[caption id="attachment_343716" align="aligncenter" width="640" caption="Memasukkan Koin sebagai kritik karena tidak dapat dibentuknya pengadilan Ham Ad Hoc yang terbentur anggaran."][/caption]
Dalam siaran pers yang dilakukan oleh KontraS bertemakan “Koin Peduli Untuk Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc” pada 20 September 2014 di kantor KontraS, Menteng. Komisi Untuk orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyampaikan keprihatinan atas pernyataan Andi Widjajanto. Deputi Tim Transisi Joko Widodo-Muhammad Jusuf Kalla (JKW-JK). Mengenai tidak Mungkinnya Peradilan Ham Ad Hoc dilaksanakan dalam waktu dekat nanti.
Diketahui sebelumnya, Andi Widjajanto sebagai deputi Tim Transisi mengatakan “pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc memerlukan biaya dan RAPBN 2015 tidak mengalokasikan dana untuk tujuan tersebut. Rancangan Undang-Undang pengadilan HAM Ad Hoc ini harus di setuju terlebih dahulu, baru kemudian anggran untuk pengadilan HAM Ad Hoc baru dapat di masukan dalam revisi anggaran tahun depan.”
M. Daud sebagai perwakilan dari KontraS mengatakan tidak ada anggaran untuk pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc. “kita melihat tahun 2015 tidak ada pengadilan HAM Ad Hoc karena anggarannya tidak ada, maka saya pikir pernyataan tersebut kontraproduktif dengan apa yang disampaikan presiden terpilih dalam visi misinya.”
Pernyataan tersebut sangat kontradiksi dengan komitmen Presiden terpilih JKW-JK yang telah disampaikan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) ketika mencalonkan diri sebagai Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. Dalam visi dan misinya dinyatakan “Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia seperti: Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965.”
Menurut kontras bahwa dalam proses penegakan hukum tidak dapat dihambat oleh proses anggaran. Anggaran pengadilan HAM Ad Hoc sudah tersedia anggarannya pada Pengadilan HAM dan posisinya ada di bawah Pengadilan Negeri. Dan lebih jelanya masuk ke dalam pengadilan tindak pidana khusus yang termasuk di dalamnya pengadilan HAM, Tipikor dan Niaga.
Lanjut M. Daud mengatakan “ini sangat aneh ketika tim Transisi mengatakan dan menyimpulkan bahwa tidak ada anggaran dalam pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc.”
Dalam hal yang sama, Rudiati Darwin mewakili korban peristiwa Semanggi 2 tahun 99 mengatakan Jokowi-JK sebagai presiden terpilih akan menyelesaiakan kasus HAM Semanggi 2 tahun 99 adalah, namun Ia mendaptkan berita bahwa pengadilan HAM Ad Hoc ini terhambat Anggaran dan tidak dapat dilaksanakan secepatnya.
“ini salah persepsi, seharusnya itu diterima dulu kemudian kita menghitung anggaran, jika tidak ada anggaran sama sekali untuk pengadilan HAM Ad Hoc ini, maka kami akan minta kepada lembaga-lembaga mitra kontras untuk ‘saweran’” jelas Rudiati Darwin.
Hal yang sama juga di katakan Tumisro sebagai perwakilan dari korban peristiwa tahun 65. Bahwa memang terjadi pelanggaran HAM berat tahun 1965 dan dibutuhkan pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc untuk menyelesaikan kasus itu.
“Presiden terpilih jokowi harus subjektif dalam hal ini, apakah memang keinginan Andi memang merupakan keinginan Jokowi yang mengatakan bahwa pengadilan HAM AD Hoc tidak dapat dibentuk dalam waktu dekat.”
KontraS memberikan kritik dan masukan atas pernyataan deputi Tim Transisi perihal anggaran untuk Pengadilan HAM Ad Hoc;
Pertama, bahwa selama ini pengajuan anggaran Pengadilan khusus Niaga/HAM/Tipikor masih menjadi satu dengan Pengadilan Negeri. Anggaran yang diterima selama ini oleh Pengadilan Negeri merupakan anggaran bersama yang juga ialokasikan untuk pengadilan khusus lainnya; d
Kedua, merujuk pada Keputusan Presiden (Keppres) No 53/2001 tentang Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk Peristiwa Tanjung Priok dan Timor-Timur sebagaimana dinyatakan dalam pasal 3; “Segala biaya yang diperlukan dalam rangka pembentukan dan pengadaan sarana dan prasarana Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dibebankan pada anggaran Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.” Beban pembiayaan bisa dialokasikan ke kementerian terkait apabila merujuk ke Keppres Pengadilan HAM Ad Hoc yang pernah dibentuk oleh Presiden Abdurrahman Wahid saat itu;
Ketiga, persoalan hambatan penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM yang berat selama ini terkendala oleh Jaksa Agung yang tidak menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM ke tahap penyidikan dengan tidak berdasar pada alasan hukum sebagaimana diatur dalam UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Padahal anggaran Jaksa Agung untuk Program Penanganan Perkara Pidana Khusus, Pelanggaran HAM yang Berat, dan Perkara Tindak Pidana Korupsi meningkat setiap tahunnya. Sebagai perbandingan anggaran ditahun 2011 sebesar 2.336.375.000 dan ditahun 2012 sebesar 6.238.578.000. Anggaran tersebut secara khusus dalam penanganan pelanggaran HAM yang berat patut dipertanyakan karena didalam laporan tahunan Kejaksaan Agung tahun 2011 tidak ada penuntutan pelanggaran HAM yang berat (0 perkara);
Keempat, penegakan Hukum dan HAM adalah amanat dari Konsitusi yang dituangkan ke dalam UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan menjadi tanggungjawab Pemerintah terutama Presiden sebagaimana bunyi pasal Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28I ayat (4) juga menegaskan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. ”
Dengan demikian tidak ada alasan Pengadilan HAM Ad Hoc tidak bisa dibentuk di tahun 2015. Modal untuk membentuk Pengadilan tersebut bukan hanya terletak pada biaya atau anggaran, modal utama adalah keberanian secara hukum dan politik untuk membentuk Keppres terlebih dahulu atas berbagai kasus pelanggaran HAM yang berat yang selama ini terus diabaikan penuntasannya. Terlebih pembentukan Keppres adalah kewajiban hukum Presiden sebagaimana Pasal dan Penjelasan Pasal 43 ayat 2 UU Pengadilan HAM.
Jika negara tidak mampu untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc di tahun 2015 karena persoalan anggaran, maka KontraS bersama masyarakat sipil lainnya akan menggalang koin untuk pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc kepada publik yang memiliki perhatian serius terhadap penegakan hukum dan HAM. Sebagaimana dilakukan oleh Presiden terpilih ketika membutuhkan biaya kampanye dengan menggelar donasi publik melalui rekening bank.
Berhubungan dengan ‘September Hitam’ karena ada peristiwa Munir, peristiwa Semanggi 99 dan peristiwa 65 yang bertepatan di bulan September. KontraS membuat Kampanye bersama yaitu #MasJokoberaniNggak? kepada presiden terpilih untuk menuntaskan kasus-kasus HAM berat melalui pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc.
Dalam Siaran pers yang dilakukan KontraS untuk pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc dan 15 tahun peristiwa Semanggi II juga dihadir oleh SIaga FISIP Universitas Indonesia dan didukung oleh senat mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Atmajaya serta BEM FIB UI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H