Setyo berjalan melalui celah sempit yang terletak di bawah tangga menuju ke ruang belakang rumah mewah itu. Pak Karnoto berjalan di depan menuntun. Dibelakang Pak Tejo mengikuti. Ini pertama kalinya Setyo memasuki rumah Pak Karnoto. Selama ini ia, dan mungkin orang sekampung hanya terhenti di toko kelontong Pak Karnoto yang terletak di depan rumah. Konstruksi rumah ini secara utuh memang tidak terlihat dari depan. Ada halaman luas di belakang toko kelontong yang memisahkan toko dari rumah. Lalu pagar tinggi menjulang terbangun mengelilingi kedua bangunan tersebut.
Orang-orang mengenal Pak Karnoto sebagai pengusaha yang sukses. Toko kelontongnya adalah yang paling terkenal. Barang-barang di sana selalu baru. Juga murah. Jika tidak sungkan, orang dapat membuka buku bon di tokonya. Boleh mengambil apa saja. Pembelian akan dicatat pada buku bon, lalu pembeli dapat melunasi dengan jalan dicicil.
Bukan itu saja, Pak Karnoto terkenal sebagai orang yang royal. Tiap tahun ia mendatangkan para petayub dalam pesta panen rakyat. Masyarakat desa dihiburnya. Ia juga dikenal sebagai orang yang dekat dengan petani. Pak Karnoto memberikan pinjaman uang kepada para petani yang membutuhkan uang tunai dengan sistem pengembalian bertahap. Memang, bunga pinjaman cukup tinggi. Tetapi orang desa tidak pernah peduli dengan perhitungan bunga pinjaman. Asalkan ada yang bisa memberikan pinjaman dengan cepat dan tanpa banyak syarat, mereka akan mengambilnya. Masalah bunga adalah soal resiko.
Tahun ini Pak Karnoto bahkan memperluas usaha perkreditannya. Ia memberikan pinjaman pupuk dan bibit kepada petani. Juga memberikan pinjaman anakan sapi kepada mereka yang lebih tertarik menjadi peternak. Sistemnya adalah bagi hasil. Peternak yang pada tahun berikutnya telah menghasilkan “pedhet” dapat memberikannya pada Pak Karnoto dan menghentikan pembayaran uang jaminan yang diberikan setiap bulan sebagai perikatan bahwa sang peternak akan secara serius mengurus usahanya.
Hidup membutuhkan strategi. Begitu tutur Pak Karnoto saat berada di ruang tamu tadi. Pak Tejo mengangguk setuju. Setyo tidak memberi reaksi apapun. Hal yang paling nampak benar adalah bahwa Pak Karnoto melakukan sesuatu bagi masyarakat desa, sementara Setyo tidak. Pak Karnoto sudah memberikan kepada Pak Tejo, juga warga lain, pinjaman anak sapi. Ia memberikan cara bagaimana warga harus berjuang menghadapi kondisi alam yang tidak selalu bersahabat. Sementara Setyo hanya menjalankan tugas rutinnya. Mengajar.
“Ngiiiiiikkkkk....,”bunyi derikan pintukamarsaat Pak Karnoto mendorong dengan badannya pintu kayu jati berukiran Jepara yang menutup ruangan besar dengan penerangan rendah. “Mari Mas...,”undang Pak Karnoto.
Setyo melangkah memasuki ruangan besar yang lebih mirip graha pertemuan daripada kamar tidur. Tetapi segera ia menghentikan langkahnya. Pak Tejo yang melangkah dibelakang ikut terhenti. Mata Setyo terarah ke kursi kayu yang terletak di sudut ruangan.
“Mengapa dikenakan topeng?,” Setyo bertanya. Seorang gadis remaja dengan wajah tersembunyi di balik topeng kayu duduk tepat di tengah ruang. Tidak ada benda apapun di ruangan itu selain kursi kayu tempat gadis itu duduk.
“Ia memang harus menggunakannya, Mas,”Pak Karnoto berkata sambil berjalan ke arah kursi kayu dimana sang gadis duduk.Setyo mengikuti.
Lebih dekat Setyo dengan kursi, semakin banyak objek yang dapat diamati. Rantai besi mengkilap yang melingkar di kaki sang gadis. Mangkok dan piring plastik yang bersembunyi di belakang kursi. Borgol yang melingkardi kedua tangan sang gadis dengan rantai baja menyelip diantara dekapan pahanya. Kaos oblong putih yang nampak lusuh menjadi pelengkap dari celana training berwarna putih yang melekat pada tubuh sang gadis.
Hati Setyo bergetar ketika Pak Karnoto membuka topeng gadis yang duduk di kursi kayu berukiran indah itu. Seorang gadis remaja dengan paras cantik mempesona. Hidungnya yang kecil mancung tegak berdiri diantara tonjolan tulang kedua pipinya. Bola matanya yang berwarna coklat berbinar dibawah temeram lampung ruangan. Bibirnya yang kecil memancarkan warna merah muda yang indah, pancaran kehidupan diatas kulit wajahnya yang putih bersih.
Gadis ini terlalu tenang untuk seseorang yang disebut sakit. Seseorang yang harus diasingkan selama bertahun-tahun dari lingkungannya. Seseorang yang dicabut dari keremajaannya untuk menetap dalam ruangan tanpa tanda kehidupan. Tanpa jendela. Tanpa meja. Tanpa tempat tidur. Setyo menyimpan sejuta tanya dalam gambar kehidupan yang menampil di depan matanya.
Sebuah kekuatan mendorongnya maju lebih dekat. Tatapan matanya terarah pada gadis yang kini berada tepat di depannya. Semakin dekat jarak antar mereka, semakin jantung Setyo berdetak kencang. ‘Aneh,”pikir Setyo. “Mengapa aku merasa gentar dihadapan orang yang begitu tenang?”
“Rghrrrrrrrr......,”sebuah suara melengking di telinga kanan Setyo. Secepat reaksi tangan kanannya mendorong dengan kekuatan penuh. Gadis yang semula terlihat begitu mempesona berubah ganas sebelum Setyo menjawab kegalauan hatinya. Serangan berikutnya datang sama cepatnya dengan yang pertama. Setyo menarik tubuhnya ke belakang. Jantungnya terhenti sesaat. Nafasnya terasa tertahan di kerongkongan. “Bapa....,”bisiknya dalam hati. “Tolong aku...,” Setyo memperbaiki kuda-kudanya. Ia berupaya kokoh berdiri menghadapi serangan berikutnya.
Gadis ini berupaya menggigitnya. Ketika kedua tangan dan kakinya terantai pada kursi kayu, ia masih dapat menyerang dengan mulutnya. Sekarang Setyo memahami mengapa topeng kayu dikenakan menutupi paras sang gadis.
Pak Karnoto dan Pak Tejo telah berada di belakang kursi kayu dimana sang gadis duduk. Keduanya menarik rantai yang membelengu tangan sang gadis agar tubuhnya lebih lekat bersandar pada kursi kayu.
“Siapa namanya?,” Setyo bertanya sambil tangan kanannya memasukan butiran garam ke dalam mulutnya.
“Ningrum,” sahut Pak Karnoto cepat.
“Ningrum.....tatap mata saya,”suara Setyo bergetar. Ningrum menatap Setyo dengan pandangan tajam. Sorot matanya seakan menenggelamkan Setyo dalam kebimbangan. Sorot mata yang seakan berhasrat menelan Setyo hidup-hidup.
Setyo segera menyemburkan garam melintasi kepala gadis itu. Butiran-butiran garam beterbangan dan jatuh di lantai antara tempat Pak Karnoto dan Pak Tejo berdiri. Ketika semburan garam pertama berakhir, Setyo merasakan sesuatu yang berbeda. Garam di dalam mulutnya sama sekali tidak berasa. Hambar. Setyo semakin menyadari kekuatan apa yang kini dihadapinya. Tetapi ritus ini harus dituntaskan.
