Mohon tunggu...
R_82
R_82 Mohon Tunggu... Wiraswasta - Adalah seseorang yang hidup, menghidupi dan di hidupkan OlehNya. Begitupun dengan kematian dan semua diantaranya. tanpa terkecuali.

Bukan sesiapa yang mencari apa dibalik mengapa dan bagaimana

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bu Guru Juga Manusia

11 Oktober 2011   17:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:04 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

[caption id="" align="aligncenter" width="575" caption="Doc R-82"][/caption]

Hari ini liburan telah tiba. Sebagai awal masa beristirahat di rumah, bu guru Putri mengajak siwanya berlibut ke Pantai. sebuah mini bus yang mereka naiki bersama itu penuh dengan suara anak-anak yang bercanda dengan kawannya.

“Anak-anak ayo semuanya berhenti bercandanya! Jangan rebut ya! Dengarkan ibu, ada pengumuman!”

Bu guru Putri terlihat berkata sambil berdiri di bagian depan, di samping kiri supir bis wisata itu. Ketika mendengar perkataan bu guru Putri, anak-anak spontan berhenti berbicara. mereka dengan serempak melihat gurunya dari samping jok tepat bersandar. sedangkan yang duduk di dekat jendela langsung berdiri di tempat duduk mereka.

Anak-anak itu memang masih terlalu kecil. Sehingga terlihat sibuk mencoba untuk melihat gurunya yang sedang berbicara. Beberapa diantaranya ada yang berteriak karena tangannya terinjak teman duduknya.

“Aw! Tanganku ke injak” Budi berkata sambil mengipaskan tangannya, dia melirik ke teman duduknya dengan wajah cemberut.

Begitulah salah satu keributan mereka . Seketika itu pun, bu guru Putri sibuk menempelkan telunjuk di bibirnya, sambil menatap ke arah siswa yang masih ribut. Muridnya yang melihat dengan segera menutup mulut dan menyikut temannya duduknya. Tanda itu adalah pertanda diam, mereka memahami itu karena disekolah sering mendapatkan tanda tersebut.

Dalam beberapa menit keadaan mulai sedikit hening. hanya suara mesin mobil saja yang terdengar. Bu guru Putri kemudian terlihat akan berbicara, namun sesekali dia melihat ke belakang. untuk memastikan jalanan tidak terlalu berliku. sehingga dia tidak terjatuh. Setelah yakin dengan posisinya, dia kemudian mulai berbicara.

“Anak-anak nanti jangan ada yang bernang ya, sebelum ibu pastikan kalian sudah aman untuk berenang. Nanti disana jangan memisahkan diri ya. kalo ada yang mau jalan-jalan beritahu dulu ibu. Supaya nanti bisa memastikan kalian ada dimana. Pahaaam...?”

“Pahaaaaaam.” Dengan serempak anak-anak menjawab.

“Baiklah! Sekarang kita akan nyanyikan lagu naik-naik ke puncak gunung. nyanyi yang semangat ya! Satu… Dua..”

“Bu, ini kan mau ke pantai, kok nyanyi lagu itu?” Seorang anak yang bertubuh paling tambun berkata sambil mengacungkan tangan. Bu guru Putri Nampak sdikit kebingungan. Karena memang lagu itu adalah nyanyian untuk mendaki. sementara keadaan sekarang sdang jalanan datar.

“Tidak apa apa, yang penting kita menyanyikan itu secara bersama ya. Kan semangat kebersamaannya supaya makin meriah. Ayo kita nyanyi bersama” Bu guru Putri berkata kemudian mulai menghitung agar semua siswa bersama-sama menyanyi.

“Naik…, naik…, ke puncak gunung. Tinggi…, Tinggi sekali…”

Nyanyian itu dinyanyikan secara bersama sama. Anak-anak terlihat sedikit berteriak menyanyikannya. Beberapa diantaranya, ada yang sambil memiringkan kepala ke kiri dan ke kanan, dengan jari telunjuk di tempelkan di pipinya.

