Paling tidak dua hal mendasari kelahiran Organisasi Kemasyarakatan Islam (selanjutnya ditulis Ormas), pertama terkait dengan peran kemasyarakatan; Kedua, semangat keswadayaan. Keduanya menyatu menjadi sebuah spirit yang melatarbekangi mengapa Ormas – terutama yang berbasis keagamaan – seperti Muhammadiyah, NU, Persis, PUI dan yang lainnya hadir dan tetap bertahan sampai saat ini.
Secara kelembagaan Ormas hadir dalah untuk memberikan baktinya kepada masyarakat secara nyata. Di tengah situasi sosial yang sarat konflik (klik, penjajahan) Ormas hadir berjuang untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat yang dalam kondisi sulit. Pelayanan yang bersifat spiritual, pendidikan umum, hingga sosial bahkan mungkin ekonomi.
Secara kasat mata, para pendiri Ormas juga pada dasarnya bukanlah orang berlebih dari sisi ekonomi dan pada umumnya tidak berada dalam lingkaran kekuasaan sehingga dapat membuat kebijakan secara politis. Namun dengan status sebagai masyarakat biasa mereka membaktikan dirinya lewat organisasi yang dibuat untuk mengaktualisasikan rasa kepedulian terhadap sesamanya. Pelayanannya berorientasi keluar, bukan ke depam. Artinya bagaimana agar Ormas ini bermanfaat bagi orang lain, bukan bagaimana kita dapat hidup dari Ormas. Semakin sering melayani ummat, semakin bangga dengan perannya itu.
Spirit pelayanan yang berorientasi keummatan tanpa pandang bulu inilah membuat Ormas semakin cepat diterima masyarakat hingga ke pelosok-pelosok desa. Keberadaannya tidak ekslusif, tidak mengurung diri dalam penjara teologis yang ekslusif. Sikapnya sangat toleran, menghargai perbedaan, sehingga tidak canggung bercampur dengan orang yang berbeda paham.
Demi perjuangannya mengayomi masyarakat, para pendiri dan elit Ormas tidak segan-segan untuk berbenturan dengan kekuasaan. Merasa diri merupakan representasi dari ummat sekaligus memperjuangkan kepentingan ummat, berhadapan dengan pejabat dari kalangan manapun mereka tidak pernah takut. Selain itu para pendiri Ormas memang pada dasarnya tidak berorientasi pada kekuasaan sehingga tidak takut untuk dibenci dan dianggap lawan sekalipun oleh penguasa.
Sedangkan semangat keswadayaan dalam konteks berormas mengandung sekurang-kurangnya dua makna penting. Pertama, membebaskan Ormas dari segala bentuk ketergantungan terhadap pihak luar, termasuk pemerintah. Dengan pilihan seperti ini, Ormas akan terbebas dari politisasi elit-elit tertentu dengan dalih telah melakukan “infestasinya” terhadap Ormas tertentu. Memang tidak ada Ormas yang 100 persen terbebas dari kontribusi pemerintah atau pihak-pihak tertentu, namun prinsip keswadayaan akan menjamin keberadaan Ormas itu tetap ada jika pun tidak ada bantuan dari luar. Sehingga Ormas akan tetap terhormat sebab tidak melakukan praktek meminta-minta kepada siapapun itu karena para pendirinya sudah menggariskan bahwa Ormas akan hidup dengan potensi internal.
Makna kedua adalah pentingnya semangat berkorban kepada para anggotanya sekaligus generasi selanjutnya yang tergabung dalam Ormas tersebut. KH A Dahlan misalnya dalam berbagai litelatur termasuk di film “Sang Pencerah” memberikan contoh bagaimana dia berkorban ketika mendirikan Muhammadiyah. Bukan hanya uang, namun fasilitas yang beliau punya dikeluarkan dan dipergunakan untuk kepentingan orang banyak. Hal serupa juga dilakukan oleh para pendiri Ormas yang lain.
Semangat berkorban inilah yang kemudian juga melahirkan karya nyata berupa amal usaha milik Ormas saat ini yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Sebagai organisasi non profit, para pengurusnya juga tidak digaji, tetapi mampu mendirikan berbagai karya nyata dan dirasakan oleh masyarakat luas, tentu saja merupakan sebuah prestasi yang luar biasa.
Pergeseran Perilaku
Kita tentu berharap bahwa ceritera kewibawaan Ormas tidak hanya terjadi di masa awal berdiri. Hingga saat ini dan ke depan seharusnya begitu, dipertahankan, karena kita memandang bahwa hal itu baik dan ideal. Namun harapan itu akan percuma jika yang terjadi saat ini justru sebaliknya, atau tidak sesuai dengan dengan apa yang dicontohkan para pendiri.
Kehawatiran itu sangat beralasan, sebab saat ini pada umumnya Ormas mengalami krisis kemandirian. Kemandirian tersebut paling tidak pada dua hal, yaitu kemandirian ekonomi dan kemandirian politik. Pertama, kemandirian secara ekonomi menjadi hilang sebab berkelindan dengan persoalan krisi keteladanan untuk melakukan pengorbanan.Kemapanan individual para pengurus saat ini tidak berkorelasi dengan kemapanan organisasi secara kolektif. Persoalan pengorbanan (infaq) dalam Ormas tidak ditentukan oleh mapan tidaknya individu, tetapi dari semangat dan kemauan. Alfanya semangat berkorban inilah yang menyebabkan tradisi berinfaq di Ormas menjadi nihil. Sebagai pelarian – walaupun tidak semua – banyak Ormas dan atau elitnya yang “menjajakan” Ormasnya kepada pihak luar.
Praktek seperti itu tentu saja sangat tidak diharapkan, namun pada dasarnya ada kebutuhan mendesak dari setiap Ormas yaitu terpenuhinya biaya operasional organisasi. Karenanya, seringkali motif mencari dana kepada pihak luar disebabkan oleh dua hal yaitu kebutuhan organisasi yang tidak trecukupi, dan motif lain adalah karakter dari orang-orangnya. Karakter meminta-minta tentu sangat berbahaya sebab menjadikan organisasi tidak produktif dan cenderung mengandalkan pihak luar.
Indikasi paling rawan masuknya intervensi atas ketidakberdayaan para pengurus dalam konteks kemapanan secara ekonomi adalah dimana permusyawaratan akan dilaksanakan. Dari mulai Muktamar hingga permusyawaratan di bawahnya, setiap Ormas seringkali menjadi target bagi penguasan yang berkepentingan untuk melanggengkan kekuasannya, atau paling tidak membutuhkan letigimasi politik. Bagi partai politik, permusyawaratan Ormas merupakan target untuk meningkatkan suara di setiap Pemilu dan atau Pemilukada. Proses kerawanan terjadi jika ada indikasi kelemahan kader Ormas sehingga dengan mudah membuat kontrak politik dengan berbagai kompensasi yang ditawarkan. Proses tawar menawar di sini kemudian dimulai, bagi kader Ormas yang memiliki kepentingan untuk mendapatkan dana untuk merebut jabatan Ormas sehingga dapat “membayar” komitmen politiknya untuk mengarahkan Ormas tersebut untuk menjadi bagian dari kekuatan politik atau pendukung penguasa. Syukurlah tidak semua Ormas bisa melakukan hal ini, tetapi tidak menutup mata bahwa mungkin ada di antaranya yang memang tergoda dan masuk “perangkap”. Bsa jadi, jika di tingkat pusat lebih steril namun di level bawahnya justru keropos sehingga mudah tergoda, begitupun sebaliknya.
Kedua, kemandirian politik bagi Ormas seharusnya menjadi harga mati, mereka harus berdiri di atas semua kepentingan politik, karena memang bukan partai politik. Saat ini memang Ormas relatif berada pada tracknya, walaupun sempat ada yang menjadi partai politik atau pasca reformasi banyak Ormas yang diidentikan dengan kekuatan politik tertentu. Namun secara tegas pada umumnya saat ini Ormas tidak memiliki garis kebijakan langsung dengan partai politik.
Sayangnya, dalam konteks politik, sikap organiisasi saja belum cukup. Jika dilihat dari aspek perilaku, maka sikap politik tidak selamanya dapat dicerminkan oleh sikap lembaga, tetapi juga dapat dibaca dari aktivitas setiap elit dan atau pengurusnya. Sikap politik merupakan setiap aktivitas yang menjurus pada aktivitas politik, kendati dia adalah aktivis Ormas. Jadi untuk melihat seseorang itu politis atau tidaknya jangan dilihat dari apakah dia aktif di partai politik atau tidak, namun dilihat dari cara dia bermain politik. Sebab pada dasarnya banyak kader Ormas yang berperan seperti kader partai politik, bahkan terkadang lebih agresif.
Kemandirian politik, karenanya harus seiring dengan kesadaran organisasi secara kolektif dan diawali oleh kesadaran para pengurusnya. Tidak bisanya membedakan antara Ormas dan partai akan berakibat pada rabunnya seorang kader Ormas untuk bisa membedakan kapan harus berperilaku politis dan kapan harus menjaga libido politiknya tersebut. Jika hasrat berpolitik di Ormas tidak terbendung maka segalanya akan serba politis, dari mulai merebut jabatan hingga bagaimana berkiprah di dalamnya. Amanah (klik, jabatan) dalam Ormas akan berubah menjadi sesuatu yang begitu menggiurkan sehingga harus direbut dengan berbagai cara. Karena hasratnya adalah hasrat politik, jabatan yang seharusnya menjadi alat mengabdi kepada masyarakat bisa jadi hanya menjadi daya tawar politik. Semoga tidak benar-benar terjadi. Al ilmu minallah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H