Yang pernah sekolah pasti juga pernah merasa bagaimana rasanya liburan. Seneng bangetkan? Kalau saya jelas seneng banget. Bisa puas di rumah, puas jalan-jalan, puas berlibur, puas tidur pula.
Tapi kalau liburnya bukan karena hari libur tapi karena wabah viris corona bagaimana? Tetap di rumah tapi masih wajib belajar. Di mana enaknya? Sudah sendirian tak ada teman, belajar seperti biasa lagi. Sebellah rasanya.
Persis apa yang terjadi di Wuhan ini. Karantina akibat wabah virus corona di Wuhan, China memaksa sekolah untuk tutup dan murid-murid dirumahkan. Tapi mereka tetap harus mengikuti pelajaran secara online dari rumah menggunakan aplikasi bernama DingTalk. (Detik.com, 11/3/2020)
Anak-anak memberikan bintang satu dan ulasan jelek pada aplikasi tersebut. Ternyata anak-anak di Wuhan tahu rumor yang menyebut aplikasi dengan bintang satu akan ditendang dari Apple App Store. Ungkapan kekesalan karena tidak bisa sekolah atau memang karena kebiasaan main-main dan bercanda pada anak di Wuhan. Entahlah.
Yang jelas, DingTalk sampai membuat video berisi permintaan maaf yang diunggah di Bilibili, layanan streaming di China. Video tersebut telah ditonton hampir 17 juta kali dan berisi meme dan kartun dengan lirik yang memohon ulasan lebih baik.
Coba, alangkah dahsyatnya pekerjaan anak. Jika mereka bersepakat, bahkan DingTalk pun mengkhawatirkan aplikasinya ditendang dari Apple App Store.
Kasus DingTalk telah memberikan gambaran kepada kita betapa dahsyatnya kekompakan, kebersamaan, dan persatuan mereka. Meski sepertinya hanya karena "persamaan rasa" mampu merepotkan DingTalk.
Bagaimana peserta didik kita? Mampukah Mas Nadiem membuat gebrakan yang menjadikan "persamaan rasa" pada peserta didik kita?
Langkah gemilang Mendikbud dengan merdeka belajarnya, compassion, computation skill, hybrid skill, sekolah penggerak, dan pelajar pancasila tinggal mencari "gong" dalam sebuah gerakan yang memunculkan "persamaan rasa" pada peserta didik.
Langkah perubahan dan perbaikan kurikulum, anggaran pendidikan dalam penambahan dan perbaikan sarana dan prasarana sekolah, kepala sekolah dengan program sekolah penggerak, dan peserta didik dengan "Pelajar Pancasila" sepertinya sudah lengkap. Tinggal satu lagi yang belum yaitu moto yang membangkitkan "persamaan rasa" menjadi pemicunya.
Bagaimana menjadikan peserta didik memiliki "persamaan rasa" yang membuat mereka benar-benar merdeka belajar. Apa pun sebutannya, yang penting mampu menggerakkan rasa peserta didik untuk berubah kearah yang lebih baik dari sekarang. Tak ada lagi kekerasan di sekolah, tak ada lagi perundungan, pelecehan, tawuran, dan sebagainya.