Agama Islam di Indonesia menempati posisi tertinggi sebagai agama dengan jumlah pemeluk terbanyak. Hal ini dapat dilihat dalam sensus resmi yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2021, di mana pada tahun 2021 jumlah penduduk Indonesia mencapai 273, 32 juta jiwa dengan 86,93% masyarakatnya memeluk agama Islam.
Dengan banyaknya pemeluk agama Islam di Indonesia maka kemudian hal ini secara otomatis sangat berdampak dalam banyak hal, salah satunya berdampak pada perolehan suara di dalam pesta demokrasi 5 tahunan atau yang lebih sering kita sebut sebagai Pemilihan umum (Pemilu). Dengan jumlah suara umat muslim yang sangat besar inilah kemudian para elit politik berupaya sekuat tenaga untuk menarik simpati umat muslim dengan berbagai cara untuk mendapatkan suaranya di dalam kontestasi pemilu.
Kemudian seperti yang kita ketahui bersama bahwa meskipun di Indonesia terdapat beberapa Partai Politik (Parpol) dengan latar belakang Islam, namun pada faktanya menyatakan bahwa saat ini parpol dengan latar belakang Islam masih kalah diminati dibanding parpol dengan latar belakang nasionalis. Hal ini dibuktikan dengan perolehan hasil suara pada pemilu sebelumnya, yakni pada tahun 2019 di mana pada pemilu tersebut PDI-P keluar sebagai partai dengan jumlah suara terbanyak, yakni dengan 27.053.961 suara atau 19,33% yang kemudian disusul oleh Partai Gerindra dengan mendapat 17.594.839 suara atau 12,57% dan Golkar dengan perolehan suara sebanyak 17.229.789 atau sebanyak 12,31%. Lantas berapa perolehan suara partai dengan berlatar belakang Islam? Berdasarkan data yang penulis dapat, perolehan suara partai dengan latar belakang Islam seperti PKB mendapat 13.570.097 suara atau 9,69%, PKS mendapat 11.493.663 suara atau 8,21%, PAN mendapat 9.572.623 suara atau 6,84%, PPP mendapat 6.323.147 suara atau 4,52%, PBB mendapat 1.099.848 suara atau 0,79%. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa parpol dengan partai belakang nasionalis masih memiliki pemilih dengan jumlah yang cukup tinggi.
Lebih lanjut kiranya ada satu pertanyaan yang layak diutarakan, yakni mengapa parpol dengan latar belakang Islam kurang diminati?
Untuk jawaban dari pertanyaan ini setidaknya ada dua, yakni: pertama, dengan banyaknya parpol dengan berlatar belakang Islam, maka secara otomatis pemeluk agama Islam-pun terpecah dalam memilih parpol dan pastinya sangat mungkin jika pemilih muslim ada yang memilih partai nasionalis dibanding memilih parpol dengan latar belakang Islam. Kedua, kurang menonjolnya tokoh yang ada di dalam parpol berlatar belakang Islam secara nasional. Sepanjang pengamatan penulis, tokoh muslim yang benar-benar memiliki tingkat kepopuleran tinggi dan sangat menonjol dalam sejarah pemilu di Indonesia adalah alm. Gus Dur yang kemudian sampai pada titik di mana alm. Gus Dur menjadi Presiden.
Terlepas dari tidak adanya tokoh muslim yang menonjol dan terpecahnya suara muslim dalam pemilu beberapa tahun terakhir, ada hal menarik yang kemudian hal ini menjadi titik tumbuh kembang dan menguatnya kembali umat Muslim di Indonesia yakni tepatnya pada saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta di mana di dalam kontestasi tingkat daerah tersebut terlihat jelas bahwa pemilih nasionalis dan agamais sangat terpetak yang kemudian pada hasil akhir menyatakan bahwa umat Islam berhasil memenangkan Perpolitikan tingkat daerah.
Penulis melihat bahwa setelah terjadinya Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017, perpolitikan di Indonesia tak lepas dari isu-isu agama, bahkan penulis melihat bahwa sebagai upaya memenangkan kontestasi politik di setiap tingkatan, setiap calon atau tim pemenangannya berusaha untuk menggaet ulama-ulama yang memiliki jamaah di setiap majelisnya untuk bergabung atau hanya sebatas mendukung calon tertentu. Dengan adanya fenomena ini maka sudah terlihat bahwa posisi ulama di Indonesia di dalam perpolitikan di berbagai tingkatan sangat dibutuhkan sebagai upaya untuk menggaet suara.
Upaya menarik ulama untuk berada di dalam tim suatu calon tertentu bukan hanya ulama-ulama yang terkenal dengan masa yang banyak, karena ulama-ulama yang ada di Desa-desa atau yang lebih kita kenal dengan sebutan kiai kampung pun menjadi target bagi sebagian tim pemenangan bagi calon-calon yang ada di daerah sebagai upaya penarikan masa.
Dengan adanya fenomena ini tentunya menjadi tantangan sendiri bagi para ulama-ulama yang ada di Indonesia yang tentunya di dalamnya terdiri dari Kiai Kampung. Para kiai kampung khususnya memiliki tantangan yang cukup berat, mereka yang selama ini dijadikan rujukan untuk penyelesaian seluruh masalah yang terjadi di lingkup desa kemudian mendapatkan tantangan untuk selalu bersikap bijak dalam menyikapi pola-pola di dalam perpolitikan yang ada sekarang ini. Para Kiai yang memiliki masa di dalam suatu wilayah tertentu mendapat tuntutan untuk selalu menjadi seseorang yang bijaksana dalam segala hal meski mendapat tantangan yang tentunya sangat besar dalam menghadapi perubahan yang ada.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI