"Sejujurnya...kamu sekarang berubah, Dik."
"Bukankah yang abadi hanya perubahan, Mbak?"
"Kamu terlihat aneh di mataku."
"Syukurlah."
"Maksudnya?"
"Mbak Menik tidak berbicara sama seperti teman-temanku."
"Apa yang mereka bicarakan?"
"Mereka bilang aku penganut sekte tertentu."
Â
Â
Menik diam. Dunia memiliki aturan umum. Kebenaran umum. Kesepakatan akan norma yang berlaku umum. Tetapi tidak untuk Guruh. Juga tidak untuk orang-orang yang sepikiran dengannya. Persis seperti kata suaminya. Mereka berjalan di luar kurva.
Sejak pagi Menik ingin mengutarakan pikirannya dan mendengar dari Guruh apa yang ia pikirkan. Tetapi anak-anak ternyata pulang sekolah lebih awal sehingga Guruh menjemput dan mengantar mereka kembali ke Selomerto, baru kemudian menjemputnya. Dari perspektif lain, ini seperti a blessing in disguise.Â
"Jadi kamu menarik dua per tiga tabunganmu?," suara Menik datar. Ia berharap ini bukan api penyulut sawala.
"Iya, Mbak," Guruh menjawab mantap.
"Uangnya kamu pakai buat apa?"
"Membeli tanah. Membeli emas. Sisanya aku pegang."
"Pertimbangannya apa?"
"Hanya mengantisipasi shut down sistem perbankan."
"Karena konflik Ukraina?"