Mohon tunggu...
Ronny Adolof Buol
Ronny Adolof Buol Mohon Tunggu... Fotografer -

Suka membaca dan hobby motret.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mereka Nekat Menembus Tambang dengan Kamera

19 November 2011   09:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:28 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tim 12 Days Exploratory Photo Expedition Rute Pertama menginjakkan kakinya di Desa Laine setelah dua jam berkendara dari Kota Tahuna. Sesuai jadwal, Tim yang terdiri dari 12 orang ini akan berada selama dua hari di kampung tua yang masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Manganitu Selatan. Dari arahan, terdapat beberapa objek foto yang harus diburu, antara lain Air Terjun Kadadima, Hutan Bakau, Kehidupan Buaya Liar, Kehidupan Penduduk Desa, dan yang terakhir Lokasi PETI (Penambangan Emas Tanpa Ijin).

Setelah mengambil gambar anak-anak SMP Laine yang berpraktek menanam padi tak jauh dari sekolah mereka, Tim beristirahat sambil makan siang. Kesempatan itu dipergunakan Opo Lao (sebutan untuk Kepala Desa di Sangihe) memberi sedikit gambaran mengenai desanya. Kampung Laine berada di Kecamatan Manganitu Selatan. Termasuk salah satu kampung tua yang ada di Kabupaten Sangihe. Kampung Laine terkenal karena merupakan satu-satunya kampung yang ada satwa buayanya, dengan hutan bakau yang lebat. Serta terdapat pendulangan emas rakyat tanpa ijin. Dulu rumah penduduk Laine berbentuk panggung, karena ketika banjir datang, buaya-buaya dari sungai tersebut naik sampai ke perkampungan, dan membahayakan keselamatan penduduk. Menurut data, pada saat terjadi banjir badang besar di Sangihe pada tahun 2008, beberapa ekor buaya yang telah dianggap hilang 20 tahun lalu, tiba-tiba muncul kembali. Sejak itu, beberapa kali masyarakat menjumpai buaya-buaya tersebut berjemur di muara. (Perburuan seru anggota Tim mengenai kehidupan buaya dimalam hari diatas perahu akan dituliskan pada tulisan lainnya). Beberapa rumah panggung masih tersisa dengan kondisi yang sudah sangat tua. Bahkan salah satu rumah panggung dibagian atapnya terpahat dengan sangat jelas angka tahun 1936. Sekarang hampir semua rumah penduduk telah berbentuk bangunan permanen dari beton. NEKAT MENEROBOS TAMBANG Sebagai Koordinator Tim, saya beberapa kali meminta keyakinan dari Opo Lao, Noberto Lahengko, soal akses ke lokasi tambang. Sebagaimana yang diketahui di berbagai lokasi tambang liar, para penambang sangat tidak nyaman dengan kehadiran orang yang membawa kamera. Apalagi kali ini 12 orang dengan kamera DSLR dan memakai atribut event. Saya pernah dikejar penambang dengan parang ketika mencoba memotret di lokasi tambang emas Tatelu, Minahasa dan Bombana, Sulawesi Tenggara. Namun, Kepala Kampung memberi keyakinan. Pukul satu siang, Tim pun berangkat menuju lokasi tambang. Menempuh jarak 3 kilometer jalan kaki, dengan jalanan licin dan sempit, serta beberapa kali dihadang hujan, Tim ditemani Sekretaris Desa, Sukarni Medea serta salah satu aktivis Burung Indonesia, Denny Piara. Sepanjang jalan, anggota tim berpapasan dengan kenderaan roda dua yang lalu lalang mengantar penumpang penambang ke lokasi. Setelah sejam lebih jalan kaki, akhirnya sampai juga di lokasi.

Begitu tiba di lokasi, anggota tim langsung saja tercenggang dengan sebuah sungai yang tersaji di depan mata. Air yang berwarna cokelat dengan membawa material lumpur, tanah dan batu mengalir deras. Tanpa dikomando, semua langsung mengeluarkan kameranya. Insting mereka sebagai fotografer bekerja. Saya yang memimpin jadi deg-degan. Tak konsentrasi mengambil gambar, tetapi lebih banyak mengawasi anggota tim. Hujan turun. Sebagian berteduh, sebagian tak peduli dan langsung menyeberangi sungai kecil itu. Saya pun harus ikut.

Wow….. apa yang tersaji membuat kami semua, yang memakai tagline event, Gerakan Peduli Lingkungan Lewat Foto merinding. Di kiri kanan terdapat lubang-lubang besar mengangga, dengan diameter dan kedalaman yang bervariasi. Bahkan di sebelah kiri terdapat lubang raksasa yang kira-kira berdiameter 300 meter dengan kedalam lebih dari 30 meter. Semua lubang berisi para penambang yang sedang beraktivitas. Mengali tanah, berkutat dengan lumpur, menganggut batu, menyemprotkan air dengan pipa-pipa besar, mendulang, semuanya berburu emas.

Saya merinding melihatnya, amat terlebih melihat anggota tim yang seolah tak menghiraukan keselamatan langsung nekat menekan shutter. Bahkan beberapa anggota tim langsung turun ke lubang raksasa, Perlu perjuangan ekstra, dan berkubang lumpur untuk sampai di dasar itu. Sekilas tersirat dari wajah-wajah penambang, ekspresi tidak senang dengan kehadiran kamera DSLR dengan lensa-lensa tele berseliweran. Sore mereka hari itu menjadi sedikit lain.

Saya menahan diri untuk tidak banyak memotret. Lebih memilih melakukan pendekatan ke para penambang, mengajak mereka berbincang agar anggota lainnya mendapat keleluasaan memotret.  Samsared Barahama, Natural Resources Management Specialist dari Wildlife Conservation Society Indonesia Programme Sulawesi Utara (WCS-IP Sulut), berdecak kagum. “Bahkan kami yang bertahun-tahun mengamati kerusakan lingkungan didaerah Laine, belum pernah sama sekali tembus membawa kamera ke lokasi tambang,” katanya tak habis pikir. KERUSAKAN LINGKUNGAN DAN KONDISI SOSIAL Rekaman lensa anggota tim selama lebih dari 4 jam di lokasi pendulangan emas, sungguh membawa pesan kerusakan lingkungan yang sangat parah, serta kondisi sosial yang memprihatinkan. Saya sempat memotret dan mengajak berbincang Hendrik, seorang bocah berusia 13 tahun yang rela meninggalkan bangku sekolahnya demi berburu emas. Sungai yang dulunya dalam dan menjadi sumber mata air penduduk, kini menjelma menjadi monster yang menakutkan bagi warga. Endapan dari lumpur, tanah serta batu kerikil yang disedot dari lubang dan dibuang ke sungai begitu saja, membuat sungai tertutup bahkan nyaris hilang. Tak pelak, setengah jam saja hujan menguyur, Kampung Laine akan terendam banjir setinggi lutut. Tembakan air dari pipa-pipa pompa penyedot air dibutuhkan para penambang untuk membongkar material. Lalu campuran material itu dialirkan ke instalasi penyaringan yang memisahkan antara pasir emas dan material lainnya. Sisa lumpur, tanah, serta kerikil yang tersingkir dibuang begitu saja ke badan sungai. Kondisi tak mengenakan sempat Tim rasakan ketika pulang. Jalanan yang tadinya tidak banjir, harus dilalui dengan hati-hati karena air keruh setinggi lutut. Bukan karena hujan, tetapi merupakan lepasan air dari penambang. Belum lagi limbah tailing yang juga dibuang begitu saja ke sungai. Kondisi ini sangat membahayakan kesehatan penduduk kampung.

Disamping kerusakan lingkungan, kerawanan sosial menjadi bagian kehidupan keseharian lokasi tambang. Salah satu fotografer tim berhasil mengabadikan dan berbincang dengan seorang ibu yang mengendong cucunya di tengah-tengah areal tambang. Dari tuturannya, diperoleh keterangan bahwa cucunya tersebut sudah dibawanya sejak berusia 6 bulan hingga 2 tahun ini, karena bapak dan ibunya bekerja seharian di tambang. Ironi kehidupan sosial tersaji dengan mirisnya. Anak-anak yang semestinya bermain riang dengan kawan-kawannya di kampung, malah harus bermandi lumpur memantu orang tua mereka. Emas telah merubah segalanya. Pohon tanpa ranting di ujung sungai kecil itu, seakan mewakili teriakan lingkungan yang meradang dari aktivitas tambang liar. Mereka tidak bisa disalahkan seratus persen. Campur tangan pemerintah daerah diperlukan untuk pembinaan mengenai dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas itu. Walau bagaimanapun, mereka cari makan dari emas yang didapat. Ironinya, lokasi tambang tersebut belum mendapat ijin eksplorasi dari Pemkab Sangihe, tetapi dari tuturan para penambang, mereka punya kewajiban membayar retribusi yang ditarik oleh dinas terkait. Malah terdengar isu, Pemkab Sangihe berencana menyerahkan hak kelola lokasi tersebut kepada investor besar. Sudah terbayang apa yang akan terjadi dengan lingkungan yang sudah memang rusak tersebut. Sementara tak jauh dari lokasi tambang, sebuah sajian alam yang begitu indah tersaji untuk dimaksimalkan. Potensi Wisata Menyusuri Sungai Bakau. Sebuah kecantikan alam yang membuat anggota Tim Berburu Foto selama 12 hari di 5 kabupaten di Sulawesi Utara, mengalami “orgasme” di pagi berikutnya. Hari pertama dari perjalanan ekspedisi photo langsung berhadapan dengan pemandangan dan kenyataan yang memilukan dari tanah Sangihe.

IMG_8844
IMG_8844
DSC_6478
DSC_6478
BECKS
BECKS
IMG_8505
IMG_8505

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun