Transfer pricing (TP) merupakan salah satu konsep dalam ekonomi dan perpajakan yang sering menjadi topik kontroversial. Dalam dunia bisnis internasional, TP menjadi alat strategis yang digunakan perusahaan multinasional untuk mengelola alokasi keuntungan antar entitas dalam grup mereka. Namun, apa yang melatarbelakangi munculnya TP? Bagaimana konsep ini berkembang dari sesuatu yang tidak disadari (ketidaksadaran) menjadi strategi yang digunakan secara sadar oleh perusahaan? Kita akan menggunakan pendekatan genealogi untuk melacak asal muasal TP sebagai ekspresi dari kehendak (Wille) yang awalnya tersembunyi di bawah kesadaran (Id), hingga menjadi kesadaran yang terwujud dalam praktik bisnis modern.
Evolusi Transfer Pricing melalui Perspektif Psikoanalisis
Sigmund Freud dalam teorinya tentang psikoanalisis menyebutkan bahwa "Id" merupakan dorongan dasar manusia yang tidak disadari, mengendalikan tindakan yang didorong oleh naluri dan keinginan tanpa intervensi logis (Freud, 1923). Dalam konteks ekonomi, TP pada awalnya dapat dipahami sebagai dorongan alamiah untuk memaksimalkan keuntungan, tanpa memerhatikan norma atau aturan yang berlaku. Dorongan ini berasal dari kehendak (Wille) untuk mempertahankan keberlanjutan bisnis dalam lingkungan yang kompetitif.
TP sebagai sebuah konsep asal dapat dipahami melalui pendekatan teori psikoanalisis yang dicetuskan oleh Sigmund Freud. Sigmund Freud membagi struktur kepribadian manusia menjadi tiga komponen utama, yaitu Id, Ego, dan Superego. Dalam konteks TP, ketiga elemen ini dapat dimetaforakan untuk menjelaskan evolusi dari dorongan primal perusahaan menuju praktik strategis yang lebih sadar dan rasional.
Id: Dorongan Dasar Perusahaan untuk Memaksimalkan Keuntungan
Menurut Freud, Id adalah komponen primitif dari kepribadian manusia yang beroperasi pada prinsip kesenangan (pleasure principle). Id mendorong individu untuk memenuhi kebutuhan biologis dan naluri dasar tanpa mempertimbangkan konsekuensi sosial atau etika. Dalam konteks TP, Id mewakili kehendak alamiah perusahaan untuk memaksimalkan keuntungan dan mempertahankan kelangsungan hidup dalam lingkungan bisnis yang kompetitif.
Pada tahap asal, praktik TP muncul sebagai respon spontan dari kebutuhan perusahaan untuk:
- Mengurangi Beban Pajak
Dorongan awal perusahaan multinasional adalah mencari cara untuk meminimalkan kewajiban pajak di yurisdiksi dengan tarif pajak tinggi. Misalnya, dengan menetapkan harga transfer yang tidak mencerminkan nilai pasar wajar (non-arm's length), perusahaan dapat memindahkan laba ke lokasi dengan pajak yang lebih rendah.
- Mengatasi Keterbatasan Sumber Daya
Dalam era perdagangan internasional yang masih berkembang pada abad ke-19, perusahaan harus mencari cara efisien untuk mengalokasikan sumber daya antar entitas dalam grup. TP, meski belum termanifestasi sebagai konsep formal, merupakan ekspresi dari dorongan ini.
Dorongan yang dimanifestasikan oleh Id ini bersifat tidak disadari dan instingtual. Perusahaan tidak secara eksplisit menyadari bahwa praktik tersebut berpotensi melanggar norma-norma hukum atau etika; mereka hanya terdorong oleh kebutuhan primal untuk bertahan dan berkembang.
Ego: Rasionalisasi Praktik Transfer Pricing
Dalam model Freud, Ego adalah mediator yang beroperasi pada prinsip realitas (reality principle). Ego bertugas menjembatani keinginan Id dengan tuntutan dunia nyata, termasuk norma sosial, hukum, dan etika.
Seiring dengan meningkatnya kompleksitas perdagangan internasional, perusahaan mulai menyadari bahwa praktik TP yang didorong oleh Id semata tidak dapat berlangsung tanpa menghadapi risiko pemeriksaan pajak yang ketat oleh otoritas pajak, dan potensi sanksi hukum akibat manipulasi harga transfer.
Pada tahap ini, TP mulai diintegrasikan ke dalam kerangka kerja yang lebih rasional dan terencana. Perusahaan mulai menyusun dokumentasi harga transfer dan menganalisis risiko perpajakan sebagai bagian dari strategi bisnis. Dengan demikian, Ego dalam TP adalah manifestasi dari kesadaran perusahaan untuk menyeimbangkan dorongan primal dengan tuntutan eksternal.
Superego: Intervensi Regulasi dan Norma Kolektif
Superego dalam teori Freud mewakili suara moral dan norma sosial yang internalisasi dari masyarakat. Ini adalah struktur kepribadian yang membimbing perilaku individu agar sesuai dengan nilai-nilai sosial dan etika. Dalam konteks TP, Superego diwujudkan melalui regulasi dan pedoman perpajakan internasional, seperti:
- Prinsip Arm's Length: OECD memperkenalkan prinsip ini untuk memastikan bahwa transaksi antara entitas terkait mencerminkan nilai pasar wajar.
- Aturan Transfer Pricing di Negara-Negara: Banyak negara mulai memberlakukan peraturan TP untuk mencegah penghindaran pajak dan menjaga basis pajak nasional.
Regulasi ini berfungsi sebagai "hukum moral" yang menekan perilaku perusahaan agar tidak sepenuhnya dikendalikan oleh dorongan primal (Id). Superego berusaha menciptakan keseimbangan antara kebutuhan perusahaan untuk memaksimalkan keuntungan dan tanggung jawab mereka terhadap masyarakat dan negara.