Seorang teman ditanya apa penyebab banjir di Jakarta? Jawabannya simpel saja, kata dia: "Penyebab banjir adalah air". Betul juga, karena kalau kebakaran penyebabnyapasti api. Yang jadi masalah kenapa air sampai tega-tega "meng-invasi" tempat dan pemukiman manusia? Karena banyak dari kita yang kurang menghormati air, kita memperlakukan mereka secara semena-mena. Membuang sampah ke "rumah nya" alias ke sungai; membangun pemukiman dan bangunan-bangunan di jalannya air dll.
Gubernur Jokowi dan tim nya, sedang terus melakukan berbagai cara untuk mengatasi banjir. Misalnya bekerjasama dengan BPPT untuk merekayasa/menurunkan hujan di luar Jakarta (mungkin harus dicoba juga jasa pawang hujan, walau berbau klenik tapi terbukti efektif mencegah turun hujan di lokasi proyek/tempat orang hajatan di kampung-kampung). Cara lain yang telah dan akan dilakukan adalah membangun banjir kanal barat dan timur yang masih belum terlalu efektif; rencana pembuatan waduk di Bogor dan Depok; sodetan sungai Ciliwung yang banyak diprotes; pembuatan biopori dll. Sampai adanya ide besar membangun "great tunnel" yang akan mengalirkan air sekaligus bisa dipakai sebagai jalan di bawah Jakarta dengan biaya triliunan rupiah.
Jadi kalau sudah banyak solusi-solusi hebat buat apalagi ada tulisan ini? Tulisan ini hanya ingin mengingatkan dan sebenarnya mungkin sudah banyak juga yang menyampaikan, akan tetapi terkadang terlupakan.
Ada gula ada semut
Begitulah sunatullah nya alias hukum alam. Jakarta ada gula-gula perekonomian Indonesia, tempat dimana sebagian besar perputaran uang terjadi. Akibatnya urbanisasi terus terjadi, kota menjadi "overloaded", kemacetan terjadi dimana-mana, dan ekosistem tertekan beban yang berat. Lahan-lahan kosong perlahan berganti jadi perkantoran, apartemen dan pemukiman + pemukiman liar di bantaran sungai. Jangan dilupakan pula keperluan air untuk perkantoran, pemukiman dan pabrik dilakukan dengan cara menyedot air tanah secara besar-besaran. Bisa dibayangkan jika permukaan tanah terus ditumpuk bangunan-bangunan dan air tanahnya disedot, penelitian menunjukan banyak area permukaan tanah di Jakarta mengalami penurunan.
Poin yang ingin disampaikan adalah urbanisasi harus dikurangi dengan mengadakan pemerataan kegiatan ekonomi ke daerah-daerah. Apalagi jika dilihat dana APBN tahun 2014 yang mencapai 1800 triliun rupiah tentu bukanlah hal mustahil untuk merealisasikan ini.
Hal lain tentang pemindahan Ibukota. Ide pemindahan ibukota ke Palangkaraya memang masih menjadi wacana yang entah kapan bisa terlaksana. Apalagi biaya yang diperlukan tidak sedikit. "Kita tidak bisa memakan gajah secara utuh sekaligus, tapi bisa jika dipotong, diiris dan dimakan sedikit demi sedikit". Segala sesuatu butuh proses dan waktu.
Dalam hal ini misalnya satu saja dulu Departemen Kehutanan dipindah terlebih dahulu, tentu akan lebih banyak manfaat. Anggaran perjalanan dinas dari Jakarta ke daerah yang selama ini dihabiskan untuk mengontrol hutan di Kalimantan, Papua, dll. akan jauh berkurang. Ribuan pegawai dan keluarganya tentu juga akan memberi pengaruh signifikan terhadap roda perekonomian di Palangkaraya. Ditambah sodara-sodara kita dari Papua, Sulawesi, dll tentu tidak perlu jauh-jauh ke Jakarta lagi untuk mencari kerja.
Dengan meminimalkan urbanisasi, beban kelebihan penduduk pun akan berkurang. Belum lagi mereka yang bekerja di sektor informal sehingga terpaksa harus tinggal dibantaran sungai tentu akan berkurang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H