Mohon tunggu...
Rooy Salamony
Rooy Salamony Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Saya pelayan masyarakat rooy-salamony.blogg.spot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tujuh Hari Mengusir Setan (Kelima)

9 April 2015   23:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:19 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Setyo menopang tubuhnya dengan kedua siku. Dadanya dirapatkan ke atas dua kepalan tinjunyayang saling menempel di lantai. “Aaaaahhh.....,”suara Setyo meronta. Kepalanya ditarik lebih tinggi untuk menciptakan ruang antara perut dengan lantai. Ia melipat dengkul kaki kanannya dan mendorong tubuhnya perlahan ke atas. Berat badannya hampir tidak terasa. Tetapi nyeri yang luar biasa kini menyerang dadanya.

“Kamu ingin mengusirku keluar dari tubuh ini?,”suara Ningrum terdengar parau menyebar ancaman. Setyo tidak menjawab. Agak sempoyongan ia berjalan maju mendekati tempat dimana Ningrum duduk.

“Katakan.....siapa namamu?,” Setyo menarik kalung yang tergantung di lehernya melewati kepala. Tangan kirinya mengeluarkan buku kecil yang terlihat usang berbalut sampul kulit berwarna coklat.

“Kamu mengenalku! Kamu mengenalku!,”mata Ningrum menatap tajam ke arah Setyo saat wajah keduanya hanya berjarak satu jengkal.

Cepat sekali. Jempol kanan Setyo telah berada di tengah dahi Ningrum, menekan liontin perak kecil yang selalu menggantung di kalungnya. Tangan kirinya yang memegang buku kecil berwarna coklat ditekan ke tengah ubun-ubun Ningrum. “Apollyon!,”setengah berteriak Setyo berbisik di telinga Ningruh.

“Arrrgggghhhh............,”Ninggrum menjerit. Wajahnya dibenturkan ke wajah Setyo. Sekali lagi Setyo terpelanting beberapa langkah. Pak Karnoto, Pak Tejo dan seorang keponakan laki-laki Pak Karnoto berupaya keras menarik rantai yang membelenggu Ningrum.

Setyo merasa sesuatu yang basah mengalir di ujung bibirnya. Darah. Benturan dengan wajah Ningrum telah memecahkan bibirnya. Setyo kembali berdiri. Sekali lagi ia menaklukan Ningrum. Tangan kirinya ditekan lebih keras ke ubun-ubun Ningrum, dan tangan kanannya menekan liontin perak pipih dengan konstruksi saling silang. “Beelzebub! Belial! Diabolos! Aku perintahkan kamu dalam nama Tuhan, keluar!”

“Aarrrrgggghhhhh............! Aaaaaaaaaa.........! Arrggggghhhhhh...!,”Ningrum menjerit dengan nada suara berbeda-beda. Semula suaranya memekik. Lalu berganti nada suara perempuan dewasa. Akhirnya ditutup dengan suara laki-laki tua. Ia meronta sekerasnya melawan mereka yang berupaya memenangkannya.

“Kamu memerintahkanku untuk keluar, Susetyo? Hihihihihihihi........Hihihihihihi....,”tawa Ningrum menggema mengecutkan nyali. “Aku akan keluar! Aku akan keluaaaarrr....! Tapi kamu harus menunjuk kemana aku harus pergi. Kamu harus menunjukan rumah untukku, Susetyo!,”Ningrum memberi pilihan.

“Tidak ada tempat untukmu. Kamu harus pergi meninggalkan tubuh anak ini sekarang!,”Setyo bersuara tegas.

“Tidakkah kamu baca bahwa aku selalu mencari tempat? Tidakkah kamu baca!? Hihihihihihi........,”suara tawa Ningrum meninggi. Bola matanya yang coklat indah kini berubah merah laksana darah. “Aku datang ke tubuh anak ini karena aku diundang oleh ayahnya. Ia telah menyerahkan jiwanya untukku sebagai ganti kekayaan, kesejahteraan dan kehormatan yang kuberikan padanya,”suara Ningrum berganti berat dan menua.

