Mohon tunggu...
Surobledhek
Surobledhek Mohon Tunggu... Guru - Cukup ini saja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Memberi tak harap kembali

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perempuan (Bukan Xena) dalam Pasungan Ketertindasan

6 Maret 2020   13:41 Diperbarui: 6 Maret 2020   14:42 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Den of Geek Xena: The Warrior Princess Reboot is Dead in Current Form | denofgeek.com

Aduhai perempuan, malang nian nasibmu. Mungkinkah kalian ditakdirkan untuk tinggal dalam rumah saja. Hanya duduk manis sambil menyusui anak. Sambil bersih-bersih kasur, kamar, dapur, dan pekarangan rumah.

Tak boleh ke luar rumah, tak boleh membantu ekonomi keluarga. Tak boleh bekerja. Bagaimana mungkin?

Begitu nikmatkah menindas perempuan? Padahal tak akan lahir seorang anak manusia tanpa rahim perempuan. Tanpa ikhlasnya perempuan menahan beratnya mengandung lebih dari sembilan bulan. Menyusui dan kemudian membesarkan anak.

Di samping itu masih harus keluar rumah, ikut bekerja membantu ekonomi keluarga. Tak sedikit dari mereka yang menjadi tulang punggung keluarga. Baik karena hidup sendiri dan membesarkan anak-anaknya atau karena kebetulan suami sedang sakit permanen dan lain-lainnya.

Keberadaan perempuan di lapangan kerja selalu menjadi sorotan karena dianggap mudah ditata, bersedia diberi upah rendah, dan alasan lain. Kesemuanya ternyata secara tidak langsung adalah bentuk penindasan terselubung terhadap perempuan.

Ketika Omnibus Law Cipta Kerja yang banyak merugikan bagi pekerja perempuan.

Seperti dirilis kompasiana.com, Perwakilan dari Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) Nining Elitos mengatakan "Salah satu pasal di RUU Cipta Kerja mengatur bahwa pekerja mendapat upah jika melakukan pekerjaannya. Maka, lewat pasal ini, pekerja perempuan yang mengambil hak cuti haid atau melahirkan tidak dibayar."

Padahal sebelumnya bagi perempuan hak untuk cuti hamil, cuti, haid, melahirkan, dan menyusui sudah diberlakukan. Dan tak ada pemotongan gaji apa pun.

Jadi wajar ketika pihak perempuan yang kini sudah mulai mengisi lapangan kerja layaknya laki-laki kembali didiskriminasi melakukan protes dan demo besar-besaran.

Tak ada perempuan normal yang tak haid, hamil, melahirkan, dan menyusui. Kalau kemudian mereka bekerja dan harus cuti karena keterpaksaan, bagaimana mungkin kemudian hak-haknya berupa gaji tidak dibayarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun