Entah kapan mulainya, istilah jam kosong sudah melekat pada benak siswa. Bila guru lambat masuk kelas atau berhalangan karena tugas luar atau pelatihan, isitilah jam kosong keluar dari mulut mereka.
Sejak di SD, hingga SMA istilah jam kosong sudah melegenda. Mengapa bisa?
Beberapa tahun lalu ketika dimuali pemberlakuan Kurikulum 13, perangkat pembelajaran jumlahnya setumpuk. RPP saja untuk satu KD bisa menghabiskan kertas 24 hingga 30 halaman. Belum lagi ditambah dengan perangkat penilaian, lembar kerja siswa, jurnal mengajar dan seterusnya. Sungguh menyita waktu guru untuk menyelesaikannya.
Kepala sekolah dan pengawas pembina memang mendapat tugas untuk memeriksa administrasi pembelajaran guru tersebut. Jadi guru mau tidak mau harus menyelesaikan tetap waktu. Saking banyaknya administrasi yang wajib diselesaikan akhirnya kelas pun tertinggalkan.
Semakin banyak guru yang mengerjakan tugas administtasi di kantor pada jam pembelajaran, maka kelas pun tertinggalkan. Pengawas harian tak akan mungkin menggantikan, mengingat guru yang bertugas saat itu ada di tempat. Kecuali yang bersangkutan tugas luar atau mengikuti pelatihan dan sebagainya.
Pada sekolah yang jumlah tenaga pendidiknya terbatas, memang sebagian besar guru mendapat tugas tambahan. Ada yang sebagai bendaharawan bos, pengelola ruang, bendahawaran bosda, bom, operator dapodik dan lain-lain. Sementara jumlah jam mengajar tidak dikurangi.
Akhirnya mau tidak mau, ketika pulang ke rumah para guru pun harus lembur. Jika tak selesai lemburannya terpaksa dikerjakan di sekolah lagi. Nah, waktunya untuk masuk kelas kemudian tersita dikejar batas akhir pelaporan dan sebagainya. Masuk kelas pun tidak dilakukan. Siswa menjadi nomor dua.
Padahal ketika kelas kosong inilah rawan terjadinya perundungan, kekerasa, dan sebagainya. Semakin sering kelas kosong maka akan semakin kasar dan beringas penghuni kelas.
Siswa tida serta merta disalahkan, namanya juga anak-anak. Kadang dimulai dengan bercanda, lalu saling balas. Semakin hari pembalasan demi pembalasan menjadi kebiasaan. Dan yang jelas yang kuat dan banyak teman yang punya banyak dukungan. Sementara yang kalah jadi korban perundungan.
Langkah Nadiem Makarim menghapuskan perangkat pembelajaran yang bertumpuk sedikit memberikan angin segar buat guru. Walau pun begitu, harusnya tugas tambahan bagi guru yang memang tidak berhubungan langsung dengan siswa dimintakan pada orang lain mengerjakannya.
Kebijakan pengangkatan tenaga honorer yang dilarang juga memeberikan beban tersendiri buat kepala sekolah untuk mencarikan solusi bagi pengganti tugas tersebut. Jadi walaupun beban kerja dari pengurangan perangkat pembelajaran sudah berkurang, beberapa guru harus tela dianggap malas masuk kelas karena sibuk menyelesaikan laporan-laporan keuangan.