Di tengah carut marut pelayanan kesehatan yang ada di negeri ini, ada sebuah surat edaran dari Kemenkes tertanggal 25 November 2013 yang ditujukan pada semua direktur RS dan balai pelayanan kesehatan (Balkes) pemberi pelayanan kesehatan Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) yang cukup meresahkan.
Inti dari surat itu adalah telah habisnya anggaran untuk pembayaran klaim jamkesmas dari RS/Balkes untuk tahun anggaran 2013. Imbas dari habisnya anggaran tersebut adalah klaim untuk bulan September, Oktober, November dan Desember  2013 akan dibayarkan dengan menggunakan anggaran jamkesmas 2014. Selain pemberitahuan tentang hal itu, maka surat tersebut juga memuat beberapa poin, antara lain beberapa hal, antara lain:
- Pemberitahuan tentang akan terjadinya keterlambatan pembayaran klaim Jamkesmas
- Diharapkan agar para pemasok obat, alat medis habis pakai (AMHP), darah dan lain-lain tetap bersedia menjamin pasokan
- Menyampaikan informasi tentang hal ini kepada pihak internal yaitu dokter, paramedis dan lain-lain agar tidak timbul gejolak
- Pihak RS/Balkes diharapkan agar tidak menghentikan dan tidak mengurangi mutu pelayanan kesehatan bagi peserta Jamkesmas
- Kementerian kesehatan akan menjamin dan bertanggung jawabatas pembayaran klaim jamkesmas sampai desember 2013 sesuai ketentuan yang berlaku.
Lantas apakah imbas dari habisnya anggaran jamkesmas 2013 tersebut? Poin-poin yang ada dalam surat tersebut sudah membabarkan kemungkinan yang dapat terjadi, di antaranya:
- Para pemasok obat dan alat medis habis pakai (kain kasa, benang jahit, jarum suntik dll) akan menghentikan pasokannya ke RS dan Balkes yang bersangkutan.
Salahkah jika mereka melakukannya? Sama seperti dalam bisnis lainnya jika ada yang nunggak pembayaran bayar yang kita kirimkan, maka jelas wajar saja jika pasokan dihentikan.
- Para dokter dan tenaga paramedis (bidan, perawat, dll) akan gelisah karena  hak-hak mereka  atas jasa pelayanan medis yang sudah kecil selama beberapa bulan (maklum, Jamkesmas) akan ditunda pembayarannya. Hal ini tentu akan dapat mempengaruhi mood mereka ketika melayani pasien, khususnya pasien jamkesmas.
- Penurunan mutu pelayanan kesehatan
Hal ini sangat mungkin terjadi, terutama jika pasokan obat dan alat medis dihentikan oleh pemasok, dan diperparah oleh suasana hati dokter dan tenaga paramedis yang sudah bad mood karena mereka harus tetap melayani tanpa ada kepastian menerima hak-hak atas pelayanan yang mereka berikan.
Lantas apa yang akan dapat terjadi?
- Kemungkinan akan semakin banyak pemberitaan tentang pasien jamkesmas yang merasa ditelantarkan oleh pihak RS
- Kemungkinan akan ada pemberitaan tentang dokter dan paramedis di RS yang mogok kerja.
- 2 hal di atas akan memungkinkan bertambah buruknya penilaian masyarakat terhadap seluruh SDM yang terlibat dalam pelayanan kesehatan di Indonesia.
Walaupun dalam surat tersebut dikatakan alasan bahwa habisnya anggaran jamkesmas karena meningkatnya klaim dari RS yang melampaui kenaikan anggaran jamkesmas 2013, namun hal itu sebetulnya bisa dihindari bila saja Kemenkes dan Kementerian Keuangan beserta DPR di tingkat pusat dan Pemda beserta DPRTD di daerah mau bersungguh-sunguh memperjuangkan kesehatan masyarakat dengan meningkatkan anggaran kesehatan sesuai dengan apa yang diamanahkan dalam undang-undang Kesehatan No. 36/2009 yaitu bahwa alokasi anggaran kesehatan adalah sebesar 5% dari APBN dan 10% dari APBD.
Yang pasti hal itu tampaknya masih lama terwujud sementara saat ini tuntutan masyarakat sudah semakin tinggi dan memusingkan para tenaga kesehatan.
Maka dari itu ada seorang sejawat yang menuliskan di status sosial media miliknya:
Adalah wajar jika masyarakat cuma tahu dan menuntut pelayanan kesehatan gratis yang bermutu dan berteriak adanya ketidakadilan jika hal itu tidak terpenuhi.
Adalah wajar jika politisi, parpol dan para kepala daerah cuma tahu buat janji dan mau ada pelayanan kesehatan gratis di RS dan mengintimidasi RS yang tidak melakukannya.
Adalah wajar jika polisi, pengacara, LSM, jaksa, dan hakim cuma tahu dan meminta adanya pelayanan kesehatan sesuai SOP dan tak sungkan untuk memperkarakan RS beserta staf yang gagal melakukannya.
Adalah wajar jika media menuntut tak adanya kasus penelantaran pasien yang tak mampu dan memblow up hal tersebut bila terjadi.
Tapi adil dan wajarkah segala tuntutan itu bagi para RS beserta semua stafnya dengan latar belakang masalah demikian?