terkait kebijakan pemberian THR. Apalagi banyak di antara mereka yang hanya mengandalkan upah dari honor yang mereka terima berdasarkan jumlah jam mengajar yang dimilikinya.Â