Mohon tunggu...
R_82
R_82 Mohon Tunggu... Wiraswasta - Adalah seseorang yang hidup, menghidupi dan di hidupkan OlehNya. Begitupun dengan kematian dan semua diantaranya. tanpa terkecuali.

Bukan sesiapa yang mencari apa dibalik mengapa dan bagaimana

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Selamat Tinggal Laut Arafura

4 Juli 2011   00:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:57 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="630" caption="http://indonesianship.com"][/caption]

Pemuda itu tersenyum, sesekali dia terdengar menyanyikan lagu yang terus dinyanyikan berulang-ulang sejak tadi sore. Lagu yang akrab dan dikenal setiap orang yang lewat di belakangnya. Pemuda itu duduk di besi pembatas yang ada di tepi pelabuhan.

**

Nenek moyangku orang pelaut

Gemar mengarung luas samudera

Menerjang ombak tiada takut

Menempuh badai sudah biasa

Angin bertiup layar terkembang

Ombak berdebur di tepi pantai

Pemuda berani bangkit sekarang

Ke laut kita beramai-ramai

**

“Girang amat kamu Do! Pake nyanyi-nyanyi sendiri segala. Kayak anak kecil aja” Seseorang berambut panjang berkata sambil menepuk bahu temannya itu. Kemudian dia mengikuti posisi temannya itu, duduk di besi pembatas pelabuhan, sambil memandangi kapal besar yang ada di hadapannya.

“Ah kamu Nal. Ganggu aku aja. Hahaha! Ngeledek lagi mentang-mentang aku kecil” Edoardo yang biasa di panggil Edo itu berkata sambil tertawa.

“lagian ngapain udah hampir malam begini masih nongkrong di pelabuan, kayak baru pertama kali liat laut aja”

“Aku dah gak sabar lagi nih Nal. Pingin cepat-cepat taun depan aja” Edo berkata dengan tatapan penuh harap. Dia memandangi kapal besar yang dengan tenangnya mengapung itu. Dari kejauhan Nampak tidak ada kehidupan disana. Namun Edo tau betul bahwa disana kesibukan dan aktifitas itu ada. Bahkan saat berlabuh di pelabuhan untuk beberapa hari, hingga minggu pun pasti ada aktifitas yang dilakukan setiap hari disana.

****

“Hoy! Edoardo! Malah ngelamun. Aku tanya dari tadi malah cengar cengir sendiri” Ronal berkata setengah teriak. Dia sedikit kesal karena ternyata beberapa kali dia bertanya pada Edo. Namun Edo bergeming. Dia hanya menatap kosong ke arah depan saja.

“Sorry Nal. Kamu nanya apa tadi? Gak kedengeran nih banyak ombak” Edo berkata sambil menoleh dan sedikit tersipu. Dia mencoba berpura pura tidak mendengar karena ada suara ombak. Namun sedetik itupun dia sadar. Karena disana tidak ada ombak. Laut begitu tenang dan tak ada gelombang yang menimbulkan suara keras. Dalam sekejap dia memang menyadari, bahwa dia hanya mengada-ada saja.

“Nah! Ketahuan kan, ngawur banget. Hmm! Udah deh lupain aja. Eh, emang kamu ada apa sih Do. Girang banget kayaknya hari ini?” Ronal berkata dengan serius. Dia memang bertanya beberapakali dari tadi, namun pertanyaan yang tidak begitu penting. Dan inilah pertanyaan yang sebetulnya ingin dia tanyakan.

Aku akan kerja di kapal pesiar Nal. Taun depan, kan tinggal beberapa bulan aja. Aku dah mulai merasakan berdiri di depan kapal. Aku mengangkat kedua tanganku sambil merasakan begitu indah dan luasnya lautan. Serasa terbang, mirip yang di film Titanic itu lho.” Edo berkata sambil kembali melihat ke arah kapal yang ada di depannya. Dia menarik nafas panjang sambil mengangkat kedua tangannya hingga hampir mengenai badan Ronal. Edo kemudan menghembuskan nafasnya. Nampak sangat merasakan kebebasan dan tanpa beban di hatinya.

“Jhahahaha! Rupanya itu ya? Ckckkck! Gitu aja kok girangnya minta ampun.” Ronal tertawa lepas. Edo hanya mengernyitkan dahi sambil menoleh ke arah Ronal. Kemudian Edo kembali ke semula. Dia melihat Kapal itu dengan berseri-seri. Edo berkata lagi dengan nada seperti sebelumnya. Telihat membayangkan sesuatu yang sangat besar di hatinya.

“Rasanya aku dah bisa menghirup udara di tengah lautan. Aku injakkan kaki diatas perahu besi dengan kapasitas besar. Bayangkan aja Nal! Tilongkabila itu berkapasitas dua ribu penumpang, cukup besar kan? Tapi aku nanti akan berada dalam kapal berkapasitas sepuluh kali lipat Tilongkabila. Pastinya ombak besar di laut Arafura juga gak bakalan berpengaruh untuk kapal sebesar itu

Edo mengakhiri perkataannya dengan menarik nafas panjang. Dia membusungkan dada sejenak seolah membayangkan menghirup udara yang sangat dinikmatinya. Edo memang suka sekali melaut, baginya menjadi pelaut adalah suatu cita-cita yang memiliki kebanggan tersendiri.

“Oh iya do! Katanya kemarin ada kecelakaan waktu penyebrangan teakhirmu. Gimana sih ceritanya aku belum tau tuh?” Ronal berkata dengan penuh tanda tanya. Spontan Edo menoleh dan menatap tajam ke arah Ronal.

“Tau darimana kamu Nal?” Edo balik bertanya kepada Ronal. Edo mengerutkan keningnnya seolah heran dengan pertanyaan Ronal tadi.

“Lho Syahbandar disini yang berkata. Aku lagi nunggu kerjaan nurunin barang iseng aku bertanya kok Tilongkabila belum datang. Syahbandar itulah yang menjelaskan. Dia dapat info bahwa Tilongkabila belum sampai di NTT. Nah ada info lagi dari kapal yang bersandar disini bahwa Tilongkabila terakhir terlihat di laut Arafura. Nah kok bisa begitu?”

Mendengar penjelasan tadi, Edo kemudian manggut-manggut pertanda paham. Kemudian dia kembali ke posisinya semula, menghadap ke arah laut sambil mengatur nafas. Edo kemudian berkata.

“ Itulah Nal. Itu adalah penyebrangan yang paling aku takutkan selama aku kerja di Tilongkabila. Waktu itu cuaca memang tidak bagus, dan entah kenapa perjalanan kami ke Labuanbajo NTT yang biasa hanya 36 jam jadi terasa lama sekali. Karena selama dua hari dua malam kami tidak juga melihat pulau. Aku Tanya sama Kept juga dia gak ngasi penjelasan. Baru aku tau dari yang lain bahwa kapal kami kesasar. Ada kesalahan satelit katanya. Sialnya pada hari ketiga, kami sudah hampir kehabisan air dan makanan. Memang semula hanya di perkirakan paling lambat cuma 48 jam.” Selesai berkata itu, Edo kemudian menunduk sambil menark nafas panjang, kemudian melepaskannya solah ingin menghilangkan kisah tidak menyenangkan itu.

“Nah terus gimana? Nanggung bener ceritanya” Ronal bertanya penuh penasaran. Dia menatap Edo dengan sangat tajam.

“Itulah awalnya Nal. Saat itu kept berkata akan mampir dulu ke pelabuhan Sape Bima NTB untuk mengisi persediaan air dan bahan makanan. Dan ternyata arah yang diambil salah. Setngah hari perjalanan kami ternyata telah berada di laut Arafura. Aku malah merasa takut sekarang Nal. Melihat dikoran, himbauan bahwa dilarang melintasi laut Arafura beberapa minggu lalu. Karena gelombang diperkirakan mencapai 5 meter. Dan aku mengalaminya Nal, karena himbaun itu adalah hari pada saat kami berputar-putar di laut Arafura. Aku beruntung masih bisa menginjak daratan Nal. Satu hari kemudian kami sampai di Labuanbajo. Sesampainya di daratan, aku langsung mencium tanah. Itulah pertama kali aku menangis karena bahagia melihat daratan Nal.”

“Lebay banget kamu Do. Pake nyium tanah segala. Nak gimana ceritanya kok kamu malah mau melaut lagi. Dan sekarang mau keliling dunia lagi kan? Hmmm! Bisa berbulan bulan kamu nanti di laut Do”

“Ya nggak dong. Pasti kapal pesiar itu akan singgah di Negara-negara yang memiliki pemandangan dan suasana yang indah. Memang aku akan lama pulang ke Indonesia, tapi kan gak selamanya di tengah lautan. Aku dah bisa bayangkan, nanti singgah di Hawai, Peru dan Negara lainnya. Asyik bener pokoknya, dan ….” Edo belum sempat meneruskan kata katanya, karena Ronal berkata sambil menyikut Edo dengan tangan kirinya.

“Trus aku gimana? Kamu mau ninggalin aku?”

Edo menoleh, kemudian dia menatap tajam ke arah Ronal. Ronal tidak menoleh, dia menatap ke arah depan dengan pandangan kosong.

****

Setengah jam berlalu, setelah kapal yang di naiki Edo bergerak dari pelabuhan Lembar, Lombok Nusa Tenggata Barat . Kini kapal sudah terlihat tenang, melaju dengan kecepatan standar. Televisi di semua ruangan sudah mulai mendapat siaran. Karena sinyal satelit telah kembali normal.

Edo berjalan menuju kea rah depan kapal. Dia memang sudah tidak sabar untuk mewujudkan impiannya. Melebarkan kedua tangan ke arah samping di depan haluan kapal. Beberapa langkah meter sebelum sampai disana dia melihat seseorang berdiri di tempat tujuannya itu. Sesorang yang berambut panjang dengan pakaian melambai lambai tertiup angin.

Tepat tiga langkah sebelum sampai. Seseorang yang ada di depan kapal itu menoleh. Spontan Edo terperanjat. Seseorang yang sejak tadi disana itu adalah Ronal. Dia tersenyum ke arah Edo, rambut panjangnya tertiup angin hampir menutupi seluruh wajahnya.

“Aku sudah nunggu kamu dari tadi Do”

“Bagaimana kamu bisa ada disini?” dengan nada ragu Edo berkata.

“Aku pura pura mikul barang penumpang. Udah gitu aku langsung sembunyi deh di lantai bawah yang dipakai menyimpan solar itu”

“Lho! Trus gimana nanti kalo ketahuan?”

“Hahaha! Aku juga tau hukum di tengah laut Do. Tidak ada sejarahnya penumpang gelap seperti aku ini di lempar ke tengah lautan. Paling, nanti aku jadi cleaning service, sama aja seperti kamu kan?”

“Hahaha! Iya juga sih ketahuan deh aku cuma tukang bersih-bersih. Rosalina! Dasar kamu ini, nekad banget. Aku gak tanggung jawab ya.”

“Udah! Lupain aja masalah itu. Yuk kita lakukan yang mirip di film titanic itu!” ajak Rosalina dengan manja.

“Hmm! Malas aku ah, aku maunya sama cewek bukan sama kamu”

Mendengar perkataan itu Rosalina cemberut. Dia seolah mau menangis, itulah senjata terakhirnya. Sikap itu yang membuat Edo tidak bisa menolak apapun yang di minta Rosalina. Sejak kecil mereka memang selalu bersama, karena rumah bereka berdekatan. Rosalina memang sangat tomboy. Karena itulah Rosalina lebih dikenal dengan sebutan Ronal. Dan nama itu adalah sebutan yang pertama kali diberikan oleh Edo, namun dengan cepat menyebar. Hingga kedua orang tua Rosalina pun mnyebutnya Ronal.

Edo dan Rosalina kini melakukan gerakan yang sejak lama di inginkan oleh Edo. Mereka berdiri di bagian paling depan kapal itu. Kemudian mengangkat kedua tangannya ke arah samping. Sambil melihat ke arah depan. Persis seperti yang mereka lihat dalam film titanic.

****

Gelombang yang ada di pinggir kapal raksasa itu. Bergerak di ikuti beberapa ikan lumba lumba yang berenang dengan ceria. Angin besar menerpa keduanya yang berdiri di atas kapal paling depan itu. Puluhan sekoci penyelamatan darurat berjajar di samping kapal. Lengkap dengan dayung dan pelampungnya.

Gelombang demi gelombang yang belah kapal itu seakan tidak menimbulkan guncangan untuk para penumpang kapal. Karena begitu besarnya kapal itu, hingga tak lagi mereka khawatir akan tenggelam oleh gelombang besar yang ada di hadapannya.

Kini mimpi dan harapan Edo terkabul. Dia tengah berdiri di atas kapal pesiar raksasa. Yang besarnya sepuluh kali-lipat kapal yang bisa dia naiki. Edo tersenyum dengan perasaan haru dan bangga, karena telah berada dalam kapal impiannya.

[caption id="" align="aligncenter" width="320" caption="Kapal pesiar USA yang pernah ke Lombok, NTB 2009 http://matanews.com"][/caption]

****O****

NB :

Tilongkabila = Kapal pelayaran dengan rute: Lembar (lombok) ke hampir seluruh pelabuhan besar di Pulau Sulawesi dan Labuhan bajo (NTT)

Syahbandar = Petugas di pelabuhan yang memberikan ijin kapal berlayar.

Sekoci            =  Perahu kecil yang digunakan ketika darurat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun