Alam khususnya hutan mempunyai perbedaan disetiap daerah, sehingga hanya masyarakat lokal yang lebih mengerti bagaimana cara melestarikannya dengan kearifan lokal mereka.
Banyak pengertian tentang kearifan lokal, namun tetap intinya mengarah pada perlakuan terhadap lingkungan sekitar. Menurut Putu Oka Ngakan dalam Andi M. Akhmar dan Syarifudin (2007) kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif.   Keraf (2002) menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Setiap daerah memiliki lingkungan yang berbeda, sehingga hanya masyarkat lokal yang mengerti benar keadaan alam dan sosial lokal mereka.
Banyak contoh masyarakat yang menggunakan kearifan lokal untuk menjaga lingkungan termasuk hutan di daerahnya. Seperti masyarakat Baduy yang mempunyai sistem berladang yang diseduaikan kebutuhan, sehingga mengikuti alam yang ada dengan tidak melakukan perubahan besar-besaran terhadap alam. Diiringi dengan sistem pengairan mengandalkan air hujan bukan irigasi, mereka percaya dengan larangan penggunaan air sungai untuk keperluan berladang. Masyarakat Baduy juga memiliki sistem zonasi dalam memanfaatkan alam, ada zona pemukiman, cocok tanam dan hutan belantara. Bukan hanya masyarakat Baduy, suku Kajang, suku Wana dan banyak lagi masyarakat lokal yang mengelola alam sekitar dengan kearifan lokal.
Sekarang, dalam perlindungan lingkungan banyak undang-undang yang mengaturnya. Seperti, pasal 1 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidupmemberikan defenisi lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Juga perlindungan yang dikhususkan untuk hutan, pasal 69 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan. Masih banyak lagi undang-undang yang mengatur, namun dalam kenyataannya tidak ada kesadaran masyarakat untuk melaksakannya.
Hutan mengalami eksploitasi. Sekitar 50 juta ton produk kertas atau setara dengan 850 juta pohon digunakan manusia oleh masyarakat dunia.  Diperkirakan 80% atau setara dengan 7 buah lapangan sepak bola hutan di bumi telah hancur. Sebanyak 2.000 pohon ditebang setiap harinya di dunia. Indonesia sebagai paru-paru dunia, ikut andil dalam perusakan hutan. Undang-undang yang ada tidak mampu menjaga Indonesia dari kerusakan hutan.
Menanamkan kembali kearifan lokal, berarti mengajak kembali masyarakat lokal untuk berinteraksi dengan komunitas ekologis secara bijaksana. Seperti Suku Wana di Sulawesi Tengah, masyarakat lokal Wana memiliki kearifan lokal yang mengedepankan prinsip keseimbangan dan keberlanjutan hutan. Suku Kajang dalam menjaga kelestarian hutan sampai hari ini tidak terlepas dengan prinsip tallase kamase-mase (hidup secara sederhana dalam mengambil hasil hutan). Selain suku Wana dan suku Kajang, kearifan lokal masyarakat sekitar hutan lainnya dalam melakukan perlindungan hutan umumnya melalui seperangkat nilai budaya, pengetahuan aturan, kepercayaan, tabu, sanksi, upacara dan sejumlah perilaku budaya yang arif. Dari berbagai perbedaan alam disetiap daerah, sebuah masyarakat bersama kearifan lokal terlahir sehingga mampu menjaga daerah mereka dari kerusakan dengan kearifan lokal yang mereka miliki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H