Demonstrasi yang terjadi belum lama ini di Amerika Serikat, sebagai reaksi atas meninggalnya George Floyd telah berlangsung tidak kurang selama 12 hari dan meluas hampir di 700 kota dari 50 negara bagian. Aksi ini berdampak pada melonjaknya jumlah kasus positif covid-19 lebih dari 250.000 orang dan kasus kematian lebih dari 11.000 orang. Perlu diketahui, bahwa per 6 Juni 2020 worldometers mencatat kasus covid-19 di Amerika Serikat sebanyak 1.988.554 orang, dan angka kematian mencapai 112.096 orang. Sementara pada 26 Mei 2020, kasus positif covid-19 di Amerika sebesar 1.738.149 orang, dan angak kematian sebanyak 100.800 orang. Data ini menunjukkan kurang dari dua pekan (12 hari) telah terjadi lonjakan kasus sebesar 250.405 orang dan tambahan angka kematian sebesar 11.296
Lonjakan kasus covid-19 di Amerika Serikat ini bisa terjadi, minimal disebabkan oleh beberapa hal :
1. Para demonstran mengabaikan aturan phisical distancing atau menjaga jarak. Kita dapat melihat di layar televisi atau media elektronik lainnya, bahwa dalam melakukan aksi demonstrasi, sudah tidak ada jarak lagi antara para demonstran. Mereka begitu rapat menyatu dalam kerumunan besar, bahkan sampai ribuan orang
2. Banyak di antara para demonstran yang tidak  menggunakan masker. Kita tahu bahwa mengenakan masker adalah salah satu upaya mencegah penularan covid-19, bahkan menurut sebuah reset menggunakan masker kain saja sudah mampu mengurangi tingkat penularan sampai 90 %.
3.Adanya upaya pembubaran demonstran oleh pertugas dengan menggunakan gas air mata dan semprotan merica. Penyemprotan zat-zat ini akan menyebabkan batuk, dan membuat hidung, mulut, dan mata mengeluarkan lendir. Lendir inilah yang akan menjadi media efektif penularan covid-19.
Lantas bagaimana dengan aksi demonstrasi yang terjadi di Indonesia kemarin?. Sebagaimana telah kita ketahui, pada hari Rabu 24 Juni 2020 di depan gedung MPR/DPR, telah terjadi aksi demonstrasi penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pncasila (RUU HIP) yang dihadiri oleh ribuan orang. Akankan aksi demonstrasi ini akan menjadi klaster baru penyebaran covid-19 di Indonesia?. Tentunya kita semua berharap hal demikian tidak terjadi.
Menurut sumber www.covid19.go.id, bahwa pada hari kamis 25 Juni 2020 terjadi penambahan kasus terkonfirmasi positif sebesar 1.178 orang, sehingga total kasus terkonfirmasi positif sebanyak 50.187 orang dan meninggal sebanyak 2.620 orang (tingkat kematian/mortal rate sebesar 5,22 %). Kalau kita melihat data ini, grafik tingkat penyebaran covid-19 di Indonesia masih tinggi dan belum ada tanda-tanda akan melandai, sehingga kita masih harus benar-benar disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan.
Kembali ke hubungan antara demonstrasi menolak RUU HIP dengan penyebaran covid-19. Penulis masih optimis bahwa demonstrasi menolak RUU HIP di depan gedung DPR/MPR tidak akan menjadi klaster baru penyebaran covid-19, dengan beberapa catatan dan alasan.
Alasan Pertama:Â Jumlah peserta aksi tidak sebanyak yang terjadi di Amerika Serikat.
Kedua :Â Gerakan aksi massa relatif tertata di bawah komando dan koordinator lapangan yang ditaati oleh peserta aksi, termasuk himbauan penggunaan masker dan menjaga jarak. Walaupun dua hal ini tidak bisa diharapkan seratus persen dilakukan oleh peserta aksi. Berbeda dengan yang terjadi di Amerika Serikat, dimana aksi dilakukan secara "keras" bahkan terjadi kerusuhan dan penjarahan di beberapa titik.
Ketiga :Â Tidak adanya upaya pembubaran massa oleh petugas dengan penyemperotan gas air mata atau bubuk merica.