Mohon tunggu...
Ronny Adolof Buol
Ronny Adolof Buol Mohon Tunggu... Fotografer -

Suka membaca dan hobby motret.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Melintasi Bukit Hari Terlanjur Sore

5 Maret 2011   04:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:03 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ada seorang laki-laki kaya raya punya tujuh anak laki-laki tiga perempuan saleh, jujur dan takut akan Allah punya tujuh ribu ekor kambing domba tiga ribu ekor unta lima ratus pasang lembu lima ratus keledai betina dan budak yang banyak sekali. duh gusti kayanya sang lelaki dialah lelaki terkaya di sebelah timur. satu senja ketika lelaki itu menikmati keindahan alam di pendopo bertiuplah angin dari barat sangat sepoi nan membuai penuh kelembutan dan bermimpi. ia kedatangan malaikat dengan kepakan sayap kuasanya laki-laki ditawarkan sebuah mahkota kemuliaan yang bukan hanya bertaburkan emas, berlian, intan tetapi mahkota yang punya kerajaan laki-laki mengiyakan kendati pun ia harus menjual seluruh hartanya dan meninggalkan istri, anak serta tanah kelahirannya sebab mahkota itu harus di ambil di tanah seberang. pagi-pagi ia bangun sewaktu embun masih membasahi bumi semuanya di jual dan ia pergi ke tanah seberang. laki-laki bersua sebuah bukit. gersang tak ada kehidupan tapi tekadnya bulat betul diambilnya salib yang tertancap di kaki bukit itu dipikulnya dan mulailah ia mendaki seperti apa kata malaikat batu cadas karang panas tandus kering peluh laki-laki terus mendaki kendati ia mulai kehilangan nafas mahkota kemuliaan, itu yang ada di otaknya matahari tepat di ufuk lelaki istirahat sebentar melempar pandangan ke tanah hijau yang ditinggalkannya kambing, domba, unta, lembu, keledai bermain riang dengan anak-anaknya selintas penyesalan lewat di pelupuknya lelaki menampik dengan keindahan mahkota yang akan diperolehnya sebentar lagi katanya sambil melihat ke puncak bukit ia bangkit, pikul salib lalu kembali menjadi orang hina dina statusnya lenyap demi sebuah mahkota yang dijanjikan malaikat pasti nikmat melebihi apa yang kujual dan kutinggalkan begitu gumamnya batu cadas karang panas tandus kering peluh dan kini darah mulai menetes dari dahinya salib itu terlanjur berat berat berat berat dan lelaki itu lunglai tak berdaya roboh ke tanah dalam lemas tak berdaya ia masih sempat memperhitungkan harta dan mahkota yang akan diperolehnya andai kudapat dua-duanya kusewa budakku ke puncak bukit itu, duh bodohnya aku ia semakin tak berdaya. lalu lewatlah seorang laki-laki lain berjubah putih memberi minum si lelaki tadi lalu mengambil salib, memikulnya, mendaki ke puncak bukit dengan keyakinan. dalam kebinggungannya lelaki itu terpaku di puncak bukit seorang lelaki berjubah putih bermahkota duri menancapkan salib yang dipikulnya lalu menyalibkan diri darah menetes perlahan seiring senja bukit semakin gelap lelaki itu baru sadar bahwa ia mendaki bukit golgota bukit senyap sunyi tak ada gerak yang ada suara sayu-sayu dari puncak bukit “ampunilah meraka ya Bapa, sebab mereka tak tahu apa yang mereka perbuat”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun