Mohon tunggu...
RONY SINAGULA
RONY SINAGULA Mohon Tunggu... -

mahasiswa sekolah tinggi filsafat Driyarkara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Engkau yang Tertimbun di Antara Puing-puing

2 Oktober 2011   10:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:25 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Memandangmu hanya akan menyengsarakan dan merusak indra penglihatanku.

Memang awalnya aku begitu bersimpati bahkan menaruh harapan untuk memilikimu secara pribadi, namun tingkah yang terlihat dari tutur dan perilakumu ternyata sebuah kemunafikan. Engkau tidak lebih baik dari seorang pembunuh yang membantai sebuah keluarga yang pada beberapa hari yang lalu melangsungkan perjanjian untuk setia sampai akhir. Terkadang aku hendak membunuh dan membuang jazadmu di sungai yang keruh. Jujur saja; melihatmu hanya akan menyengsarakan dan merusak indra penglihatanku. Seandainya bangunan ini dapat kubeli maka dapat dipastikan bahwa tidak akan ada barang-barangmu yang tampak di sini. Aku sangat tersiksa dengan kemunafikan yang dirias layaknya Kendedes.

Sampai kapan aku berada dalam kesengsaraan? Telah kucoba untuk membiarkan dirimu berkreasi serta berkembang dalam tingkah aneh itu namun virus yang telah menjangkit di sekujur tubuh ini tidak dapat dihilangkan. Engkau menyiksaku layaknya setan yang menggoda dan menenggelamkan Ayub ke dalam penderitaan. Namun tingkah setanmu tidak dapat menjerumuskan aku untuk menyantap buah terlarang, seperti yang dilakukan oleh Hawa dalam kisah penciptaan. Memang; memandangmu hanya akan menyengsarakan dan merusak indra penglihatan. Jika sikapmu tidak dibalut dengan kemunafikan dan lakumu tidak dipaksakan untuk menjadi bijaksana maka aku telah berusaha sekuat tenaga dan pikiran agar dapat memilikimu secara pribadi.

Teringat akan awal perjumpaan, dimana tingkahmu menyebabkan aku begitu cemburu terhadap sahabat dekatku yang memiliki dirimu secara pribadi. Tidak dapat dipungkiri bahwa pesona kepolosan yang tampak di awal perjumpaan mampu membangkitkan rasaku terhadap lawan jenis yang selama ini berada di antara malam dan pagi. Yah….. ternyata hanya kesan awal yang menipu. Dengan tingkah dan lakumu yang demikian semakin menguatkan pandanganku mengenai fenomena-fenomena yang tertangkap oleh indra tidak dapat dikatakan sebagai suatu kebenaran yang sahih. Memang, memandangmu hanya akan menyengsarakan dan merusak indra penglihatan. Dan aku mulai memberikan jarak terhadap setiap pertemuan dan tatapan kita. Selain memberi jarak, aku juga berusaha agar semakin memandangmu sebagai suatu keanehan atau tepatnya menggolongkan engkau ke dalam salah satu jenis penyakit kejiwaan.

Mungkinkah aku terlalu berlebihan dalam memberikan kesimpulan atas sikapmu? Apakah aku harus berpura-pura atau munafik dengan menuliskan beberapa aspek kebaikan yang dapat dimaknai dari sikapmu? Ini sangat tidak mungkin; keburukan adalah keburukan dan kebaikan adalah kebaikan. Aku tidak akan mengambil waktu untuk merefleksikan sikapmu kemudian mengambil beberapa aspek positif dari sikap tersebut. Sekali lagi; ini adalah suatu ketakmungkinan. Menuliskan kebaikan yang dapat dipetik dari keburukanmu sama dengan mengingkari kejujuran dan bersikap tidak adil terhadap diriku. Aku bukan seorang agamawan atau teolog yang dapat dengan mudah mengambil sebuah kesimpulan atas peristiwa buruk yang dialami atau dilihat. Benarlah bahwa melihat dengan hati sangat membantu seseorang dalam menghadapi permasahalannya serta memampukannya untuk menemukan jalan keluar. Ini tidak berlaku untuk permasalahan yang terjadi padaku. Sebab sikapnya hampir saja merusak indra penglihatan ini. Seandainya aku denga segera memandangnya dari sudut pandang hati, keburukannya tetap menjadi keburukan. Hati terlalu lemah dalam menyikapi permasalahan, ia dengan mudah memberikan maaf dan begitu cepat mengampuni. Ia kurang memperhitungkan efek yang telah ditimbulkan oleh hal tersebut. Melihat dengan mata bukan hati. Jika aku menggunakan hati dalam melihat dirimu maka engkau semakin menguasai dan memperdaya diriku. Bisa saja aku terusir dari taman eden ini. Biarlah Adam dan Hawa sajalah yang mengalami keterusiran. Dan aku adalah sosok yang selalu belajar dari pengalaman orang lain sehingga sangat tidak mudah untuk mengikuti kesalahan yang telah dilakukan orang lain. Memandangmu hanya akan menyengsarakan dan merusak indra penglihatan.

Terkadang aku berpikir tentang lakumu sebagai suatu bentuk pelampiasan terhadap masalah yang sedang bergerak dalam aliran darahmu. Meskipun demikian, mengapa kau jadikan aku sebagai tumbal? Hendak memarahi kelakuanmu namun aku jenis manusia yang susah untuk melukai hati sesama. Sebenarnya diamku harus dapat dilihat sebagai bentuk ketidaksukaan terhadap sikapmu. Meskipun beberapa hari ini engkau sudah tidak terlibat aktif dan bersinggungan secara langsung denganku namun secara keseluruhan tidak disebabkan oleh diamku. Itu lebih kepada semakin beratnya persoalan yang mengalir dalam darahmu. Ahhh……dasar mahluk yang tidak pantas berlabelkan manusia. Sebaikanya engkau berada di antara saudara-saudara sedarah dan seibu. Jika engkau tetap berada di tempat ini, bisa saja masalahmu akan bertambah parah. Sebab aku juga dikenal sebagai pembunuh ‘berdarah dingin’ yang menyerang lawannya secara perlahan-lahan. Selain itu aku sangat menguasai Samozashchita Bes Orujiya atau Sambo, dimana sebuah teknik membunuh kilat dengan tangan kosong, membuat si korban tidak menyadari akan pembunuhan yang sedang terjadi pada dirinya. Teknik ini tidak kugunakan untuk membunuh tubuhmu yang sudah tidak berharga lagi, baik sebagai individu maupun sebagai manusia secara keseluruhan. Aku akan membunuh segenap kekuatan yang telah melindungimu. Dengan demikian keterpurukan akan segera bersenandung ria sambil mengolok-olok keseharianmu. Sampai pada tahap ini maka tidak dapat dipungkiri lagi bahwa tubuhmu akan mengalami ketersiksaan yang melebihi penyiksaan terhadap bangsa Yahudi di kamp-kamp konsentrasi Nazi.

Setelah membunuh segenap kekuatan yang kau jadikan sebagai tempat berlindung, aku akan meminta izin kepada keseharian agar dapat menonton kehancuranmu sambil melepaskan ekspresi kemenangan. Aku juga telah menyiapkan upacara, lebih tepat dikatakan sebagai ritual untuk merayakan kemenangan. Ritual ini didahului dengan pembacaan puisi yang berjudul ‘Maghrib Membungkam Suara Beduk’

Tidak ada kicau dari pohon belimbing

Seketika raungan kucing dibungkam

Tikus yang berseliweran hanyalah tontonan para gelandangan

Yah…..Maghrib membungkam suara beduk

Piring-piring kotor berserakan

Tetesan air dari tempat cuci begitu dikucilkan

Yah…..Maghrib membungkam suara beduk

Tidak ada kemanusian di tepi rumah

Keributan meninabobokan kesenyapan

Kalau saja; ubin-ubin putih berkeluh tentu akan air mata di sela-selanya

Adakah nyala neon menyerap kalimat-kalimat?

Masihkah dinding batu menampakan kecerahan?

Atau Cat kusam bersetubuh dengan udara basah?

Yah…..maghrib membungkam suara beduk

Pada keheningan maghrib yang tergeletak lemah

Engkau hanya mendengarkan suara adzan yang diterbangkan oleh sepoi

Namun mampukah suara beduk terdengar dengan jelas?

Karena keributan maghrib berhamburan tak arah

Yah….Maghrib membungkam suara beduk

Ritual dilanjutkan dengan mempersembahkan sesajen kepada roh-roh yang telah terlibat dalampenghacuran itu. Persembahan ini diiringi dengan pembacaan mantra yang ditujukan untuk mengundang roh-roh agar menyantap sesajen. Tentu saja alunan musik akan terus dimainkan sampai akhir ritual. Dengan mengadakan ritual ini, aku tidak akan tersentuh oleh karma ataupun sejenisnya. Sedangkan kau terkubur di antara puing-puing bangunan, setiap batanya terpisah antara satu dengan lainnya. Semuanya tidak dapat disatukan meskipun oleh tangan seorang ahli bangunan. Setelah menyelesaikan ritual, aku melanjutkan dengan berpesta-pora di tengah keramaian. Hanya kesendirian yang terlibat dalam pesta tersebut sebab mengundang orang lain hanya akan mengusik kebahagianku.

Kelihatannya tulisanku tentang dirimu sangat tidak manusiawi, tidak melihat sisi kebaikan yang tampak darimu. Apakah harus menuliskan seluruh kebaikanmu agar terhindar dari tatapan bencimu? Itu sangat tidak mungkin. Aku memberanikan diri untuk menuliskan kebencian terhadap dirimu lebih disebabkan oleh besarnya rasa cinta kepadamu. Aku tidak menghendaki engkau berada di antara puing-puing, membenamkan seluruh wajahmu pada reruntuhan itu. Bahwa dengan tulisan ini, aku sangat berharap engkau dapat memahami tentang rasa cintaku sebagai seorang saudara, cinta yang tulus untuk menjadikan engkau sebagai saudariku sebab aku tidak memiliki seorang adik atau kakak perempuan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun