Mungkin karena tidak memenuhi standar yang disyaratkan untuk novel, maka  kolom novel kompasiana kemudian ditiadakan. Entahlah. Yang pasti, fiksi berjudul "Muara" yang saya tayangkan pertama kali 7 April 2022  sebagai novel ditutup pada dua episode akhir sebagai cerita pendek. Cukup unik. Hahahaha....
Fiksi selalu merefleksikan kondisi sosial darimana kisah itu berasal. Demikianlah para penulis fiksi kompasiana mengangkat potret masyarakat dalam tulisan mereka.Â
Sebutlah Pak Ikhwanul Halim yang menghadirkan science fiction sebagai refleksi masyarakat abad 21, atau Dr.Nugroho yang membawa romance dalam perjalanan "sang gadis" dan kemudian Pak Budi Susilo yang pernah menghadirkan aksen mistery dalam ceritanya tentang dua tokoh beda nasib pencari harta karun.
Muara, merupakan salah satu dari refleksi semacam itu. Ini adalah tutur keseharian. Cerita tentang kita. Elegi kaum minoritas di sekitar kita.
Ini adalah kisah tentang orang-orang yang memilih hidup di luar masyarakat digital, meski pada kenyataannya, mereka adalah penggiat platform digital. Masyarakat digital dalam perspektif mereka lebih bernuansa struktur daripada kultur. Masyarakat digital telah dikemas sebagai entitas politik yang terorganisir daripada diwacanakan sebagai suatu lebensraum fungsional mandiri.
Perkenalan saya dengan teman-teman ini terjadi secara kebetulan. Tidak puas dengan informasi sains tunggal, saya kemudian mencari informasi lain di luar media publik. Saat itulah, saya bertemu oang-orang hebat ini. Sungguh kebetulan yang unik.Â
Setelah tahap awal perkenalan yang penuh kehati-hatian, saya akhirnya menjadi begitu akrab dengan mereka. Ironisnya, itu terjadi, untuk sebagian besar, di dunia yang sesungguhnya justru mereka tolak. Semakin saya mengenal mereka, semakin saya menghormati mereka, dan semakin saya tahu......bahwa ada banyak hal yang saya tidak tahu. Dari orang-orang dengan berbagai latar pendidikan, profesi dan platform digital inilah saya belajar.
Ketika memulai "Muara" sebagai kisah fiksi, ketakutan terbesar saya adalah, kisah ini tidak selesai. Bukan karena kekurangan bahan. Tetapi karena kisah cinta saya dengan fiksi tidak pernah berakhir bahagia. Selalu putus tengah jalan.
Menyadarinya, saya berupaya melengkapi bahan satu minggu penerbitan dan menyimpannya pada draft terbit otomatis. Namun tidak semua berjalan mulus. Pada saat pekerjaan menuntut pergeseran fisik dan material ke luar kota, rencana mingguan bubar jalan. Karena itu saya selalu mengikuti tulisan Bu Isti, misalnya, yang mampu menayangakan tulisan meski sedang dalam perjalanan jauh. Luar biasa, Bu Is.
Akan halnya, kalau sudah kehilangan momentum. Saya akan masuk dan mencari tulisan Prof Apollo. Beliau ini tidak pernah putus menampilkan kedalaman dan keseriusan artikelnya setiap hari. Menakjubkan.
Atau saya bersandar pada pencerahan dari seberang awan yang dibawa Mas Indrian Safka Fauzi. Dari sana saya bisa menyalakan api semangat untuk mulai lagi.