Mohon tunggu...
roni gunawan
roni gunawan Mohon Tunggu... -

tertarik diskusi pandidikan,kesehatan, islam, idologi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menggerus Latah yang Membudaya

19 Februari 2012   00:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:29 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering




Masih terniang mungkin di ingatan kita semua, tepatnya akhir desember tahun lalu kala bangsa ini dengan tim sepakbolanya mampu menyihir perhatian masyarakat untuk tidak berpaling sedetikpun dari tontonan pertandingan sepakbola kejuaran bergengsi se Asia Tenggara saat itu. Sebuah kondisi yang menyedot perhatian bangsa hingga bisa menjadi sebuah modal besar untuk mendapatkan simpati bila mampu menangkap momentum tersebut.

Ini bukan membahas tentang kisruh yang sedang ada di PSSI sekarang, toh sekarang juga sudah ada yang mengurusinya. Akan tetapi ini membahas tentang sikap mental bangsa ini yang semakin membudaya di semua kalangan,baik sturuktur social yang tinggi maupun yang rendah sekalipun, sikap mental yang sejatinya erat kaitannya dengan fenomena psikologis. Latah adalah suatu keadaan kejiwaan di mana penderita menjadi seperti kesurupan dan meniru secara otomatis omongan atau gerakan orang yang menimbulkannya dengan mengagetkan penderita. Latah hanya ditemukan dalam kebudayaan tertentu di dunia. Oleh sebab itu, latah dianggap sebagai suatu sindrom khusus kebudayaan( Wikipedia, 2011).

Secara psiko system latah sudah sangat sering terjadi di sekitar kita, bahkan bisa dijadikan sebuah keunikan tersendiri untuk menyita perhatian setiap orang yang memandangnya. Sehingga terkadang ada orang yang terkenal karena kelatahannya.

Berbicara latah disini bukanlah berbicara pada konteks psiko system, tetapi berbicara pada konteks social system yang ber-efek terhadap budaya bangsa, berimbas pada pola hidup dan kehidupan dalam kaitannya dengan permasalahan yang ada secara social di sekitar kita.

Kondisi yang sering terjadi adalah, siapapun kita bisa terjebak pada kondisi ini. Lihat kondisi akhir desember lalu kala Timnas sepakbola Indonesia,yang sebelumnya ompong sudah mulai menunjukkan taringnya walaupun harus kalah di babak final. Apa yang terjadi, serentak saat itu hampir di seluruh wilayah di Indonesia ini mulai dari anak kecil hingga ke orang tua mulai doyan dengan olahraga ini. Seorang anak kecil harus menangis meminta baju kaos Timnas karena teman-temannya sudah memilikinya. Bejibun orang dari berbagai daerah memadati Istora Senayan Jakarta untuk rela bergadang, mengantri membeli tiket pertandingan, sebuah sikap yang jelas berbeda makna dengan nasionalisme.

Masih teringat beberapa bulan lalu, sebelum banjir besar  melanda Medan awal April lalu, kota ini juga sudah lebih dulu dilanda banjir yang juga tak kalah besar yang juga bersumber dari luapan air sungai Babura dan Deli, ramai orang membicarakan dan bersimpati dari pemerintah, partai politik,dan warga masyarakat sendiri. Serentak semua menaruh perhatian kala itu, selesailah pertolongan pertama terhadap korban banjir saat itu. Sekarang banjir datang lagi, dan semua pihak juga latah untuk terlibat. Beberapa bulan lagi terjadi hal yang sama lagi-lagi orang akan latah lagi ( mudah-mudahan tidak terjadi).

Apalagi kalau sudah erat kaitannya dengan sandang,pangan dan papan, budaya ini sangat cepat menjangkiti setiap orang, tidak usah jauh-jauh negara Jepang yang terkena dampak radiasi nuklir, sehingga mengkontaminasi air minum, dan apa yang terjadi, hampir semua warganya yang terkena imbas berduyun-duyun membeli pasokan air kemasan. Bagaimana dengan negara kita, kota kita, juga tidak jauh beda melakukan hal serupa bila ada kejadian yang hampir sama, apalagi menjelang hari-hari besar keagamaan di kala harga barang kebutuhan meningkat dari harga semula. Semoga ini tidak terjadi dalam konteks penerapan ideology keagamaan.

Harus monumental, bukan ceremonial

Cara berpikirlah yang menelurkan sikap ini, untuk dimensi kesehatan berpikir preventif cara yang tepat untuk mengurangi budaya ini. Tidak akan pernah terjadi kejadian penyakit berulang dalam skala besar yang harus melibatkan semua sumber daya, sehingga semua pihak pun latah karenanya bila sedini mungkin sudah ada upaya yang dilakukan untuk mencegahnya berulang. Banjir akan lebih bisa diantisipasi bila kita sedini mungkin saat kejadian pertama terjadi kita semua sudah melakukan gerakan-gerakan yang lebih bersifat  monumental walau kecil sekalipun, dari pada kita melakukan kegiatan yang besar tapi hanya sebatas ceremonial dan tidak berkelanjutan,dan yang terjadi adalah latah, dan hanya melakukannya secara ceremonial.

Orang yang latah identik dengan orang yang tidak punya tujuan atau arahan yang jelas, sehingga ketika ada sebuah kondisi yang menggejala dalam skala besar akan mudah memengaruhi orang yang tak punya orientasi. Artinya apapun aktivitas kita sebagai anak bangsa haruslah dilatarbelakangi oleh sebuah tujuan yang jelas hingga kita menjadi punya orientasi dan pandangan hidup yang sudah terarah, apapun kondisi yang akan terjadi kekonsistenan kita yang akan menjaga tujuan tersebut, dan tergeruslah budaya latah itu. Tujuan yang jelas tidak hanya ketika ada ada pada sebuah institusi belaka, apapun status kita pandangan hidup yang jelas mutlak diperlukan.

Meminjam istilah Hatta, “Janganlah gunakan filsafat gincu , tampak tapi tidak terasa, pakailah filsafat garam tak tampak tapi terasa”.

____Mari Saling Memperbaiki____

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun