Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1955 merupakan Pemilu yang digelar untuk pertama kalinya di Indonesia. Beberapa tahun sebelum diadakan Pemilu tahun 1955, sebenarnya sudah ada keinginan dari pemerintah untuk melaksanakan Pemilu pasca 3 bulan setelah kemerdekaan bangsa Indonesia. Keinginan tersebut tertuang dalam maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta pada tanggal 3 November 1945. Dalam maklumat tersebut tertulis "Pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata Pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab".
Pemilu pertama ini dilaksanakan pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap yang mana pelaksanaannya didasarkan pada UU Nomor 7 Tahun 1953. Adapun Pemilu ini dilakukan untuk memilih anggota Konstituante dan anggota DPR. Pada Pemilu pertama ini, peserta Pemilu berjumlah 18 Partai politik (Parpol) dan juga organisasi masa serta calon perorangan yang kemudian hasil akhirnya menyatakan bahwa pemenang dalam Pemilu ini adalah PNI dengan memperoleh suara sebanyak 8.434.637 sekaligus mendapat sebanyak 57 kursi dalam pemerintahan.
Dilaksanakannya Pemilu 1955 didorong oleh situasi yang pada saat itu terus terjadi pergantian kabinet yang kemudian menimbulkan instabilitas politik Indonesia. Kemudian pemerintahan pada saat itu mengeluarkan UU No 7 Tahun 1953. Kemudian pelaksanaan Pemilu pertama ini dilaksanakan pada 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR, dan lebih dari 39 juta rakyat Indonesia pada waktu itu memberikan suara untuk memilih. Pada Pemilu 1955 ini, sistem yang digunakan adalah sistem proporsional daftar terbuka.
Pada Pemilu tahap pertama ini dimenangkan oleh 4 partai, yakni PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Sedangkan partai lain mendapat suara lebih sedikit dibanding empat partai besar. Kemudian pada tanggal 15 Desember 1955, dilaksanakan Pemilu untuk memilih konstituante di mana pada pemilihan tahap kedua ini dirasa lebih tenang jika dibandingkan dengan pemilihan tahap pertama di mana pemilihan ditujukan untuk memilih anggota DPR. Adapun hasil pemilihan anggota dewan Konstituante menunjukkan bahwa dukungan terhadap PNI, NU dan PKI meningkat, sedangkan perolehan suara terhadap Masyumi menurun.
Dalam penyelenggaraan Pemilu 1955, dibentuklah suatu badan dimulai dari tingkat pusat sampai daerah. Dalam cakupan nasional dibentuklah Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) yang langsung ditunjuk oleh Presiden. Panitia ini bertempat di Ibu Kota Negara. Sedangkan Panitia Pemilihan pada tingkat daerah Provinsi ditunjuk oleh seorang Menteri Kehakiman dan pada tingkat daerah Kab/Kota ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri. Pada tingkat Kecamatan dibentuk Panitia Pemungutan Suara dan pada tingkat Desa/Kelurahan dibentuk Panitia Pendaftaran Pemilih.
Pada Pemilu tahun 1955 ini tercatat sebanyak 43.104.464 orang yang berhak untuk memberikan suaranya untuk memilih. Syarat untuk dapat tercatat sebagai pemilih yakni sudah berumur 18 tahun ataupun yang sudah menikah terlebih dahulu. Angkatan perang dan polisi juga mendapatkan hak untuk memilih meskipun memang ada aturan khusus bagi mereka terutama yang sedang bertugas pada saat hari pemungutan suara. Kemudian jumlah peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR Â waktu itu adalah 118 kontestan. Hal ini dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok besar, yakni kelompok Partai politik sebanyak 399 Parpol, kelompok organisasi sebanyak 46, kelompok perorangan sebanyak 59 dan kelompok pemilih sebanyak 56. Mengenai wakil perorangan, jumlah terbesar berasal dari daerah pemilihan Jawa Tengah, diikuti oleh daerah pemilihan Sumatera Tengah dan Sumatera Utara.