Beberapa lagu lain mereka nyanyikan bersama, sehingga tidak ada lagi yang bermain atau menggangu temannya yang sedang tertidur. Mereka terlihat menikmati perjalanan tersebut.Keceriaan mereka sama persis dengan kegembiraan ketika berada di dalam kelas. Karena guru kelas mereka yang satu ini memang paling bisa membawa keceriaan. Khususnya di kelas 1,A ini, bu guru Putri merupakan guru yang paling disukai anak-anak.

***

Disebuah tempat parkir yang luas, tibalah sebuah mobil bus pariwisata. Sesaat setelah bus itu berhenti, pintu bus dibuka. Seketika itupun, anak-anak kecil berhamburan, dengan beberapa barang bawaannya masing-masing.

Anak yang berbadan paling besar itu terlihat berlari mengejar temannya. Tas kotak berisi makanan bergerak mengikuti ayunan langkah kakinya, sekilas terlihat tas makanan itu masih utuh dan berat, karena semua anak memang belum membuka bekal makanannya. Tas itu bergerak seirama dengan tempat minum yang diselendangkan di bahu kirinya.

Seorang perempuan keluar paling akhir dari rombogan anak-anak itu. Dia berkata setengah teriak agar anak-anak itu berhati-hati namun sepertinya mereka tidak perduli. Karena dalam beberapa detik saja, mereka sudah berlalu meninggalkan bus itu dan gurunya yang sedikit cemas. Dialah bu guru Putri, yang kini menyusul murid-muridnya yang sudah berada di tepi pantai.

Dalam langkah kakinya menuju tepi pantai, bu guru Putri melihat murid-muridnya telah berkumpul di dekat sebuah pohon rindang. Kecemasannya tidak begitubesar karena anak-anak itu tidak ada yang berenang. Mereka hanya bermain pasir, beberapa diantaranya ada sibuk berloncatan menghindari ombak kecil yang datang, setelah air laut itu menjauh dari pantai, kemudian mereka menunggu lagi ombak itu datang, dan mereka loncat kembali ketika ombak itu datang lagi. Mereka melakukannya berulang-ulang.

“Maaf Om! Saya tidak sengaja.”

Tiba tiba, bu guru Putri dikagetkan seorang muridnya yang berkata kepada seseorang. Ternyata dia adalah Depe, anak didiknya yang paling aktif dan gemar bermain itu tanpa disengaja telah menumpahkan minuman kaleng seorang pemuda berambut gimbal. Pemuda itu tengah duduk memandangi lautan, dengan sekaleng minuman disamping kanannya yang barusaja tertendang oleh Depe.

Dengan segera bu guru Putri menghampirinya, sekitar dua langkah lagi sampai, pemuda itu berdiri. Dia tidak menghiraukan Depe yang menunduk meminta maaf. Sesaat sebelum melangkahkan kakinya, pemuda itu dipanggil bu guru Putri.

“Hey, kamu tidak menghargai dia. Lihat! Anak itu meminta maaf karena tidak sengaja. Kenapa kamu tidak menjawabnya.”

Bu guru Putri merasa kesal karena melihat Depe yang masih menunduk meminta maaf. Depe terlihat ketakutan. Pemuda itu berhenti dari langkah pertamanya, kemudian dia menoleh ke arah bu guru Putri. Beberapa saat dia menatap mata bu guru Putri, dia tidak berkata apapun. Kemudian bu guru Putri memalingkan pandangannya, karena sebetulnya bu guru Putri juga menyadari, bahwa kehadiran dia dan murid-muridnya telah mengganggu kenyamanan pemuda itu yang sedang duduk santai. Apalagi Depe yang telah menumpahkan minuman kalengnya.

Tanpa di duga, pemuda itu hanya menoleh ke arah Depe yang masih menunduk. Kemudian pemuda itu berlalu meninggalkan mereka yang masih berdiri di depan sebuah minuman kaleng yang isinya sudah tumpah di atas pasir. Bu guru Putri hanya melihat pemuda itu berjalan dengan perasaan kecewa. Karena pasti Depe tidak merasa nyaman dengan sikap pemuda itu.

“Sudahlah Depe, sana main lagi sama teman-teman kamu. Depe tidak salah kok, karena tidak sengaja menumpahkan minuman om itu. Dan Depe juga sudah meminta maaf. Ayo sana main lagi!”

Bu guru Putri berkata sambil memegang bahu Depe. Dia mengelusnya penuh kasih sayang. Seketika itupun, Depe membalikan badan, dia mulai berjalan mendekati temannya. Beberapa detik kemudian, dia berlari lagi mengejar temannya yang sedang bermain bola. Melihat itu, bu guru Putri Kembali tersenyum sambil menggelengkan kepala.

***

Hari beranjak menuju sore, bu guru Putri dan murid-muridnya telah selesai makan bersama. Mereka makan makanan yang di bawanya maing-masing. Setelah di beri komando, anak-anak itu kemudian sibuk mengumpulkan bungkus plastik dan sisa makanan mereka. Semua sampah yang lainpun yang ada disekitar tempat itu mereka kumpulkan. Kemudian secara bersamaan mereka membuangnya di sebuah tempat sampah yang besar. Sekitar seratus meter dari tempat mereka makan bersama.

Tiba-tiba, seseorang terdegar berteriak meminta tolong. Kemudian disusul dengan panggilan anak anak yang hampir bersamaan terus memanggil bu guru Putri. Teriakan itu adalah suara dari anak-anak yang meminta tolong karena ada temannya yang terbawa arus air laut. Rupanya tanpa sepengetahuan bu guru Putri ada seorang ank yang bermain ombak dan tanpa disadari berjalan terlalu jauh hingga dia tidak bisa lagi menapakkan kakinya dan terbawa oleh ombak.

“Bu guru! Ada yang tenggelam!”

Mendengar suara anak-anak itu, bu guru Putri langsung menjatuhkan beberapa beberapa plastik sisa makanan ringan yang dipegangnya. Dia langsung berlari menuju kea rah kerumunan anakanak di tepi pantai, mereka melihat temannya yang sesekali terlihat dan kemudian tenggelam lagi ditelan ombak.

Bu guru utri Panik. Dan tiba tiba ditegah kepanikannya, seseorang langsung loncat dan berenang menuju anak yang terbawa arus itu. dengan cepat dia meraih anak itu dan mengngkatnya. hingga kini terlihat dengan jelas wajah Depe yang terlihat sibuk mengepakkan kedua tangannya. Sementara itu seseorang yang mengangkat Depe dari kaos yang dikenakan depe itu terus berenang menuju ke daratan.

Bu guru Putri terlihat cemas namun sedikit tenang. Karena terlihat Depe tidak terlambat untuk diselamatkan. Hingga akhirnya mereka sampai, bu guru Putri langsung membantu Depe, memapahnya ketika Depe telah bisa berjalan karena sudah dangkal.

“Depe! Kenapapa kamu tidak bilang ibu mau berenanag? Kamu nakal! Kamu….”

“Sudah cukup!”

Bu guru Putri yang sedang berjalan memapah depe sejenak berhenti. Perkataannya kepada depe tadi di potong oleh suara pemuda gimbal yang berenang menyelamatkan Depe. Kemudian bu guru Putri melanjutkan langkahnya setelah sejenak melihat wajah pemuda itu.

“Dia panik, jangan dimarahi dulu. Lagian memangmereka kurang pengawasan. Sehingga mencoba berenang. Namanya juga anak-anak, yang penting dia sudah selamat sekarang”

Sambil melanjutkan langkahnya, pemuda itu berkata. Bu guru Putri tidak berkata apa apa, dia hanya menunduk sambil berjalan. Saat mereka sampai di depan anak anak yang berkerumun melihat kejadian itu, Anak anak berteriak dan berkata-kata kepada Depe. Ramai sekali, sehinggabu guru Putri menempelkan jadi di telapak tangannya sambil diangkat. Itulah pertanda agar mereka yang sedang rebut itu berhenti. Seketika itupun, anak-anak mulai menurunkan volume suaranya. Beberapa diantaranya menegur teman disampingnya sambil menunjuk kea rah tangan bu guru Putri. Mereka saling mengingatkan untuk tidak terlalu gaduh.

“Ayo sekarang semuanya kita pindah dari sini ya!”

Bu guru putri yang memapah Depe, berjalan menuju tempat parkir. Tanpa berkata lagi, anak-anak langsung mengikutinya. Disela keramaian anak-anak itu, bu guru Putri melihat ke kiri dan ke kanan. Dia sepertinya mencari seseorang. Dan setelah dia melihat pemuda gibal itu ternyata masih berada di belakangnya berjalan dengan arah yang sama, bu guru Putri tersenyum.

