Mohon tunggu...
Rooy Salamony
Rooy Salamony Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Saya pelayan masyarakat rooy-salamony.blogg.spot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Surga Tidak Diatur dengan Sistem Demokrasi

7 April 2014   11:33 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:58 4
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tinggal dua hari lagi. Masyarakat Indonesia akan berbondong-bondong menuju tempat pemungutan suara dalam rayaan  pesta demokrasi. Tiap orang yang menerima undangan (ada yang belum ya? waduh...) akan duduk di TPS, menunggu namanya dipanggil, berjalan ke arah meja dimana kartu suara tersedia, mengambil kartu suara, menuju bilik suara, menentukan pilihan, memasukan kartu suara ke dalam kotak, kembali keluar meja panitia, mencelupkan tangannya ke dalam botol tinta....dan sah (maaf, ini panduan untuk pemilih pemula...hehehehe...)

Begitulah aktivitas dari pesta senilai 40 trilyun rupiah. Lumayan mahal untuk festival lima tahunan. Padahal desa hanya butuh 50 trilyun rupiah setahun untuk mengentaskan masalah-masalah sosial di 72.944 desa. Ah sudahlah.

Kembali ke soal pemilu, hati saya menjadi haru biru. Di satu sisi, suara pemilih tidak pernah dipandang sebagai deviden dari perusahan raksasa bernama negara. Mestinya suara itu dipandang sebagai modal awal yang memungkinkan pemerintahan beroperasi. Setelah pemerintahan terbentuk, maka pemerintah wajib membayar kembali suara itu. Membayar dengan apa? Membayar dengan pemberian pelayanan yang baik, merata, dan tidak diskriminatif.

Di sisi lain, jika masyarakat bersikap pesimis dan tidak mau memberikan suaranya, mereka lalu di cap tidak bertanggung jawab, bukan warga negara yang baik, segala macam-lah. Padahal memilih untuk tidak memilih juga merupakan sebuah pilihan.  Pada tahun 2009, ada 29,6 persen wajib pilih yang tidak menggunakan haknya. Para peneliti meyakini angka itu akan bergerak mencapai hampir 40 persen tahun ini. Sebuah angka psikologis yang rawan.

Sebenarnya, cara menekan fenomena yang terakhir ini mudah. Perlakukan warga negara sebagaimana adanya. Berikan pada mereka pelayanan terbaik pasca pemilu. Apa itu pelayanan terbaik? Regulasi yang baik dan tidak diskriminatif. Pelayanan jasa publik seperti angkutan, listrik, dan air yang terjangkau dan nyaman. Layanan perizinan yang cepat dan benar. Juga perlindungan atas hak-hak dasar warga seperti hak untuk bekerja, hak berbicara, hak beragama, dan seterusnya.

Jika partai politik masih terus nyaman dengan gerakan pencurian suara rakyat (hanya butuh saat pemilu), maka makna vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) akan mengeras ke arah menarik suara daripada memberi suara.

Benarkah suara rakyat suara Tuhan?

Ungkapan suara rakyat adalah suara Tuhan bermakna di dunia modern ini. Di dunia klasik, ungkapan vox populi vox dei tidak memiliki makna seluas apa yang dibayangkan. Negara-negara demokrasi di abad 21 memberikan hak suara kepada semua warga negara dewasa. Di Indonesia, semua warga negara yang telah menikah atau telah berusia 17 tahun memiliki hak untuk memilih.

Tetapi dimasa awal demokrasi, tidak ada hak seluas itu. Orang-orang Athena, tempat dimana demokrasi lahir, tidak memberi hak pilih kepada semua warga polis. Kaum perempuan tidak memiliki hak pilih karena mereka dianggap hanya sedikit lebih tinggi dari hewan. Para pedagang tidak memiliki hak pilih karena dianggap bukan warga polis. Demikian juga para budak dan kaum pekerja. Golongan terakhir dianggap tidak memiliki hak sebagai warga polis.

Amerika serikat sebagai rumah demokrasi modern sendiri baru berhasil menghapus diskriminasi politik warga negara melalui Undang-Undang Hak Sipil 1964 dan disusul dengan Undang-Undang Hak Pilih 1965. Ada sejumlah pembatasan bagi warga Amerika keturunan Afrika dan warga asing dalam pemilihan umum di negeri Paman Sam.

Bagi orang Indonesia, kata suara rakyat suara Tuhan lebih bermakna dalam kasus pemberian hak pilih bagi semua orang. Tetapi jika kata itu bermakna kedaulatan, kekuasaan, dan kemampuan rakyat untuk menentukan apa yang terbaik menurut rakyat kebanyakan, ungkapan itu masih jauh dari yang diharapkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun