Mohon tunggu...
Fitri Nofianti
Fitri Nofianti Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer

@rotanof

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menyimpan Pulau Sempu

26 Februari 2015   20:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:28 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi datang lambat. Semalaman aku mendengar hewan-hewan nokturnal. Sesekali aku tersadar dan mencoba tidur lagi hingga pagi benar-benar tiba.

Aku bagnun dan membuka tenda. Matahari sudah terang dang menguapkan air telaga. Pak Kepis sudah mendapat ikan banyak. Ada yang masih menikmati tidurnya mungkin karena tidak bisa tidur semalam karena hujan.

Masuk Hutan Aku mendekat ke danau, melihat Pak Kepis memancing. Kata Pak Kepis air Telaga Lele mengandung banyak zat kapur jadi harus dimasak terlebih dulu sebelum mengonsumsinya. Aku juga menggunakan air ini untuk memasak.

Kami menikmati Telaga hingga siang hari. Membuat api unggun. Membakar dan menggoreng ikan hasil pancingan. Jalan-jalan masuk hutan meski tidak jauh dari telaga. Mengabadikannya lewat foto. Lalu bersiap untuk kembali ke pantai. Tiga puluh menit setelah matahari tepat di atas kepala, kami berjalan kembali ke Pantai.

Kami juga berencana bermalam di Pantai. Pak Kepis tidak lagi menemani kami bermalam. Di sini ada signal, besok kami di minta menelfon ketika sudah siap pulang meski kami telah janjian untuk pulang jam sepuluh. Sesampainya kami melihat pasir putih lagi, kami langsung menaruh karier dan berhamburan ke pantai menceburkan diri ke laut.

Aku tidak bisa berenang. Daun dan Suket berkali-kali mengajariku, tapi aku berenang tanpa bisa mengambil nafas. Akhirnya aku hanya diperbolehkan mandi di bagian yang masih bisa dipijak kakiku. Banyak batu karang dan ikan-ikan kecil. Kakiku juga sempat digigit kepiting. Ganjur menemukan kerang yang bisa kami masak.

Hari mulai petang, kami takut hujan turun lagi. Kami membersihkan tempat sekitar tenda akan dibangun, banyak sekali sampah plastik bahkan pempers dan pembalut. Kami bingung harus di apakan sampah sebanyak ini. Akhirnya kami memutuskan untuk membakarnya. "Dibakar saja, di sini masih banyak pohon yang bisa menyerap karbon." Kata Suket. Ternyata sampah-sampah ini terlalu basah untuk bisa dibakar, tapi sampah-sampah sudah terlanjur kami tumpuk.

Tapi kami berharap hujan seperti semalam. Air minum kami habis, kami harus survive air. Air laut tidak bisa diminum, akan semakin haus jika meminumnya. Managemen perjalanan yang buruk akan berdampak buruk pula pada perjalanan. Kami titip pada nelayan untuk membelikan air mineral, dengan harga mahal.

Beruntung masalah kami tentang air mineral sudah terselesaikan. Kami kembali bermain ke laut. Menanti senja di air laut yang mulai menyurut. Langit yang merona memantul di laut seperti bercermin. Kami sesekali juga menggoda nelayan yang dengan santai mendayung perahu dengan bertanya apakah kami boleh ikut naik perahu kecilnya.

Hari sudah malam, gerimis mengusik. Kami tetap menikmati malam. Jika teringat esok hari harus berkemas untuk pulang, ingin rasanya malam ini dihabiskan dengan terjaga dan bercerita di dalam tenda atau di pantai.

Pagi cepat sekali kembali. Aku terbangun saat matahari sudah terang meski udara masih sejuk tanda pagi hari. Kami kembali mencumbui laut, seperti ini akan menjadi yang pertama dan terakhir, seakan tidak akan pernah kembali ke sini. Entah aku juga takut kembali ke sini. Takut kedatanganku menambah kerusakan di Pulau Sempu, entah mengganggu ekosistem, menambah sampah dan polusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun