Hari senin yang lalu saya mampir ke rumah seorang teman saya, berbicara panjang kali lebar, soal hidup, soal cinta, soal karir bahkan sampai cerita gosip-gosip terkini. Lalu sampailah dia pada sebuah pertanyaan teranyar "Gimana kerja magang di BPN-mu?" Hmmm, ujar saya. Lelah sih, setiap hari berjibaku dengan pembuatan akta, koreksi, berkas yang segunung itu sudah menjadi makan sehari-hari. Maka saya selalu menyampaikan kalau kebanyakan manusia-manusia atau dalam story yang mengatakan "hate monday" . Bagi kami senin adalah kedamaian, karena rata-rata berkas sudah diselesaikan di hari Jumat, jadi senin jadi lebih selow dan enjoy karena tidak ada yang menumpuk di atas meja.
Tapi yang saya heran, setiap hari ada saja yang datang terus menerus, dan rasanya tak pernah putus-putus orang mengurus soal tanah, dan tentu ini perlu kesigapan setiap stakeholder yang ada di kantor. Kalu boleh sedikit bergurau, maka ada anekdot di kalangan anak-anak kantor "Kalau Mau Menikah, menikahlah dengan orang BPN, berkas sedetail dan sekecil apapun diperhatiin, apalagi kamu" cielahhh. Wkwkwkwk.
Tetapi betul, saya merasa memang bekerja di kantor pemerintahan utamanya pelayanan publik harus tahan-tahan batin dan fisik karena kalau tidak rasa-rasanya sulit anda bisa bertahan, ada seorang anak loket Sulthon namanya, itu rasanya sudah kenyang kena makian atau sumpah serapah dari para pemohon, entah karena berkas yang belum jadi atau karena proses yang terlalu lama. Tapi, sulthon selalu berkata kalau memang kita bekerja secara benar dan sesuai prosedur maka tak perlu ada rasa takut atau sungkan mengungkapkan kejujuran itu, walaupun pada akhirnya kejujuran itu yangs eringkali membuat sulthon sering terkena marah dan makian dari para pemohon.
Di balik itu semua mulai dari proses kerja magang dan koreksi berkas pemberkasan, saya mulai sedikit-sedikit bisa memanhami perasaan seorang risma. Yaps ibu Risma, menteri sosial kita, Â Lho kok risma? Iya saya teringat bu risma, apalagi dalam cuplikan videonya beberapa tahun yang lalu ketika sidak proses perekaman di E-KTP Surabaya. Saya ingat betul menit keenam di tayangan youtube di bawah ini. Kala bu risma marah-marah kenapa harus orang bolak-balik kantor Disdukcapil untuk mengurus suatu hal produk pelayanan publik. Padahal semua bisa dilakukan secara online. "Kalau pelru bolak-balik, untuk apa harus ada online". Ujarnya.Â
Agar bisa connect dengan cerita saya, saya coba memberikan link youtube "Marah-Marah Bu Risma" terkait birokrasi dulu, ini penting  supaya anda tidak bingung-bingung dan supaya bisa lebih connect dengan cerita saya.
Jadi, apakah anda sudah connect? Pada dasarnya birokrasi sudah seharusnya untuk melayani, sistem elektronik maka seharusnya semua menjadi mempermudah. Tapi kenyataan kemudian sudahlah sistemnya elektronik ternyata birokrasi manual kemudian tetap harus dilakukan. Maka gunanya elektronik ini adalah memangkas birokrasi. Kalaulah sama, maka percuma saja kemudian. Tentu saya juga bisa memahami maksud hati bu risma, yang menyampaikan "jangan sampai masyarakat bolak,-balik, kasihan, iya kalau tidak terjadi apa-apa di jalan". "Kalau seandainya pada saat perjalanan bolak balik mengurus dokumen dan terjadi sesuatu maka kita berdosa karena membiarkan itu terjadi". Ujar beliau.
Tapi setelah saya berada di BPN selama kurang lebih 2 bulan ini, saya banyak juga yang sering terjadi bolak-balik, mulai dari lansia yang harus naik oplet sampai anak muda belia. Kadang-kadang miris apalagi kalau ternyata setelah balik hasilnya nihil, agak menyedihkan tentunya. Maka saya coba iseng bertanya kenapa hal tersebut tidak pernah bisa tuntas dan terus terjadi terus menerus. Jawaban teman saya di BPN agaknya bisa saya pahami. "Pada dasarnya, kita juga selalu memproses dengan cepat, hanya kita tidak boleh lupa, BPN adalah salah satu pelayanan publik yang mengurusi soal tanah dan hak atas tanah milik orang."
Sama seperti yang saya sampaikan diatas, saya agaknya bisa memahami perasaan bu risma, apalagi ketika melihat orang-orang tua yang harus bolak bali mengurus haknya di BPN, namun seringkali nihil dan selalu pulang dengan tangan kosong. Pernah juga suatu ketika saya tanya kepada seorang tua dari siantan (daerah siantan adalah daerah yang cukup jauh dari kantor BPN). Usianya kurang lebih 75 tahun, dan saya tanya kenapa tidak anak yang mengantar dan mengurusnya, jawab ibu itu sederhana saja, "Anak saya 5 orang sibuk semua, Â tidak ada yang bisa mengantar dan membantu menguruskan". Saya yang mendengarnya saja tidak bisa membayangkan ibu itu harus berganti 2 smapai 3 kali oplet (angkutan massal) agar bisa sampai ke BPN, namun pulang dengan tidak membawa hasil.
*)Ronald Anthony