Aduhai perempuan, malang nian nasibmu. Mungkinkah kalian ditakdirkan untuk tinggal dalam rumah saja. Hanya duduk manis sambil menyusui anak. Sambil bersih-bersih kasur, kamar, dapur, dan pekarangan rumah.
Tak boleh ke luar rumah, tak boleh membantu ekonomi keluarga. Tak boleh bekerja. Bagaimana mungkin?
Begitu nikmatkah menindas perempuan? Padahal tak akan lahir seorang anak manusia tanpa rahim perempuan. Tanpa ikhlasnya perempuan menahan beratnya mengandung lebih dari sembilan bulan. Menyusui dan kemudian membesarkan anak.
Di samping itu masih harus keluar rumah, ikut bekerja membantu ekonomi keluarga. Tak sedikit dari mereka yang menjadi tulang punggung keluarga. Baik karena hidup sendiri dan membesarkan anak-anaknya atau karena kebetulan suami sedang sakit permanen dan lain-lainnya.
Keberadaan perempuan di lapangan kerja selalu menjadi sorotan karena dianggap mudah ditata, bersedia diberi upah rendah, dan alasan lain. Kesemuanya ternyata secara tidak langsung adalah bentuk penindasan terselubung terhadap perempuan.
Ketika Omnibus Law Cipta Kerja yang banyak merugikan bagi pekerja perempuan.
Seperti dirilis kompasiana.com, Perwakilan dari Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) Nining Elitos mengatakan "Salah satu pasal di RUU Cipta Kerja mengatur bahwa pekerja mendapat upah jika melakukan pekerjaannya. Maka, lewat pasal ini, pekerja perempuan yang mengambil hak cuti haid atau melahirkan tidak dibayar."
Padahal sebelumnya bagi perempuan hak untuk cuti hamil, cuti, haid, melahirkan, dan menyusui sudah diberlakukan. Dan tak ada pemotongan gaji apa pun.
Jadi wajar ketika pihak perempuan yang kini sudah mulai mengisi lapangan kerja layaknya laki-laki kembali didiskriminasi melakukan protes dan demo besar-besaran.
Tak ada perempuan normal yang tak haid, hamil, melahirkan, dan menyusui. Kalau kemudian mereka bekerja dan harus cuti karena keterpaksaan, bagaimana mungkin kemudian hak-haknya berupa gaji tidak dibayarkan.