Setyo tidak memperdulikan kata-kata dia yang menggunakan raga Ningrum untuk pernyataan keberadaannya. Ditatapnya mata merah darah Ningrum, dan sekali lagi ia berteriak,” Apollyon! Beelzebub! Belial! Diabolos! Aku perintahkan kamu dalam nama Yeshua, keluaaarr!”

“Sebutkan tempatku! Sebutkan tempatku!,”suara pribadi dalam raga Ningrum berkali-kali terdengar ketika Setyo melafalkan doa untuk menuntaskan ritualnya malam itu. Perlahan, ia merasakan kepala Ningrum yang lunglai diiringi isak tangisnya. Tangis yang memilukan hati siapapun yang mendengarnya.

“Ayah....Ningrum haus,” iba Ningrum diantara tunduknya. Antara gembira dan kaget, Pak Karnoto berlari ke arah pintu. Ia meraih botol mineral berisi air yang dibawa Setyo tadi. Disodorkannya botol air ke mulut putrinya. Ningrum menelan beberapa teguk. Lalu perlahan ia menegakan kepala. Air matanya menetes menatap Setyo. Sekilas, Setyo menangkap gambar bintang bersegi lima di bawah matanya. Gambar berwarna merah itu perlahan memudar.

****

Rumah kost tempat Setyo tinggal nampak terang benderang. Selalu seperti itu. Setyo selalu ingin agar mereka yang melintas di malam hari mendapatkan cukup penerangan saat di depan rumahnya. Demikian sebaliknya, ia ingin memastikan dengan baik siapa yang lewat di depan rumahnya pada malam hari. Itu juga alasan mengapa ia dapat melihat tiga orang yang berdiri di teras saat sepedanya keluar dari jalan raya dan masuk menyusuri jalan setapak menuju rumah.

“Lho, ngapain malam-malam ke sini?,” Setyo tersenyum saat menyapa Lis, Odin dan seorang gadis dengan potongan rambut pendek sebatas bahu.

“Ini sepupuku dari Semarang. Dina,”Lis menjabat tangan Setyo seraya memperkenalkan gadis yang berdiri di sampingnya. Setyo kemudian menjabat tangan Dina. Lalu kemudian Odin.

“Jadi?,”Setyo berjalan ke arah pintu dan membukakannya bagi ketiga tamunya. Lis, Odin dan Dina masuk mengikuti Setyo ke ruang tamu.

“Kami sedang punya hajatan. Adikku mau lamaran. Dina dan keluarga dari Semarang datang,”Lis tersenyum sambil menggerakan tangan kirinya menerangkan. “Kamu tahu kan sebesar apa rumahku?”

“Oke. Aku mengerti,”Setyo mengetahui tujuan kedatangan mereka bertiga.

“Naaah....agar sepupuku tidak dimangsa olehmu....maka aku mengajak Odin ke sini,” Lis tertawa.

“Halah....alasan. Aslinya kamu yang mau ke sini kan?,”Odin menyela.

“Eitss....enak aja,”Lis menangkis.

Keempat anak muda itu masih berbicara hingga larut. Odin dan Lis adalah rekan sesama guru di Sekolah Dasar Negeri 1 Kragan. Mereka bertiga memang bersahabat dekat. Hampir tidak ada rahasia besar yang mereka sembunyikan satu dengan yang lain.

“Sudah larut, ayo kita tidur,”Setyo memutuskan canda tawa mereka.

“Yup....besok kita masih punya tugas,”Odin memberi persetujuan.

“Lis....kamu dan Dina pakai kamar depan aja. Tempat tidurnya lebih besar,” Setyo mengarahkan.

“Oke. Thanks.” Lis menarik tangan Dina. Keduanya berjalan ke arah kamar.

“Eh, Lis...,” Setyo teringat sesuatu. “Kemarin saat ke Rembang kok susah dihubungi?”

“Masa sih? Teleponku hidup terus lho?,” Lis meyakinkan.

“Oh iya?”

“Iya. Memangnya ada apa aku dihubungi?”

“Gak. Gak ada apa-apa.”

“Hahahahaha.....kamu suka aneh,”Lis protes sambil berjalan kembali ke kamar.

Tetapi Setyo berdiri tertegun. Tepat di dahi Lis, gambar bintang merah bersegi lima samar-samar membayang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun