Mohon tunggu...
R_82
R_82 Mohon Tunggu... Wiraswasta - Adalah seseorang yang hidup, menghidupi dan di hidupkan OlehNya. Begitupun dengan kematian dan semua diantaranya. tanpa terkecuali.

Bukan sesiapa yang mencari apa dibalik mengapa dan bagaimana

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Gugatan Wayang Dalam Pertunjukkan Terakhirnya

28 Juni 2011   13:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:06 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

=============================================================================== [caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="http://2.bp.blogspot.com"][/caption] “Apa yang kamu lakukan Pot? Kok ngelamun sendirian disana?” Dewi Sinta berkata kepada Cepot yang duduk termenung.

“Aku lagi sedih aja Sin. Akhir-akhir ini penampilan kita kurang di gemari lagi para penongton” Cepot berkata pada Dewi Sinta yang biasa dipanggilnya Sinta atau Sin saja.

“Iya tuh, kamu terlalu banyak pikiran Pot. Nanti cepat tua lho.”Bima berkata sambil mempersiapkan lapaknya untuk tidur.

Kini mereka tidak ada yang bicara lagi. Cepot masih terlihat termenung dengan posisi menyandarkan punggungnya ke kotak besar. Sementara Bima kini telah terlihat merebahkan badannya. Bantal yang dari tadi di bawanya telah dia pakai. Bima terlihat kelelahan dia mencoba untuk tidur tepat beberapa langkah dari Sinta yang terlihat berjalan menghampiri Cepot.

Sinta kini duduk di samping Cepot. Dia mengikuti posisi cepot yang bersandar ke kotak besar itu. Kotak yang dipakai bersandar itu adalah kotak yang berisi para wayang. Yang bisa di bawa ke tempat dimana Dalang akan memainkan mereka. dan ketika telah selesai dimainkan mereka kembali di simpan disana.

“Pot!” Sinta berkata Pendek sambil melihat tajam ke arah Cepot. Cepot menghadap kedepan dengan pandangan kosong. Cepot tidak menjawab, dia tetap memandang ke arah depan, seolah tidak mendengar apa yang Sinta katakan.

“Hey, Cepot! Kok kamu nangis sih? Ada apa? bicara dong supaya aku juga bisa bantu kamu?” Sinta berkata setelah melihat Cepot meneteskan air mata.

Beberapa saat Cepot terlihat diam. Kemudian dia mengusap air mata dengan tangan kirinya. Cepot mengatur nafas kemudian berkata dengan nada serak.

“Aku sedih Sin, dengan sikap dalang sekarang ini. Sepertinya penampilan kita kurang banyak di sukai lagi karena dalang kita terlalu arogan. Sekarang ini dalang rasanya terlalu perhitungan dan memainkan kita hanya sebatas wayang saja. Semua terasa hampa, dan sepertinya permainan kita tidak lagi seperti dulu. Hingga penampilan kita banyak ditinggalkan oleh para penggemar kita”

“Maksudmu apa sih Pot? Aku gak ngerti.”

Sinta bertanya pendek. Dia mengernyitkan dahi dan menatap ke arah Cepot yang masih menghadap ke arah depan. Kemudian Cepot menoleh, Spontan Dewi Sinta mengalihkan pandangannya dengan sedikit menunduk. Sekilas Dewi Sinta melihatmata Cepot yang sayu dan berwarna kemerahan. Sepertinya Cepot menangis sejak tadi.

“Mungkin kamu gak pernah mengamati Sin. Karena kamu kadang jarang juga di mainkan dalam setiap pementasan. Kalo aku, Semar dan Arjuna Serta para tokoh penjahat memang pasti dimainkan dalam tiap pentas. Aku sering mengamati, ternyata semakin hari penonton kita semakin berkurang. Aku sedih Sin”

“Ah kamu ada-ada aja, ya sabar aja Pot! Mungkin kan sekarang tontonan mereka udah lain lagi. Udah ada TV, video dan internet. Hiburan jaman sekarang udah gak kaya dulu lagi Pot”

“Bukan itu maksudku. Aku sering nguping pembicaraan para nayaga. Mereka banyak mengeluh, ternyata bayaran mereka banyak di potong oleh dalang. Akhirnya mereka bermain jadi setengah hati, bahkan ada dua nayaga yang telah mengundurkan diri. Makanya permainan musik dalam pergelaran kita jadi kurang mengisi lagi. Jadi semakin terasa hambar”

“Mungkin pak dalang lagi butuh uang banyak Pot.dan…” Kata kata Dewi Sinta belum selesai karena langsung dipotong oleh omongan cepot dengan nada kesal.

“Ah! Itu bukan alasan. Aku juga tau dan bisa membedakan diantara butuh atau rakus uang. Itu adalah dua hal yang berbeda. Kamu sadar gak Sin? Efeknya kepada kita juga ada. Kamu menyadari itu gak?”

Cepot bertanya sambil menoleh ke arah Sinta dengan tatapan yang serius. Sinta kemudian menatap sebentar ke arah Cepot, lalu dia melihat tubuh, tangan dan kakinya. Kemudian dia berkata dengan nada ragu sambil menggelengkan kepala.

“mmmh… apa ya? Aku gak tau Pot”

“Nah coba kamu lihat pakaian yang kita pakai. Ini sudah terlalu lama tidak di ganti. Pakaian kamu saja yang jarang di tampilkan dalam pentas sudah terlihat kusam. Apalagi pakaianku yang selalu dimainkan dalam setiap pentas. Aku lebih layak menjadi gembel saja rasanya. Coba kamu bayangkan! Pakaian para raja dan bidadari yang sudah terlihat kusam itu. Arjuna juga sudah mirip pengemis jalanan”

“hmm.. iya juga ya. Trus kita harus bagaimana Pot? Kita kan cuma wayang. Apa yang bisa kita lakukan?”

Sinta berkata sambil manggut-manggut karena melihat pakaiannya yang sudah terlihat kusam. Sarung yang diselendangkan di pundak Cepot juga sudah terlihat bolong-bolong. Kemudian Sinta berbalik untuk melihat pakaian Bima yang sedang tidur. Dan berikutnya Sinta melihat sekeliling. Para wayang yang sedang berjalan jalan terlihat menggunakan pakaian yang sudah terlihat tidak layak digunakan. Sinta tersenyum kecil ketika melihat Semar yang sedang bercermin sambil menyisir jambulnya. Karena cat tubuh Semar sudah terlihat mengelupas. Semar terlihat cemas karena jambulnya ada yang rontok dan menempel di sisir yang dia gunakan.

“Aku sudah ada rencana. Nanti aku akan bicarakan dengan yang lainnya. Karena ini sudah keterlaluan dan tidak bisa dibiarkan lagi. Aku juga sering menguping pembicaraan dalang dengan orang yang akan mengundang pergelaran. Ternyata dalang selalu menaikan harga Pergelaran kita. Itulah sebabnya kita juga sudah mulai jarang ada pentas. Karena harganya sudah terlalu mahal. Dalang memang sudah terlalu dibutakan dengan uang dan kekayaan”

“Bagaimana itu Pot? Apa rencanamu…”

Belum sempat selesai omongan Dwi Sinta, tiba-tiba terdengar beberapa wayang berlari sambil berteriak. Mereka memberitahukan bahwa dalang datang. Wayang yang bertugas menjaga pintu kamar itu yang pertama terdengar berteriak, kemudian disusul yang lainnya sambil berlari dan masuk ke kotak besar. Cepot dan sinta segera beranjak dan kemudian membantu Semar yang susah naik ke dalam kotak, karena badannya yang terlalu berat. Semar memang paling gendut diantara yang lainnya.

Belum sempat mereka semua masuk ke dalam kotak, dalang sudah berada didepan pintu. Dalang kemudian membuka pintu, Spontan Cepot, Semar dan beberapa wayang yang belum masuk kotak menjatuhkan diri. Mereka tergeletak berserakan di dekat kotak wayang. Sementara itu, Bima membuka matanya perlahan, sepertinya dia menyadari kedatangan dalang. Bima tidak bergerak, dia hanya membuka matanya dan diam melotot. Menjadi wayang seperti biasanya.

Saat dalang sampai di dekat kotak, dia terlihat heran. Dalang tertegun sejenak dan melihat satu persatu wayang miliknya itu. Kemudian dia meraih cepot dan melihatnya dari dekat. Dalang mengusap pipi cepot yang terbuat dari kayu itu. Dalang merasa ada keanehan karena pipi cepot terlihat basah dan tidak berdebu.

Setelah beberapa saat memperhatikan cepot, dalang kemudian mengeluarkan semua wayang yang ada di dalam kotak. Satu persatu mereka di bersihkan, dan setelah bersih mereka di masukan kembali ke dalam kotak. Dengan susunan yang lebih rapi di banding sebelumnya. Sepertinya malam ini akan ada pergelaran, karena itulah kebiasaan dalang itu. Dia selalu membersihkan wayang pada siang atau sore hari sebelum pergelaran.

****

Malam ini begitu berbeda dengan malam pergelaran sebelumnya. Sorak dan tepuk tangan penongton begitu antusias. Pergelaran wayang kali ini sungguh bgitu memukau, paran penoton yang semula hanya beberapa baris saja didepan panggung. Kini telah penuh hingga beberapa orang tidak kebagian kursi dan terpaksa duduk di teras pemilih rumah yang mengadakan pergelaran wayang itu.

Malam semakin larut, sepeda motor dan antrian mobil di pinggir jalan semakin padat. Karena begitu banyaknya motor dan mobil yang di parkir di sekitar tempat itu. Saat Cepotdan gareng dimainkan, suara tawa yang serempak kerap kali terdengar. Begitu membahana, hingga tidak terlihat kantuk dan bosan seperti biasanya.

Nayaga yang memainkan music pun begitu bersemangat sehingga perbaduan musik menjadi sebuah keharmonisan yang sangat menarik. Memukau dan menghibur penonton yang sudah mulai terlihat berdesakan. Beberapa penonton yang berada di paling belakang terlihat berdiri di atas bangku supaya bisa menyaksikan dengan jelas.

Tak terasa cerita kali ini telah selesai. Saatnya kata-kata penutup yang biasa di berikan oleh Semar diberikan. Cepot, Arjuna serta beberapa wayang berada bersama Semar. Kemudian Semar berkata.

“Bagaimana penonton? Suka dengan pergelaran kali ini?”

Setelah Semar berkata itu, dengan serempak penonton berteriak “Suka!”. Kemudian gemuruh tepuk tangan terdengar. Semar terlihat bersiap berkata kata lagi. Penonton pun berhenti bergemuruh, mereka seolah bersiap mendengarkankan lagi kata-kata yang akan diucapkan Semar.

“Baiklah, sebetulnya akan ada yang kami sampaikan malam ini. inilah alasan kenapa malam ini begitu terasa kehidupan wayang dalam pergelaran ini. Karena sebetulnya sejak tadi dalang tidak memegang kami. Kami berjalan dengan kehendak kami sendiri, lakon dan cerita ini adalah murni buatan kami sendiri”

Mendengar perkataan dari semar itu, para penonton seperti berhenti bernafas, mereka mematung. Barisan depan penonton kemudian berdiri, di ikuti oleh penonton yang lainnya. Semua kini telah berdiri tidak ada yang duduk lagi. Mereka melotot melihat dan mendengarkan perkataan semar.

“Ayo dalang kamu berdiri!”

Setengah teriak semar berkata. Namun dalang itu tidak terlihat berdiri, kemudian semar mengulangi kalimat itu beberapa kali. Dengan nada lebih keras dan lebih tegas dari sebelumnya.

“Ayo berdiri!”.

Dengan perlahan kepala dalang terlihat. Dan kemudian dalang berdiri dengan gemetar dan terlihat sangat ketakutan. Badannya menggigil dengan keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Semar terlihatmenatap dalang dengan tajam. Tangannya memberikan isyarat kepada dalang agar terus berdiri.

Dalang kini tlah berdiri sempurna. Dia menunduk dan tidak berani menghadap kea rah penongton. Sorang penongton yang ada di barisan dpan tiba tiba pingsan. Tak kuasa menyaksikan tontonan yang ada di depannya.

