Sebuah cerita yang saya dengar beberapa kali dari senior Dr. Soejarwo Suromihardjo, mantan Kakanwil BPN Sumut dan Deputi Penataan BPN RI, disuatu saat jedah ketika membahas disertasi saya di Universitas Merdeka Malang, tahun 2006 lalu.Â
Sebuah ceria yang menarik di ceritakan tentang bagaimana tehnologi jaman Kerajaan Majapahit mengendalikan Kali Bengawan Solo, saat banjir. Menaklukkan sebuah sungai yang volume air tak terbendung karena volumenya melebihi kapasitas air. Air datang dari hulu, juga bergabung dari ratusan sungai kecil bertemu dengan Bengawan Solo, sampai di hilirnya jauh ratusan kilo meter tiba di Jawa Timur dan terakhir di Sidoarjo berakhir di Laut Jawa.
Mengendalikan air, pada jamannya selalu menimbulkan masalah. Banjir luapan akan menyusahkan semua sektor ekonomi masyarakat. Sawah, pemukiman dan industri lainnya akan merasakan kerugian material maupun mental spritual. Ilmu yang digunakan juga tidak hanya dengan tehnologi moderen, sesungguhnya kebijakan lokal dari masyarakat sendiri bisa digali. Salah satu tehnologi tradisional, seperti judul tulisan ini "Tahan dihulu, tekan ditengah dan dorong di hilir, sebuah cerita yang digali saat jaman Mahapahit.Â
Sisanya kita lihat penataan sungai bengawan solo yang tertib, tanggul yang tinggi dan bentuk yang lurus, sebagai upaya untuk mengendalikan pada saat musimnya memuncak. Tantangan jaman pasca jaman Majapahit seperti sekarang perlu di elaborasi, tehnologi dimaksud agar pada jaman sekarang bisa mengatasinya, tanpa terjadi korban yang berulang serta mestinya bisa diestimasi kapan datangnya banjir itu.
 Tahan di "hulu" bermaksud agar sumber air dihulu, sejak air itu kecil harus diatasi supaya tidak mengalir ke sungai cabang sungai sebelum ke sungai besar. Caranya, jika dielaborasi, berbagai program bisa dilakukan. Misalnya, menata Daerah Aliran Sungai : melakukan reboasasi, menanam tumbuhan keras sebanyak mungkin. Dalam hal hutan yang lebat akan menahan air di tanah sebanyak mungkin, airpun tak akan meluncur secara langsung. Lakukan Sertipikasi atas lahan masyarakat di hulu dimaksudkan agar pemilik lahan mengetahui batas lahan miliknya.Â
Memastikan batas lahan dengan dukungan dokumen berupa Sertipikat, akan meningkatkan kesadaran semua pemilik tanah untuk turut bertanggung jawab dalam memanfaatkan dan mengawasinya. Sengketa tanahpun akan diminimalkan, supaya semua lahan dimanfaatkan dimana pemilik mempunyai otoritas pemanfaatannya.Â
Biasanya jika terjadi kebakaran, diatas tanah yang belum bersertipikat akan saling diam sama sama membiarkan, ada ketakutan jika ketahuan tanah siapa. Sebab, bisa jadi dilibatkan bertanggung jawab. Nah, inilah manfaat jika seluruh tanah di Hulu sampai hilir disertipikatkan. Sudah barang tentu, yang disertipikatkan adalah tanah milik mereka tidak termasuk lahan sempadan sungai, yang biasanya berjarak 100 M2 dari bibir sungai.
Tekan ditengah, artinya membuat bendungan-bendungan di titik tertentu, untuk menahan air dengan jarak tertentu supaya air bisa bertahan dengan volume yang sangat besar. Bendungan ini, bisa disalurkan ke lajur sungai kiri kanannya. Berkurangnya air yang disalurkan ini akan menolong mengalirnya air ke hilir akan berkurang. Semakin banyak bendungan-bendungan lebih baik. Jika air berkurang, maka bendungan ini bermanfaat untuk mengalirkan sungai ke persawahan masyarakat secara lebih luas dan terkendali. Irigasi tehnis dengan sistem pengaturan (seperti sistim Subak di Bali), akan menolong memastikan pasokan air secara berkesinambungan.
 Dorong di Hilir, dimaksudkan dengan melancarkan saluran sungai yang bisa melancarkan air sampai ke laut. Mengatasi hambatan apa saja yang dilalui air ini agar tidak berhenti sehingga berpotensi melubernya air yang datang dari hulu. Dalam skala kecil, bisa kita lihat dengan memasang mesin pendorong air masuk ke sungai yang lebih besar.
 Relevansi tiga strategi ini, hemat saya bisa diterapkan diberbagai sungai yang bermasalah dimana manusia sulit mengendalikannya. Mungkin ada perbedaan di beberapa titik, jika memang ada penyempitan dengan menormalisasi sungati melalui pembebasan tanah dan bangunan yang berada pada posisi memasuki sempadan sungai.Â
Seperti Ciliwung, dimana hulunya dimulai dari daerah Bogor sampai ke Bekasi dan Jakarta. Wilayah Jakarta, pembebasan lahan bagi tanah yang sudah bersertipikat, serta penertiban bagi tanah yang belum bersertipikat. Ini menyangkut rasa keadilan saja, sebab pembangunan diatas lahan sempadan sungai sebenarnya melanggar aturan itu sendiri, sehingga kepentingan umum harus diletakkan lebih utama katimbang kepentingan individu.