"Sepertinya kita butuh satu kamar lagi."
Guru Bisma duduk di kursi makan sambil memandang Menik, Suaminya dan kedua anaknya yang duduk di depan televisi.
"Tidak usah buru-buru, Pak. Dua kamar sudah cukup." Menik menenangkan kegelisahan Bapaknya.
"Anak-anakmu sudah besar, Nduk."
"Iya, Pak. Tapi tidak harus buru-buru juga." Menik tersenyum.
Meski tidak besar dan luas, rumah keluarga Guru Bisma merupakan tempat dimana semua kisah keluarga dituturkan. Rumah itu dibangun saat Menik duduk di bangku akhir sekolah dasar. Hanya ada dua kamar. Satu kamar untuk Guru Bisma dan Bu Sri. Satu kamar untuk Menik dan Andra.
Setahun kemudian, ketika Guruh lahir, Menik dan Andra masih tidur di satu kamar yang sama. Tetapi seiring pertumbuhan Guruh, Andra yang kemudian keluar ke ruang keluarga dan tidur di sana, sampai ia lulus sekolah menengah atas.
Tidak usah ditanya dimana letak lemari pakaian mereka bertiga. Apalagi bertanya bagaimana mereka berbagi ruangan saat belajar. Lebih indah mendengar kisah bagaimana ketiganya bertengkar dan berebut kamar mandi saat pagi hari.
Guru Bisma sering bercanda. Rumah ini sengaja dibangun kecil agar tiap anggota keluarga merasa dekat. Dari kamar tidur ke dapur dekat. Dari ruang keluarga ke meja makan dekat. Demikian juga ketiga anaknya dipanggil. Tidak perlu berteriak. Berbisik pun mereka bisa mendengar kalau nama mereka dipanggil.
Melakukan perubahan massif terhadap struktur rumah bukanlah agenda utama Menik. Saat kedua keluarga bertukar tempat tinggal, Menik masih ingin menikmati semua kisah masa lalu. Termasuk kisah teras yang terkadang banjir di saat hujan deras.
Banjir yang naik sampai sebatas mata kaki. Menenggelamkan telanjang tapak kaki Menik dalam genangan, saat sepatu sekolah berpindah dalam genggamannya. Banjir yang menarik hati bocah kecil Guruh untuk berlarian di teras hingga terpeleset menenggelamkan wajahnya.
@@@@@@