Pada semburan garam kedua dan ketiga, Setyo hanya dapat berharap pada kemurahan surga. Kemurahan yang memungkinkannya dapat selamat. Kemurahan yang memberi padanya kesempatan untuk bertempur sekali lagi.
“Aku mengenalmu. Aku mengenalmu Yohanes Susetyo,” Ningrum tersenyum. Senyum yang menenggelamkan Setyo ke jurang ketakutan terdalam.
“Siapa kamu?,”Setyo menatap Ningrum.
“Kamu mengenalku,”Ningrum tertawa kecil.
“Katakan siapa kamu?,”suara Setyo meninggi.
“Benarkah kamu tidak mengenalku?,”Ningrum mendesis.
“Aku katakan sekali lagi, katakan namamu,”Setyo bertarung antara kepercayaan dan ketakutannya.
“Kamu mengenalku! Panggil namaku!Arrrrgghhhh.....,”suara Ningrum menggema mengikuti gerakan serangan gigitannya ke leher Setyo. Pak Karnoto dan Pak Tejo tertarik ke arah depan kursi dan terjatuh.
Secepat kilat Setyo menarik kalung yang terselip di kantong jeansnya. Liontin kecil yang menggantung di kalung digenggamnya ditangan kanan. Tangannya dengan cepat meraih kepala Ningrum, lalu dengan sekali gerakan, Setyo menekan liontin kecilnya ke tengah dahi gadis malang itu. “Aku mengenalmu! Diam!,” Setyo mendorong Ningrum kembali ke tempatnya.
“Arghhhhh..........,”Ningrum berteriak ketika tubuhnya terduduk dalam kaku. Pak Karnoto dan Pak Tejo kembali dengan sigap menarik rantai yang membelenggu Ningrum. Setyo masih meletakan tangannya di dahi gadis itu. Bibirnya bergerak mengucapkan sesuatu.
Perlahan tubuh Ningrum melamah. Napasnya semakin lama semakin teratur. Kedua tangannya terkulai di antara kedua pahanya. Isaknya terdengar kini. Tangis seorang anak manusia yang tidak berdaya. Setyo menarik tangannya dari kepala Ningrum. Ia berdiri sejenak menatap Ningrum yang kini terkulai.
****
“Jika Ningrum mengenakan topeng setiap saat, bagaimana ia makan dan minum?,”Setyo bertanya ketika akan meninggalkan halaman rumah Pak Karnoto.
“Setiap hari Rabu ia menjadi tenang. Saat itu kami membuka topengnya agar ia dapat makan dan minum,” jawab Pak Karnoto.
“Hanya sekali seminggu ia makan?,”Setyo menarik naik standar sepedanya.
“Ya. Hanya sekali seminggu.”
“Mengapa ia tidak diberikan tempat tidur?”
“Dulu kami mengikatnya di tempat tidur. Tapi ia selalu saja dapat lolos. Apa saja yang ada disekitarnya digunakan untuk menyerang orang lain. Jika tidak ada orang lain disekitarnya, ia akan menyerang dirinya sendiri,” Bu Karnoto menjelaskan.
“Jangan lagi mengenakan topeng di wajahnya. Saya akan kembali besok,” Setyo memperingatkan Bapak dan Ibu Karnoto.
“Iya Mas,” keduanya menjawab bersama.
Malam akan terasa panjang bagi Setyo.Setelah mengantar Pak Tejo ke rumahnya, ia akan kembali ke tempatnya. Malam ini ia membutuhkan persiapan yang lebih dari biasanya. Pribadi apapun yang menghuni raga Ningrum bukanlah sesuatu yang dapat diusir hanya dengan menggunakan garam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H