“Mulai sekarang kami tidak akan sudi lagi bermain bersama dalang yang tamak ini. Dengan ini kami menggugat dalang. Ini adalah pergelaran kami bersama dia”

Setelah semar bekata itu, para wayang bergerak mendekati semar mrka berkumpul berdesakan. Dan ternyata beberapa alat music yang dimainkan dari tadi itu di mainkan oleh wayang juga. Kini nayaga dan para wayang semuanya berkumpul mengelilingi dalang. Kemudian Semar berkata lagi.

“Kami kecewa dalang! Kerakusan dan kecintaanmu terhadap kekayaan membuat jiwa-jiwa kami terasa hampa. Setiap pergelaran terasa tidak bernyawa lagi, karena kekayaan itu telah membuat nilai-nilai filosofis kami, kepribadian kami dan ideologi yang kami bawa dalam setiap pergelaran menjadi hilang”

Dalang hanya diam tak bisa berkata apa-apa. Sementara penongton terlihat sangat ketakutan, namun tidak ada yang bergerak dari tempatnya berdiri. Beberapa orang telah terlihat pingsan, dan kemudian semar kembali berkata dengan sangat keras dan lantang.

“Semua yang menongton pergelaran kali ini adalah saksinya. Bahwa kami sebagai wayang juga memiliki jiwa yang tidak bisa dipermainkan seenaknya oleh dalang. Dan mulai saat ini kami tidak akan mengadakan Pergelaran lagi sebelum gugatan kami di bereskan oleh dalang”

“Baiklah… apa yang bisa aku lakukan?...” Dalang berkata perlahan. Bibirnya terlihat gemetar dengan nada yang terbata-bata.

“Kami menggugat dalang untuk tidak pernah memainkan lagi kami sebagai wayang. Karena kami memiliki jiwa dan pembawaan dari setiap bentuk kami sebagai wayang. Selanjutnya kami katakan dengan tegas bahwa dalang harus mengurus semua urusan sebagai manusia. Tapi jangan pernah libatkan kami menjadi bagian di dalamnya. Sehingga kami harus menanggung semua dampak dari urusan kalian. Kami adalah wayang yang tidak pernah merasakan apapun dari dari hasil pergelaran selain kebanggaan atas sorak dan tepuk tangan penonton. Perasaan puas penontonlah satu satunya yang kami rasakan berharga. Dan itu telah hilang sejak dalang terlalu disibukkan dengan harta dan kekayaan.”

Selanjutnya teriak dukungan kepada Semar di teriakan Arjuna kemudian di ikuti wayang yang lannya. Smua membenarkan dan setuju trhadap kata kata yang di ungkapkan Semar. Berikutnya para penonton juga bergemuruh mneriakan dukungan kpada para wayang. Semuanya menyatakan setuju dengan kata kata semar.

Itulah Pergelaranwayang yang sarat dengan aroma mistis itu. Kemudian setelah itu para wayang kmbali mnjadi wayang sperti biasanya. Mereka jatuh tergeletak dan tidak bergerak lagi. Dalang juga kemudian duduk lmas dngan badan gemetar. Dia baru menyaksikan wayangnya bergerak dngan kekuatannya sendiri.

Para penongton berkerumun lebih dekat, kemudian mereka mengumpulkan wayang-wayang itu dan di masukan ke dalam kotak besar. Penongton juga membantu dalang untuk berdiri dan di bawa ke rumah yang ada di samping panggung untuk beristirahat.

****

Sejak kejadian itu pergelaran wayang semakin sering di tampilkan. Karena dalang menggratiskan pergelaran wayangnya. Namun demikian, sumbangan demi sumbangan terus mengalir kepada dalang. Bahkan tanpa ada pertunjukkan pun sumbangan itu terus berdatangan. Sehingga pakaian para wayang dan semua nayaga termasuk sinden, selalu baru dalam setiap pergelaran. Kekayaan dalang dan para pendukungnya semakin melimpah.

Dan semenjak kejadian itu, diyakini bahwa setiap pergelaran wayang, dalang hanya membantu saja wayang itu bergerak dan bersuara. Karena sebetulnya wayang itu bergerak dan bersuara dengan kemampuannya sendiri. Para wayang memang memiliki filosofi, idoleogi dan jiwa mereka masing-masing.

****O****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun