Aku sengaja menyimpan cerita perjalananku ke Pulau Sempu saat aku menuliskan kunjungan ke Malang Januari kemarin. Aku tidak tahu cara mengonsep tulisan cerita ke Sempu. Aku ingat bahwa tulisan bisa menarik perhatian dan berdampak pada objek tulisan.
Pantai Ini perjalanan kami ke Pulau Sempu. Kami memulai perjalanan dari pasar Turen menggunakan angkutan umum. Kami tetap berangkat berenam (Aku, Nendes, Arus, Suket, Ganjur, dan Daun). Angkutan ini mengantar kami ke pantai Sendang Biru, dermaga yang akan menyeberangkan kami ke Pulau Sempu. Perjalanan kami sekitar dua jam. Perjalanan ini direncanakan dengan singkat. Kami hanya ingin tempat untuk berlibur di Malang setelah pendakian kami ke Arjuno Welirang gagal. Kami tidak mencari informasi lebih banyak lagi tentang tempat ini. Yang kami tahu, Pulau sempu banyak dibicarakan teman kami sebagai tempat yang bagus. Perahu dan guide yang akan mengantar kami sudah disiapkan sehari sebulumnya lewat telfon. Kami tinggal mencari pak Kepis pemandu kami sesampainya di Sendang Biru. Setelah bertemu dengan Pak Kepis, kami tinggal menunggu perahu yang akan mengantarkan kami. "Mau diantar di sebelah mana?" Kata pak Kepis sembari tersenyum ramah. "Ke Pulau Sempu, Pak." Jawab kami. "Iya, Pulau Sempu itu luas. Banyak tempat yang bisa di kunjungi. Ada Pantai Semut, Telaga Lele, banyak pokoknya." Jelas pak Kepis.
Perahu siap. Kami menyeberang sekitar sepuluh menit untuk sampai ke Pulau Sempu. Pertama kali menginjakkan kaki, Pulau Sempu berpasir putih lembut dan berair sangat jernih. Kami tidak tahu harus ke titik sebelah mana dari Pulau Sempu yang ingin kami kunjungi. Pak Kepis membawa kami ke Telaga Lele sambil menjelaskan tempat yang lain. Aku tertarik ke Pantai Semut. Tapi sayang, Pak Kepis tidak bisa mengantar kami ke sana karena medannya yang sulit. Waktu empat jam dan medan yang berlumpur hingga bisa sampai selutut pasti tidak masalah untuk kami, tapi kami tidak memaksa untuk ke sana.
Telaga Lele
Kami harus jalan kaki untuk sampai di Telaga Lele. Pukul empat sore kami sampai setelah menempuh satu jam sepuluh menit dari tempat kami turun perahu. Kami membagi tugas, aku dan Daun memasak, ada yang membangun tenda, dan yang tidak bertugas langsung menemani Pak Kepis memancing. Tidak ada manusia lain selain kami di sini.
Telaga Lele
Telaga Lele airnya sedang keruh, mungkin karena musim hujan. Air, pohon, suara biatang, ular yang melintas tanpa berisik, dan hanya suara canda kami membuat tempat ini terasa damai.
Malam hari hujan turun deras sekali. Kami menyegerakan makan untuk mengembalikan energi. Lalu juga menyegerakan tidur.