Dinamika Pemilu tahun 1955 ini dapat kita lihat di daerah-daerah, seperti di Jawa Barat tepatnya di Tasikmalaya terjadi perebutan suara umat Islam. Hal ini dikarenakan ada partai Masyumi dan partai NU, berbagai upaya dilakukan oleh masing-masing partai untuk mendapatkan simpati rakyat. Perebutan suara juga terjadi antara Masyumi dan PKI, model kampanye dari masing-masing partai tersebut cukup keras serta saling menyerang dalam berkampanye. Dengan adanya kampanye yang cukup keras dari Masyumi dan PKI ini justru berdampak tertariknya perhatian masyarakat kepada kedua partai tersebut.
Beda halnya PNI, salah satu strategi untuk memenangkan PNI dalam Pemilu 1955. Sejak Juli 1953 sampai Juli 1955 bisa dibilang bahwa PNI merupakan partai penguasa, hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa saat itu Ali Sastromidjojo sebagai kader PNI memegang kabinet. Selain ali, ada beberapa pos strategis yang juga ditempati oleh kader PNI, seperti Menteri Luar Negeri dijabat oleh Mr. Sunario, Menteri Keuangan dijabat oleh Dr. Ong Eng Die, Menteri Perekonomian dipegang oleh Mr. Ishaq Tjokrodisurjo. Selain jabatan strategis, ada hal lain yang menguntungkan PNI, yakni pada 4 November 1953 kabinet membentuk Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) yang diketuai oleh kader PNI, S. Hadikusumo. Tentu ini memberikan nilai lebih dalam pandangan masyarakat.
Di Yogyakarta konflik antar partai besar juga dirasakan, hal itu dibuktikan dengan terjadinya konflik antara tokoh-tokoh dalam sebuah kehidupan primordial agama dalam konflik mereka dengan pemerintah yang sedang berkuasa. Konflik tersebut terjadi karena adanya perbedaan visi dalam penggunaan strategi, ada pula konflik di dalam kelompok primordial yang di dasarkan pada agama Islam di Indonesia. Partai-partai Islam meski memiliki nilai yang sama, namun sulit untuk bersatu.
Konflik ideologis tumbuh berkembang berdampingan dengan munculnya konflik-konflik yang bersifat politis yang merupakan pertentangan-pertentangan di dalam status kekuasaan, dan sumber-sumber ekonomi yang terbatas adanya di dalam masyarakat. Munculnya konflik kepentingan yang muncul dari konflik ideologis ini menggambarkan tentang politik di Indonesia khususnya pada masa menjelang Pemilu. Wujud dari adanya konflik kepentingan ini mengkerucut pada beberapa aliran pemikiran politik yang berkembang, seperti Nasionalisme Radikal, Tradisionalisme Jawa, Islam Sosialisme Demokrat, dan Komunisme. Hal ini kemudian berdampak pada munculnya fragmentasi politik, hal itu nampak pada perdebatan dua kubu di Dewan Konstituante (antara Nasionalisme Islam yang dimotori oleh partai Islam seperti Masyumi dan NU dan berhadapan dengan kubu nasionalis sekuler yang dipimpin oleh partai-partai abangan seperti PNI dan PKI). Saat itu kubu nasionalisme Islam menginginkan beberapa rumusan dari Piagam Jakarta dimasukkan kembali dalam Konstitusi negara RI, sementara kubu nasionalis sekuler menolaknya.
Pada proses menuju Pemilu 1955 ini pertarungan antara masyumi dan NU dalam memperebutkan suara kaum santri sangat sengit. Bagi para santri, mereka memahami bahwa apa yang mereka lakukan sebagai implementasi keberagaman, termasuk dalam berpolitik ataupun memilih partai. Masyumi yang lebih dekat dengan PSI sebagai kawan koalisi sedangkan NU yang lebih dekat dengan PNI bahkan sependapat dengan kebijakan-kebijakan PKI. Menuju tahun 1955, terbentuklah KAPU (Komite Aksi Pemilihan Umum) dengan pimpinan Soekiman Wirjosandjojo yang saat itu juga menjabat sebagai Wakil Ketua umum partai Masyumi. Ada ciri tersirat dari kampanye Masyumi, yaitu kehendak untuk menampilkan partai modernis itu sebagai wadah bagi umat muslim. Karenanya ada dua pesan utama yang disampaikan kepada umat muslim yakni memilih menurut keyakinan agama dan wajib hukumnya.