***

Anak-anak sudah berada di dalam bis.setelah mengecek semuanya dan tidak ada yang tertinggal, bu guru Putri kemudian berjalan keluar. Dia menuju seseorang yang sedang sibuk dengan Vespanya. Dia adalah pemuda gimbal yang tadi menyelamatkan Depe.

“Eeeh! Terima kasih ya! Kamu sudah menyelamatkan Depe.”

Pemuda yang sedang memperbaiki vespanya itu menoleh. Kemudian dia tersenyum kepada bu guru Putri. Tanpa disadari bu guru Putri membalas senyumannya. Dia sepertinya terlihat senang, dan tidak terlalu gugup seperti sebelumnya. Karena bu guru putrid terlihat lega sekarang. Mungkin kaerna awalnnya dia tidak menyangka bahwa pemuda itu tidak begitu angkuh seperti yang dia kira.

“Iya sama-sama bu guru Putri”

“Lho kok kamu tau namaku?” Bu guru Putri menatap dengan tajam ke arah pemuda itu. Dia mencoba mengingat siapa yang ada di hadapannya ini. Karena setelah di perhatikan memang sepertinya bu guru Putri pernah bertemu dengannya.

“Pasti lupa ya? anak saya dulu bersekolah di SD Negeri Rangkat I. Dan bu guru Putri kan Wali kelasnya.”

Mendengar perkataan itu, bu guru Putri spontan semakin mempertajam pandangannya. Dia berusaha keras mengingat. Namun tidak juga mendapat gambaran. Siapa sebenarnya pemuda gimbal ini.

“Oh ya? Siapa namanya? Hmmm, pantasan saya barusan baru menyadari. Sepertinya kita pernah bertemu ya”

“Namanya Syasya” Pemuda itu berkata pendek. Dia kembali memegang obeng untuk membuka salah satu onderdil vespanya.

“Puji Tuhaaaan. Ini papa Syasya ya? dimana Syasya sekarang? Dan bagaimana kabarnya? Katanya dulu wakttu mengurus surat pindah kan mau ke China?”

“Iya memang sekarang dia di China”

“Lho terus, sama siapa disana?” bu guru putri semakin penasaran. Karena Syasya memang benar muridnya. Namun dua tahun yang lalu pindah, karena akan mengikuti orang tuanya ke China.

“Dia sama ibunya disana”

“Hmm! Maksudnya?”

Sesaat papa Syasya terdiam. Kemudian dia menyimpan obeng yang tadi dipegangnya. Dia menoleh dan menatap ke arah bu guru Putri. Spontan bu guru Putri menunduk dan menyembunyikan rasa penasarannya.

“Saya sudah berpisah. Jadi Syasya ikut bersama ibunya. Mereka sudah menjadi keluarga seutuhnya lagi disana. Jadi, ya! Begitulah”

“Ooh! Maaf ya, saya jadi bertanya terlalu banyak”

Dengan perasaan bersalah, bu guru Putri berkata. Kemudian dia menghela nafas, karena sebetulnya masih banyak yang ia ingin tanyakan tentang Syasya. Namun, di urungkan karena takut pertanyaanya terlalu pribadi. Karena masalah perpisahannya dengan Syasya dan ibunya.

“Bu guruuu! Ayo!..”

Tiba tiba seorang anak berteriak. Spontan Pemuda gimbal dan bu Guru Putri menoleh. Terlihat seorang anak berada di pintu bis sambil melambaikan tangan. Mengajak bu guru Putri untuk segera naik ke dalam bis.

Bu guru Putri menoleh kea rah pemuda gimbal itu. Mereka kini bertatapan, beberapa saat itu mereka lakukan. Bu guru Putri ingin berpamitan, tapi entah kenapa sepertinya dia ragu dan harus berkata seeprti apa. Karena memang mereka sudah saling mengetahui. Tapi belum pernah berbicara berhadapan seperti itu. Dan keduanya kembali di kagetkan oleh teriakan anak anak yang memanggil bu guru Putri.

Pemuda gimbali itu tersenyum kea rah bu guru Putri sambil mengangguk. Dan sepertinya bu guru Putri memahami itu sebagai isyarat bahwa pamitannya telah diketahui dan di balas dengan cara seperti itu. bu guru Putri membalas senyumannya, kemudian di berjalan perlahan. Pemuda itu menatap langkahnya menuju bis.

Satu langkah lagi menuju pintu bis, anak anak sudah mulai masuk lagi dan duduk di bangkunya masing-masing. Dan begitu terkejutnya bu guru Putri, karena saat dia memasuki bis, beberapa anak anak berkata setengah teriak.

“Yeee, bu guru Putri pacaran! Bu guru Putri pacaran!”

Anak-anak berkata itu bersahutan. Beberapa saat bu guru Putri seperti terhipnotis. Dia melihat ke pemuda gimbali itu yang masih melihatnya. Dari balik jendela bis itu mereka masih bisa bertatapan. Pemuda itupun kembali tersenyum. Dan lagi-lagi bu guru Putri tanpa sadar membalasnya.

“Husss! Sudah berhenti semuanya! Ayo berdoa, kita kan mau pulang sekarang”

Bu guru Putri mencoba mengendalikan suasana. Namun anak-anak itu sepertinya tidak terpengaruh, merka semakin riuh menggoda gurunya. Karena memang bu guru Putri juga berkata itu dengan senyum senyium sendiri. Entahlah, padahal diantara dia dan pemuda gimbal itu tidak ada apa-apa. bu guru Putri hanya terbawa suasana saja.

“Jalan sekarang bu?”

Sopir bis berkata setengah teriak. Karena suara anak-anak masih terdengar gaduh. bu Guru Putri mengangguk, kemudian bus yang mesinnya sudah di panaskan itupun bergerak. bu guru Putri duduk di depan. Dari sana dia bisa melihat pemuda itu yang masih berdiri. Terlihat jaket dan celananya masih basah, karena tadi berenang menyelamatkan Depe.

***

Malam ini, bu guru Putri sedang berada di kamarnya. Dia duduk menghadap cermin. Entah kenapa, sesekali dia masih eringat saja pemuda gimbal yang tadi ditemui di pantai itu. Syasya memang sangat dekat sekali dengannya, namun tidak menyangka dia bisa bertemu dengan berbicara dengan ayahnya.

Tiba tiba handphonenya bergetar, dan saat dia buka. bu guru Putri mengernyitkan dahi. karena nomer itu tidak ada namanya.

“Ini saya kirimkan nomer ibunya Syasya. Karena dulu Syasya suka sekali membicarakan bu guru Putri. Pasti dia merasa kangen sama bu guru Putri. Sesekali sms saja dia ya…” SMS itu dilanjutkan dengan beberapa digit nomor telepon . Reflek bu guru Putri langsung menelponnya.

“Halo!”

“Iya halo!”

“Eeeeh… Syasyanya ada?” Dengan nada ragu bu guru Putri bertanya.

“Ooh salah! Ini saya kan yang ngirim nomor. Saya papanya Syasya, maksud saya kan tadi saya kirimkan nomornya di sms tadi, nah itu nomornya Syasya. Eh ibunya Syasya maksud saya”

“Eh iya saya salah pencet mungkin tadi. Hmm, memang saya juga sudah lama gak liat Syasya, pingin tau kabarnya dia sekarang. Syasya memang anak yang baik.”

“Ya! makanya saya kirim nomornya. Karena memang dulu juga suka sekali membicarakan bu guru Putri di rumah”

Tanpa mereka sadari, berawal dari situ merekapun terus mengobrol. Dan sejak pada saat itu pula bu guru Putri meminta untuk di panggil Putri saja. Sedangkan pemuda gimbal itu kini dipanggil Roni. Mereka sudah hampir setengah jam berbicara dalam telepon, hingga pulsa bu guru Putri habis. Kemudian Roni menelpon bu guru putri untuk melanjutkan pembicaraan mereka yang tadi terputus. Entahlah, apa yang mereka bicarakan. Tapi sepertinya menarik, karena sesekali bu guru putri tersenyum, bahkan tertawa sambil tiduran di atas kasurnya.

***O***

Sebelumnya : Disini dan  disini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun