Mohon tunggu...
Hironimus Galut
Hironimus Galut Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Penikmat Kata. Merusak yang terbaik adalah hal yang paling buruk.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pergilah! Aku yang Salah

7 Maret 2020   09:02 Diperbarui: 8 Maret 2020   07:51 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Setelah aku berlari kecil menuju ruang heningku, aku mendapat ajaran kasih dari-Nya. Mungkin, Dia juga lebih setia darimu." Pergilah!! Aku yang salah dan aku melepasmu dengan kasih.

Di suatu senja, aku berbincang hangat dengan Bapa pastor Kris seputar tema tentang cinta. Kata-kata dan wejangan rohaninya terdengar apik ditelingaku. Yang aku ingat, pada akhir petemuan itu, ia berbisik halus di indera pendengaranku: "Ingat nak, cinta tanpa kesetiaan mungkin tidak lebih dari ungkapan tanpa makna". "Hanya dalam perspektif cinta dan kesetiaan seseorang mampu mendefenisikan hubungannya dengan orang lain" tegasnya.

Sungguh merupakan ajaran kasih yang luar biasa. Aku salut padamu pastor. Namun sayang, kata-katamu sulit aku terima dalam riuh dan gejolakku mendekati banyak wanita dengan modus cinta. Bagiku cinta itu sebuah kebebasan untuk memiliki siapa saja.

Aaahhh. Rupanya, aku gagal paham. Aku masih labil tuk memahami  cinta. Adakah sesuatu yang mampu mengubahku. Hingga pada ruang hening itu aku pun sadar tentang kebodohanku. Kekeliruan itu memerintahku untuk menghadapi gelombang-gelombang dan badai cinta saat aku temui Dia, pemilik kesetiaan sejati. Cerita ini tentang cinta yang dilema. Dilema karena satu kata yang mahal, yaitu setia.

Kala itu, sang mentari pagi menyapa dengan senyuman manis penuh arti. Gelapnya malam telah menjadi terang yang memiliki banyak makna kala waktu itu negara Indonesia yang dalam proses menuju kemajuan memperoleh usia yang baru. Aku pun mengawali hari itu dengan harapan tuk negara tercinta ini. Semangat dalam kemerdekaan serentak memulai hariku dalam suasana komunitas seminari di kota panas itu yang selalu mesra. Tampak ia tersenyum bagai kencana menghibur para seminaris dalam sebuah arti kemerdekaan.

Tanggal 17 Agustus yang penuh bermakna itu tidak aku sia-siakan saat para seminaris diberi kesempatan tuk menikmati kebahagiaan kemerdekaan di luar komunitas. Langkah kaki yang berat, yang biasanya hanya menyapa lantai dan tanah di komunitas calon imam itu terasa ringan untuk cepat-cepat berlari penuh senyum menemui sang pujaan hati. Lonceng berbunyi menunjukkan pukul 09.00 seakan meyuruh telingaku tuk memerintah diri ini meninggalkan komunitas. Kusegarkan badan ini dengan keadaan air pagi yang mencerahkan dan menyegarkan pikiran dan badan  untuk melanjutkan hariku.

Mentari yang semakin panas mendesak tegas, menyuruhku tuk melangkahkan kaki ini meninggalkan komunitas. Aku pun berjalan searah dengan penuh senyum membawa sejuta harapan bisa bertemu sang pujaan hati. Situasi kota panas hari itu sungguh berbeda dengan sebelumnya. Mentari yang kian terik membakar semangat para pelajar di kota tersebut untuk mengisi acara dalam semangat kemerdekaan.

Ahhhhhh...Aku juga tak ingin melewati hari itu hanya untuk menikmati kemerdakaan negara yang kotor, penuh koruptor ini. Aku juga harus bakar semangat untuk memerdekakan diri dalam cinta. Dengan empat jam kesempatan pesiar, aku harus mencari waktu yang tepat untuk bertemu si dia dengan sebuah tekad untuk ungkapkan rasa yang sekian lama terpendam.

Sebagai titik awal perjuangan, aku menggunakan Hand Phone (HP) yang selama ini kutidurkan tanpa ada waktu untuk menunjukkan fungsinya sebagai media komunikasi. Kini saatnya kuperlakukan dia sebagai media cinta yang sungguh memberikan arti untuk mengukir diri. Hari itu dia berperan sebagai pahlawan cinta.

Tak lama kemudian suara sang gadis terdengar halus dan lembut menyapaku " Halo..... mat siang kak"."Juga cantik "jawabku dengan sedikit bermaksud gombal. Tanpa memilih kata-kata yang sedikit romantis, kedua bibir ini terbuka sejurus mengajaknya tuk bertemu," Bisa/tidak kita ketemuan hari ini?" Mungkin juga ia tidak membutuhkan banyak waktu berpikir panjang, ia langsung membolehkan dirinya berpapasan denganku. Kaki yang sebelumnya menyapa di tepi jalan pertokoan kota itu, kini serentak bergerak jauh menuju sang gadis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun