Mohon tunggu...
R_82
R_82 Mohon Tunggu... Wiraswasta - Adalah seseorang yang hidup, menghidupi dan di hidupkan OlehNya. Begitupun dengan kematian dan semua diantaranya. tanpa terkecuali.

Bukan sesiapa yang mencari apa dibalik mengapa dan bagaimana

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kakekku Seorang Pejuang Kemerdekaan

16 Agustus 2011   08:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:44 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="" align="aligncenter" width="588" caption="http://stat.ks.kidsklik.com"][/caption] Teringat dingin dalam heningnya malam. Panas terik menyinari di siang hari. Hanya berteman bongkahan batu yang memberi pertanda dia disana. Terkubur menjadi abu, menyatu dengan tanah dan debu. Sesekali burung Gagak hinggap untuk menyapanya. Terdengar begitu beraroma mistis. Didalam sana ada dia. Seseorang yang dulu berteman dengannya, dia dan mereka yang kini menikmati jerih payah perjuangan mereka. Kebersamaan mereka dalam mempertahankan hidup. Mati-matian, hingga sampai pada mati yang sebenarnya. Teringat dahulu dalam kebersamaan. Seorang kakek tua menunduk layu. Di tengah hutan ini mereka pernah bersama berjalan, berlari dan bersembunyi. Hingga suatu ketika peluru itu menembus dadanya. Dia yang kini terkubur dalam bongkahan batu ini. Dibawah rimbunan pohon yang masih aku kenal baunya. "Aku masih ingat. Dia sengaja melindungiku dari beberapa tembakan yang datang dari sebelah barat. Sesaat sebelum dia menghembuskan nafas terakhirnya. Dia berpesan, agar aku selalu menjaga anaknya. sampai kapanpun"

***

Dalam keheningan itu sang kakek tua segera memberi pertanda jelas. Bahwa disana terkubur temannya, sahabatnya, saudara terbaik selama hidupnya. Disanalah mereka, para pejuang yang seharunya merasakan merdeka sepertinya sekarang. Dentuman meriam dan ledakan senjata laras panjang, masih terdengar jelas ditelinganya. bersamaan dengan itu teriakan mundur dari komandan, seolah menjadi pertanda jelas bahwa keadaan tak lagi terkendali. Namun sayang, teriak kesakitan sebagai teriakan terakhir mereka yang tertembak lebih banyak. Sehingga kini mereka hanya diam disini. Dibawah bongkahan batu ini. Kecemasan dan nyawa pada masa itu, sama dengan pertaruhan yang kerapkali terjadi dalam sebuah pertempuran. Saat menyerang, diserang atau bahkan dalam keadaan yang tidak tau persis seperti apa. Kabar kematian sering sekali terdengar. Menambah banyak dari sekian daftar janda dan anak yatim. "Nak! Disanalah dia terkubur. Kakek dan nenekmu itu. Aku hanyalah ayah angkat dari ayahmu, yang telah aku anggap sebagai anakku sendiri. Kau juga aku anggap sebagai cucu sendiri, tidak pernah kuperlakukan berbeda dengan yang lainnya"

***

Hari ini, ketika dia kembali ke tempat itu. Semua kejadian masa lalu sepertinya masih begitu jelas. Tentang pertempuran, kebersamaan dan semangat yang membara dalam memperjuangkan kemerdekaan. Hingga proklamasi telah dibacakan pun. Mereka sebenarnya masih mengalami pertempuran.

Kakek tua dengan cucunya itu seolah kembali pada masa masa perjuangannya dulu. Nasiaonalisme yang begitu bergejolak didadanya. Perjuangan yang berani dipertaruhkan walau dengan nyawanya sendiri. Sehingga kata "Merdeka" menjadi impiannya. Bahkan menjadi mimpi pada saat mereka terjaga.

Makna merah putih yang tersirat begitu dalam. Penuh filosofis dan dipegang teguh oleh dia. kakek tua yang kini hanya menunggu waktu untuk di kubur bersama mereka. Teman seperjuangannya dahulu. Bendera kebesaran itu begitu terhormat. Sehingga kakek tua terkadang terlihat meneteskan airmata. Ketika menyaksikan upacara kenaikan bendera.

"Nak! Seandainya aku mati nanti. Kuburkan aku disini, bersampingan dengan mereka. Teman teman seperjuangan dulu. Nanti tak perlu kau pasangkan keramik dan beton diatas kuburanku. Pasangkan saja disana sebuah nisan sederhana dengan namaku sendiri!. Agar mereka bisa tau bahwa aku terkubur disini. Selimutilah nisanku nanti dengan bendera merah putih!"

***O***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun