Mohon tunggu...
Rony K. Pratama
Rony K. Pratama Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti Pendidikan di Yogyakarta

Peneliti Pendidikan di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Urgensi Belajar Bahasa Thailand di Tengah Gerbang MEA

15 Mei 2016   05:12 Diperbarui: 15 Mei 2016   08:12 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dentum narasi besar Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mulai digelorakan tatkala memasuki tahun 2016. Dibukanya MEA tersebut berdampak pada tiada batasnya wilayah kebudayaan, ekonomi, pariwisata, pendidikan, dan pelbagai aspek strategis penyokong “identitas” negara antarsatu sama lain. Narasi besar MEA membawa tantangan yang signifikan bagi setiap intelektual muda—pelajar maupun mahasiswa—untuk turut merayakan hajatan antarnegara-negara ASEAN dalam persaingan global. Pertanyaan yang muncul di tengah tantangan besar itu ialah sejauh mana persiapan para intelektual muda dalam menghadapinya.

Konsekuensi logis atas jawaban dari pertanyaan tersebut setidaknya berimplikasi pada dua hal, yakni (1) membawa kemaslahatan atau (2) keburukan secara personal maupun kolektif. Pada poin pertama, MEA dapat menjadi sumbangsih kemaslahatan bagi intelektual muda di bidang pengembangan sumber daya manusia. Perlu dicatat pula, bahwa di poin kedua itu tak akan terjadi tanpa fondasi berupa “persiapan matang”. Demikian pula sebaliknya, apabila intelektual muda cenderung menganggap enteng MEA sehingga nihil persiapan, maka ia akan dirundung keburukan: kalah saing dengan intelektual muda dari negara lain dalam pelbagai persaingan.

Sebagai langkah mayor demi menyiapkan MEA, intelektual muda dapat mengambil inisiatif mandiri untuk menyusun strategi pola pembelajaran berbasis kebudayaan. Salah satu contoh konkret dari persiapan diri berbasis kebudayaan tersebut dapat ditempuh melalui pengambilan studi (mata kuliah pilihan) bahasa Thailand. Dengan belajar bahasa, intelektual muda dapat melihat aspek-aspek kearifan lokal suatu bangsa. Hal itu sesuai dengan pernyataam “tiada bangsa yang memiliki kekosongan budaya”.

Barangkali terbesit pula percikan pertanyaan lanjutan mengenai seberapa besar urgensi mempelajari bahasa Thailand. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, intelektual muda perlu melakukan analisis strategis dalam hal dominasi negara Thailand di tengah denyut ASEAN. Peran Thailand di antara negara-negara dalam lingkup ASEAN dalam kurun waktu dua puluh tahun menunjukan kenaikan yang cukup masif. Sebagai negara yang konon tak mengenal penjajahan fisik oleh negara barat—tidak seperti negara lain di luar Thailand yang masuk ke dalam daftar kolonialisme—Thailand memiliki kedaulatan ekonomi dan politk yang cukup kuat.

Apalagi, sejak geliat politik luar negeri yang dipimpin oleh Sjahrir di tahun 45-an, Thailand merupakan salah satu negara yang “mengakui” Indonesia untuk independen. Secara politik, Thailand berkontribusi penuh dalam perkembangan nasion Indonesia. Selain itu, jika kilas balik beratus tahun lampau, wilayah Nusantara (sebelum nama Indonesia belum digagas) yang meliputi hampir seluruh kawasan ASEAN telah menjadi saksi historis kerja sama ekonomi maupun kebudayaan. Imperium Majaphit yang menduduki kawasan Nusantara itu telah menyatukan secara kultural sehingga tidaklah heran apabila terdapat kesamaan kebudayaan di antara dua negara itu: Indonesia dan Thailand.

Kembalinya ingatan sejarah tersebut seharusnya membuat intelektual muda semakin bersemangat dalam belajar bahasa maupun budaya Thailand. Di samping itu, aksara Thailand yang “hampir mirip seperti” Jawa-Kawi kuno itu pun semakin menarik untuk dipelajari, karena ia unik dan menyenangkan untuk digali lebih komprehensif.

Pendekatan pembelajaran bahasa Thailand yang hendak diajarkan kepada intelektual muda bersifat aktif dan kreatif. Apalagi, sendi-sendi kebudayaan Thailand akan disisipkan ke dalam proses pembelajaran sehingga para intelektual muda tak sekadar belajar bahasa semata. Namun demikian, semua kenikmatan belajar itu akan menjadi delusi atau imajiner apabila intelektual muda hanya diam dan berpangku tangan. Sekarang pilihan berada ditangan Anda![]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun