[caption id="attachment_361447" align="aligncenter" width="560" caption="Masril Koto (KONTAN/Dok Pribadi Masril Koto)"][/caption]
Masril Koto alias Da Maih atau kalau saya biasa panggil Maskot, adalah laki-laki pendek dengan pendidikan tak lebih dari kelas 4 SD, tetapi punya ide yang brilian. Ya beberapa waktu yang lalu ada seorang kompasianer bernama Fauziah Fauzan yang membuat tulisan dengan judul mempertanyakan kebenaran cerita Masril Koto. Tulisannya hebat sekali, tapi sayangnya tak memenuhi etika jurnalisme (apalagi yang bersangkutan menyebutkan ia adalah seorang jurnalis yang jauh-jauh datang ke Baso hanya untuk mewawancarai Maskot).
Maskot ini saya kenal sudah kucup lama, sebelum ia terkenal saya sudah bersua juga dengan dia. Begitu pun dengan banyak wartawan di Kota Padang. Dulu Maskot ini selain sering berkumpul di AFTA, ia juga sering mampir ke kantor AJI Kota Padang bahkan juga nginap di kantor AJI , dulu dia datang pakai motor bebek butut dan sekarang kalau mampir masih pakai motor itu juga, atau semati-mati aka, dia datang pakai travel, tak ada yang berubah signifikan dari sosok Maskot, hanya ada tambahan aksesoris saja, dulu tak pakai topi koboi, kalau sekarang dia pakai topi koboi.
Dulu Maskot ini sempat merantau ke Jakarta, beberapa tahun di Jakarta ia kembali ke Bukittinggi dan bekerja di Pasar Padang Luar, ia sering duduk di kedai mertua saya. Setelah itu ia bekerja menjual minyak tanah keliling di Baso, pelanggannya bisa ambil hari ini, besok baru bayar. Nah inilah yang ia lakoni, selain itu ya ia menjadi petani, perasaan petani yang ia rasakan inilah yang memberikan ia kekuatan untuk mendorong petani menjadi sejahtera.
Di kelompok Tani, ia banyak dibimbing oleh Pak Joni (beliau ini adalah kepala dinas Pertanian Sumbar), lalu ada kawan-kawan Afta, lalu ada Wan Sukri, dan masih banyak yang lain yang ikut membimbing Maskot ini. Dalam membentuk Bank Petani di Sumbar bukan sesuatu yang mudah, banyak tantangannya, namun bagi Maskot, ya di situlah hidup, kalau tidak ada tantangan, ya ndak ada gunanya (sederhana).
Dalam mendorong pembentukan Bank Petani, Maskot tidak dapat apa-apa, bahkan dia juga tidak mau dijadikan pengurus, ia hanya membantu membidani, ia berangkat dari satu keltan ke keltan yang lain hanya dengan membawa motor butut, plus tas ransel yang isinya laptop, tak jarang bensin motor pun sering jarumnya menunjukkan empty. Buat Maskot, rezeki itu tidak berpintu, bisa datang dari mana saja, biasanya pulang dari satu kelompok dan menuju ke kelompok yang lain, bensin motornya sudah penuh, karena kunci motor dia itu tak pernah dilepaskan dari motor, jadi siapa saja boleh membawa motor itu, konsekuensinya ya isi bensin kalo tidak mau mendorong. Intinya bahwa ia adalah orang yang konsisten dan gigih dalam memperjuangkan petani dengan ide Bank Petaninya, dan di Bank Petani itu dia bukan pemilik juga bukan pengurus (ini hebatnya).
Jadi kalau ada yang mau memberi penghargaan kepada yang bersangkutan atas apa yang ia perjuangkan, ya menurut saya tidak salah, sudah benar itu, yang dihargai itu konsistensi atas apa yang diidekannya dan sikap pantang menyerahnya untuk tetap mendorong perubahan ekonomi petani dengan mendirikan Bank Petani. Selain Bank Petani juga ada Bank Pemulung, ada juga rumah-murah untuk buruh, dan banyak lagi yang lain ide-idenya itu. Intinya yang penting buat kita adalah, Maskot orang yang hanya sampai kelas 4 SD mampu mendorong dan berbuat untuk perubahan bagi komunitas yang lebih besar, banyak orang yang sudah berlapis-lapis gelar kesarjanaannya tetapi hanya untuk ber-ide saja masih belum mampu, apalagi berbuat.
sudahlah, ini sajalah dulu ya. Oh ya, kalo mau ketemu Maskot itu tak sudah, tak perlu repot-repot mencarinya, biasanya HP-nya selalu on, dan kalau ada sinyal Facebook dan Twitter-nya aktif.. P
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H