Latar Belakang
Globalisasi ekonomi dan perkembangan teknologi telah mendorong perusahaan multinasional untuk melakukan ekspansi bisnis lintas negara. Dalam konteks ini, banyak perusahaan mendirikan entitas di luar negeri untuk memanfaatkan peluang pasar, efisiensi operasional, dan keuntungan pajak. Fenomena ini tidak hanya memberikan keuntungan ekonomi, tetapi juga menimbulkan tantangan besar bagi sistem perpajakan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Praktik ini sering kali membuka celah bagi perusahaan untuk melakukan penghindaran pajak melalui mekanisme seperti shifting profit (pengalihan laba) ke yurisdiksi dengan pajak rendah atau bahkan bebas pajak (tax haven). Salah satu tantangan utama bagi negara dalam mengelola kebijakan perpajakan adalah memastikan bahwa pendapatan yang dihasilkan oleh perusahaan multinasional tidak "hilang" dari basis pajak domestik. Oleh karena itu, tantangan utama negara – negara di dunia dalam konteks perpajakan adalah praktik penghindaran pajak melalui pengalihan laba ke yurisdiksi dengan pajak rendah atau bebas pajak, yang sering dilakukan melalui mekanisme Controlled Foreign Corporation (CFC).
Indonesia, sebagai bagian dari komunitas global, telah mengadopsi aturan CFC untuk mencegah penghindaran pajak dengan cara mengatur pengenaan pajak atas laba anak perusahaan di luar negeri yang dimiliki oleh wajib pajak dalam negeri. Meskipun peraturan ini bertujuan untuk melindungi basis pajak domestik dan meningkatkan penerimaan negara, implementasinya menghadapi berbagai tantangan, seperti keterbatasan data lintas negara, perbedaan regulasi antar negara, dan kepatuhan wajib pajak yang masih rendah.
Dalam memahami fenomena perpajakan CFC, pendekatan teori Pierre Bourdieu, yang mencakup konsep habitus, modal (ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik), serta arena (field), dapat digunakan untuk menganalisis hubungan kekuasaan dalam ranah perpajakan internasional. Pendekatan ini memberikan perspektif yang lebih mendalam tentang bagaimana aktor-aktor dalam arena perpajakan — baik negara, wajib pajak, maupun organisasi internasional — berinteraksi dan berupaya memanfaatkan modal yang dimiliki untuk mencapai tujuan masing-masing.
Di Indonesia, penerapan aturan CFC dapat dilihat sebagai upaya pemerintah dalam menguatkan posisi di arena global, sekaligus menyeimbangkan dinamika antara pengusaha dan otoritas pajak. Namun, perbedaan modal yang dimiliki oleh pihak-pihak tersebut sering kali menciptakan ketimpangan dalam pelaksanaan kebijakan, di mana wajib pajak dengan modal ekonomi dan sosial yang lebih besar cenderung memiliki kemampuan untuk menghindari kewajiban pajak dibandingkan dengan aktor lain yang memiliki modal lebih kecil.
Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi peluang dan tantangan dalam penerapan perpajakan CFC di Indonesia melalui pendekatan teori Pierre Bourdieu. Dengan menganalisis aspek-aspek seperti dinamika kekuasaan, strategi aktor, dan distribusi modal dalam arena perpajakan, diharapkan tulisan ini dapat memberikan pemahaman yang lebih luas dan kritis terhadap upaya penegakan aturan CFC serta implikasinya terhadap sistem perpajakan Indonesia di era globalisasi.
Â
Apa itu Controlled Foreign Company?
Controlled Foreign Corporation (CFC) adalah entitas bisnis yang didirikan di luar negeri dan dikendalikan sebagian atau keseluruhan oleh satu atau lebih pemegang saham yang merupakan wajib pajak dalam negeri di suatu negara tertentu. Umumnya, proporsi saham yang dimiliki untuk mengendalikan CFC adalah lebih dari 50%. Namun, pada praktiknya, terdapat juga beberapa skema yang menjadikan proporsi kepemilikan kurang dari 50% tetap dapat menimbulkan hak untuk mengendalikan CFC. Hal ini terjadi karena terdapat kesepakatan di antara para pihak terkait.
Menurut OECD, CFC dapat didefinisikan sebagai:
A foreign corporation that is more than 50% owned or controlled, directly or indirectly, by a resident of the home country, where the income earned by the foreign corporation is taxed in the hands of the controlling resident, whether or not repatriated. (OECD Action 3 – BEPS Report, 2015).
Sementara itu, dalam konteks Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 93/PMK.03/2019 menyebutkan bahwa:
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!