Pemilihan presiden baru saja berakhir. Hari-hari menuju PilPres kita ketahui bersama, penuh ragam kampanye untuk saling mempengaruhi. Di akar rumput bukan rahasia lagi, terutama di media sosial, terjadi aksi saling caci dan hujat terhadap CaPres lawan.
Demokrasi yang dewasa seharusnya membandingkan kapasitas dari CaPres bukan membandingkan masa lalu, sebab setiap orang pasti punya masa lalu yang gelap. Saya bahkan selalu menjawab " jangan hanya mencari kesalahannya ketika ia dewasa, carilah sampai ke masa kecil si CaPres, pasti masih banyak kesalahan lainnya, mungkin mencuri sandal di Masjid, curi mangga, bahkan ngompol di celana". Maksudnya apa ?. Bahwa kalau masa lalu gelap seseorang yang ingin kita ungkit, maka manusia adalah tempatnya SALAH!. Cukup sering saya mendengar kata bijak yang mengatakan, lebih baik mantan penjahat dari pada mantan ustadz, atau mantan pendeta. Orang cerdas pasti paham dengan pendapat tersebut.
Memang sulit untuk menyamakan persepsi bahwa kita jangan mengungkit masa lalu seseorang. Tetapi setiap orang hendaknya menyadari bahwa pada diri kitapun sebenarnya punya kelakuan jelek. Karena ketika anda menjadi orang yang tukang ungkit masa lalu, sebenarnya, anda sudah memiliki kelakuan jelek. Bukankah itu sama saja ???
Sekarang, kita perlu sadari suatu hal yang SANGAT PENTING, bahwa dalam pemilihan pemimpin, dalam hal ini Presiden, RAKYAT HANYA MEMILIH, BUKAN MEMAKSA seseorang harus menjadi Presiden. Itulah kedewasaan!. Ketika kita semua sudah memberikan suara, maka tidak perlu lagi merasa kecewa, atau marah jika CaPres yang kita pilih tidak cukup suara untuk menjadi Presiden. Itu yang seharusnya kita pahami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H