Kicau burung yang kini berganti dengan nada-nada klakson kendaraan perkotaan yang tidak pernah seirama mengiringi langkah mentari untuk menyusuri cakrawala. Embun pagi yang membelai lembut dedaunan di pagi hari, tak akan pernah dapat ditemui lagi. Seperti itulah yang akan dirasakan oleh seorang cucu Adam bernama Roni Kurniawan yang kini mulai beranjak dewasa, merantau di Surabaya, kota terbesar ke-2 di Indonesia. Remaja yang akrab disapa Roni ini lahir di Bandung 20 tahun silam, dan mulai merasakan indahnya kehidupan di desa sejak tahun 2000, tepatnya di Kabupaten Kebumen. Keindahan dan kenyamanan suasana pedesaan membuatnya dapat merasakan kehidupan yang sebenarnya, meskipun mulai sejak saat itu dia harus tinggal hanya bertiga bersama dengan nenek dan kakeknya karena permintaan orang tuanya. Namun, itu tak membuat dirinya sedih berlarut-larut karena harus terpisah jauh dari keluarga yang di Bandung sejak kecil. Justru ia merasa harus bisa membuktikan kepada kedua orang tuanya kalau ia bisa hidup mandiri. Membuat bangga kedua orang tuanya adalah motivasi terbesarnya saat itu. Hingga akhirnya ia bisa membuktikan semangatnya itu dengan beberapa prestasi yang ia peroleh sejak ia duduk di kelas 2 SMP.
Enam tahun hidup di pedesaan tak terasa telah ia lewati, berbarengan dengan lulusnya dia dari SMA. Perasaan sedihpun menghampiri jiwanya yang selama ini selalu dipenuhi dengan semangat, karena ia tau kalau ia harus meninggalkan nenek dan kakeknya nanti untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu kuliah. Hari demi hari, minggu demi minggu penantian akan pengumuman penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi pun telah usai. Alhamdulillah, sejak pengumuman itu, resmilah ia menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi teknik negeri terbaik di Indonesia, yaitu ITS, Intitut Teknologi Sepuluh Nopember, yang bertempat di Surabaya dengan memperoleh beasiswa pendidikan dari pemerintah.
Perantauan pun dimulai beberapa minggu setelah pengumuman tersebut, segala perlengkapan dimulai dari buku-buku sampai pakaian-pakaian yang dibutuhkan telah ia kemas dengan rapi untuk dibawa ke kota perantauan. Perasaan sedih itu datang lagi, karena saat itu ia harus benar-benar meninggalkan nenek dan kakeknya untuk menimba ilmu di Surabaya, bayangan akan semakin jarangnya ia pulang menemani mereka selalu terlintas dalam pikirannya. Namun, dengan segala nasihat yang diberikan oleh nenek dan kakeknya, ia yakin bahwa mereka akan baik-baik saja selama ia tinggal di Kebumen berdua.
Singkat cerita, sesampainya di ITS, dan selesainya segala proses pendaftaran ulang juga pencarian tempat kost yang sesuai dengan keinginan dan kemampuan finansial keluarganya, hari pertama kuliah pun dimulai.
Pagi itu dengan pakaian raih dan wangi, serta sebuah tas punggung yang telah dipenuhi oleh buku dan laptop sudah siap ia gunakan sebagai bekal studinya hari itu. Setelah terpasang sepatu dan terkunci pintu kamar kostnya, ia pun berangkat dengan sepeda motornya yang ia pinjam dari ayahnya, tak lupa mengucapkan Basmalah seraya bertawakal kepada Alloh atas segala yang ia ikhtiarkan mulai hari itu sebagai usahanya untuk meningkatkan kualitas pribadi agar dapat lebih bermanfaat bagi orang banyak di sekitarnya di masa mendatang.
Dengan santai ia menyusuri jalan raya. Lampu merah menyala diperempatan Jalan Kertajaya, ia injak pedal rem sepeda motornya sehingga berhenti tepat di samping sepeda motor Kawasaki Ninja seorang siswa SMA. Pemilik motor Ninja tersebut melirik ke arah motornya dengan tatapan yang sinis, dan dengan angkuh memainkan gasnya layaknya seorang pembalap. Sempat naik darah ia dibuatnya, namun ia tetap bersabar menghadapi kondisi saat itu. Tak lama kemudian lampu hijau pun menyala dan dengan tenang ia jalankan motornya mengarungi jalan Kota Surabaya menuju kampus yang mempunyai julukan Kampus Perjuangan, ITS.
Sesampainya ia di kampus, dia memarkirkan motornya di dekat gazebo jurusan agar mudah diambilnya ketika pulang nanti dan tidak begitu kepanasan. Jadwal kuliah pada hari itu belumlah ditetapkan, karena masih dalam proses orientasi jurusan, sehingga selama seminggu itu mahasiswa hanya diberi materi mengenai pengenalan jurusan, dimulai dari kurikulum belajar, macam-macam laboratorium, hingga dosen-dosen yang akan mengajar nantinya.
Jam menunjukan pukul 10.00, menandakan bahwa jadwal orientasi jurusan pada hari itu telah selesai, seraya mengucapkan salam, pemateri yang merupakan salah satu dosen di jurusannya itu meninggalkan ruangan untuk kembali ke kantor dosen. Ketika dia akan keluar ruangan juga untuk pergi, teman-temannya memanggilnya, “Ron, ke kantin yuk, sama yang lain ngumpul-ngumpul dulu. Masa jam segini udah mau pulang aja?” kata salah satu dari mereka. “ke kantin kah? Ayo, aku juga haus nih pengen minum es teh manis” sahut Roni.
Kawan-kawan yang membersamainya saat itu berjumlah sepuluh orang dalam dua meja di kantin pusat ITS karena ruang untuk duduk-duduk sepuluh orang di kantin jurusannya itu sangatlah sempit. Banyak yang mereka obrolkan, satu ketika seorang temannya mengeluarkan Smartphone barunya dan memamerkannya pada dia dan teman-temannya yang lain. Sontak, mereka terjekut sekaligus kagum karena Smartphonenya tersebut sedang ngetrend di kalangan para pemuda. Ternyata tak hanya salah satu dari mereka yang mempunyai Smartphone tersebut, beberapa dari merekapun ada yang memiliki Smartphone sejenis. Lalu setelah itu mereka saling bertukar pikiran tentang aplikasi dan fitur-fitur canggih yang dimiliki Smartphone mereka. Roni hanya diam dan secara sembunyi-sembunyi meraba saku celananya dan mengeluarkan Handphone GSM biasa yang telah 4 tahun membersamainya. Pasti terbesit rasa minder dalam hatinya. Dengan terburu-buru ia memasukkannya lagi ke dalam saku celananya. Setelah menghabiskan es teh manis yang dipesannya, ia segera pamit pada kawan-kawannya yang masih asik berbincang tentang Smartphone mereka. Dia merasa tak tahan menjadi patung dalam keramaian, karena tak punya bahan untuk memasuki perbincangan teman-temannya.
Di tengah jalan, terdengar suara azan zuhur di telinganya, dengan segera ia menuju masjid As-Sakinah yang berada di Jalan Arief Rahman Hakim yang merupakan masjid terdekat dengannya saat itu, dan bergegas ia mengambil air wudhu lalu melaksanakan olah zuhur berjamaah. Setelah menunaikan solat, ia melanjutkan perjalanan menuju tempat kostnya. Namun, setelah beberapa kilometer di jalan, hujan deras tiba-tiba turun, dan segera ia menepi untuk mengenakan jas hujannya supaya tubuhnya terlindungi dari basah akibat terkena air hujan. Dalam perjalanannya pulang, ia kembali melewati lampu merah perempatan Jalan Kertajaya. Lampu merah di sana masih menyala, sembari menunggu lampu hijau, ia melihat-lihat keadaan di sekitarnya. Terdapat beberapa bangunan yang sangat megah-megah, rumah makan masakan padang yang terkenal dengan kelezatannya, beberapa pengendara yang mungkin tidak membawa jas hujan berteduh di pos keamanan, dan yang membuat hatinya trenyuh adalah ketika ia melihat seorang anak penjual koran berusia sekitar 7 tahun duduk di bawah pohon dengan membawa koran yang dibungkus dengan plastik dan diletakkan di atas kepalanya sebagai peneduh. Sungguh miris, harusnya anak itu memanggul tas dan berseragam rapi sebagai seorang pelajar, bukan berpakaian lusuh sebagai penjual koran.
Hampir jatuh air mata Roni melihatnya, seketika rasa syukur muncul dalam dirinya. Kembali ia melihat sisi baik dari dirinya, bahwa ia berkesempatan melanjutkan studinya di salah satu perguruan tinggi teknik nasional terbaik di Indonesia dengan berbeasiswa, sehingga tidak perlu bersusah payah mencari biaya untuk berkuliah di sana, masih bisa mengendarai sepeda motor untuk pergi kuliah meskipun bukan motor yang bagus seperti kebanyakan mahasiswa lainnya, dan ia memiliki tempat kost yang sederhana serta nyaman untuk ditempati. Sungguh luar biasa karunia yang Allah berikan untuknya, namun hampir saja ia lupa untuk mengucapkan syukur kepadanya.
Ia mencoba merogoh saku-saku celananya berharap menemukan sejumlah uang yang dapat diberikan pada anak itu. Tetapi belum sempat ia temukan, lampu merah telah berganti lampu hijau, kendaraan di belakangnya telah berkali-kali membunyikan klakson karena tak sabar untuk berjalan. Dengan terpaksa, ia batalkan niatnya dan kembali melanjutkan jalan pulang.
Demikianlah pelajaran yang dapat Roni ambil dari perjalanan pulangnya tadi bahwa mempunyai rasa syukur haruslah dimiliki oleh setiap manusia bagaimanapun kondisinya saat ini. Mungkin saat Roni di kampus, ia merasa minder karena keadaannya yang tidak sama dengan mahasiswa-mahasiswa yang lainnya. Kehidupan itu bisa diibaratkan seperti 2 sisi uang koin, yang dimana ada sisi kekurangan dan ada sisi kelebihan, namun keduanya tetap menjadi satu, yaitu kehidupan. Jika ia masih memikirkan kekurangan yang dimilikinya, maka pikiran tersebut tidak akan pernah usai, dan rasa syukur pun tidak akan pernah ada. Namun cobalah lihat sisi lainnya, bahwa ia mendapatkan banyak karunia yang lain dari Allah sehingga ia masih diberi kesempatan untuk berkuliah yang dimana tidak banyak orang bisa mendapatkan kesempatan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H