Pertanyaan sederhana di awal tahun kepada anda sekalian pembaca kompasiana, bagaimana rasanya menjalani seminggu di tahun 2021? apakah luar biasa atau ternyata malah biasa aja, nothing special, tetap seperti kebiasaan dan rutinitas sebelum tutup tahun kemarin. Apapun itu, kan harus tetap dijalani kecuali anda punya pilihan untuk menolak kebiasaan-kebiasaan tersebut.
Entah kedepan akan jadi apa dunia kita ini. Sekarang setiap kali bangun pagi, kita harus bersiap-siap dan akan disambut oleh kabar buruk. Awal Tahun 2021 ini saja sudah banyak, mulai dari video 19 detik yang akhirnya diakui kebenaranya oleh si pelaku, kebakaran, perundungan, meninggalnya seorang teman saya karena covid, lalu ada lagi teman saya yang lain yang terkena gejala usus buntu, sampai ke pemberitaan soal rudal asing yang masuk perairan Indonesia. Rasa-rasanya memang setiap pagi kita harus lebih banyak bersiap mendengar berita-berita tersebut.
Diantara sekian banyak berita-berita tersebut membuat saya semakin sadar bahwa memang hidup kita ini sangatlah rapuh. Jadi kalau ada sebuah poster yang bertuliskan "Life is Fragile"Â Saya berpikir seperti itulah hidup kita, setiap bahaya selalu mengintai hidup kita, tiga edisi dari saturday morning yang lalu saya pernah cerita soal kecelakaan yang menimpa saya (baca:"cinta untuk wanita hebat"). Disitupun rasanya saya merasa bahwa setiap kejadian yang terjadi dalam hidup kita mungkin saja membahayakan hidup kita, bahkan lebih lanjur bisa saja medekatkan maut pada hidup kita. Syukur saya masih diberikan kesempatan kedua untuk hidup.
Ngomong-ngomong soal life is fragile, saya jadi teringat jaman saya kuliah dulu. Diawal pertemuan mata kuliah ada seorang dosen namanya pak soni, barulah diawal, semua mahasiswa di kelas ditanyai oleh beliau, "Kalau seandainya, hari ini terakhir dalam hidupmu atau disebut sebagai kiamat, kira-kira apa yang ada lakukan?". Jawaban diantara mereka memang rata-rata dalam tataran normatif atau biasa saja seperti akan makan sepuasnya makanan favorit mereka hingga ada pula yang berniat melunasi hutang-hutang mereka.Â
Namun diantara jawaban tersebut ada pula jawaban yang tak terduga semisal "akan mengajak pacarnya untuk berhubungan intim layaknya suami istri semalam suntuk". Wkwkwk sontak sudah pasti jawaban tersebut yang pasti mengundang gelak tawa satu kelas. Gimana ceritanya ya, wong kelasnya saja namanya "Hukum Perdagangan Internasional" Kenapa jadi kelas reproduksi dan biologi. Wkwkwk, ada-ada saja sobat.Â
Dari sekian banyak jawaban-jawaban teman-teman saya tersebut, ada jawaban yang menarik perhatian saya dari seorang teman seangkatan saya, kurang lebih seperti ini  "Kalau saya pak, apabila hari ini hari terakhir saya, maka saya akan melakukan semua yang terbaik yang bisa saya lakukan pada hari itu". Nah ini!. walaupun tampaknya jawaban yang cukup sederhana dan tidak njlimet!, tapi rasa-rasanya ini jawaban terbaik yang saya dengar hari itu diantara sekian banyak jawaban. Singkat, padat, namun sarat akan makna.
Lantas kenapa saya katakan terbaik? tentu ada alasannya hal ini karena rasanya di tengah kehidupan yang sulit sekarang  semakin banyak orang enggan mewujudkan atau mengusahakan yang terbaik. Kalau bekerja ya sekedarnya saja, kalau belajar, ya sekedarnya saja, tidak perlu menjadi yang terbaik. Kalau tidak terkait langsung atau tidak memberikan keuntungan bagai diri pribadi, juga kerap kali membuat orang enggan melakukan yang terbaik.Â
Walaupun harus saya akui, keengganan memberikan yang terbaik seringkali itupun masih melanda saya, kalau memberikan kuliah ya sekedarnya saja, toh mereka bisa membaca sendiri kalau koreksi ya sekedarnya saja. Tapi kita lupa, bahwa kemudian setiap orang selalu mengharapkan yang terbaik dari kita. Bahkan kalau mau dikatakan dengan jujur kita adalah versi terbaik dari penciptaan Tuhan di muka bumi ini. Dan sudah pasti jawaban teman saya tersebut sering menjadi pelecut untuk tetap melakukan yang terbaik.Â
Sekalipun sudah memberikan yang terbaik, namun sering disayangkan, respon yang diberikan atas hasil jerih payah kita seringkali tidak sesuai dengan harapan mulai dari tidak dipedulikan atau acuh tak acuh, dan merasa biasa-biasa saja. Tanggapan yang diberikan tersebut itulah pada akhirnya membuat akar masalah dimulai, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang menjadi enggan melakukan yang terbaik, karena selalu diliputi oleh kekhawatiran akan tanggapan yang diberikan. Dalam beberapa tahun kebelakang rasanya saya juga menjadi seperti itu, selalu diliputi ketakutan untuk buat salah, buat yang tidak sesuai prosedur, bahkan sampai yang ekstrim takut akan tidak bisa menyenangkan orang lain dengan kata lain takut kehilangan dukungan dan sebagai macamnya.Â
Sebenarnya saya tidak heran dengan soal ini, di tahun 2014 semasa SMA, saya pernah mengikuti salah satu tes psikologi namanya enneagram test yang diselenggarakan sebuah kampus di Jakarta. Kampus itu berusaha melihat kepribadian kita dan berusaha untuk mencarikan solusinya. Selain juga tujuan utamanya adalah untuk promosi jurusan di kampus tersebut. Jadi pada intinya, test ini bertujuan untuk melihat potensi dan bakat di dalam diri kita.
Dan hasilnya bisa saya katakan 95% akurat sesuai dengan kepribadian saya, Â 5% yang saya agak kurang setuju adalah suka cenderung menghakimi dan jurusan hitung menghitung yang tampaknya tak sesuai dengan profil saya. Di akhir test ini si psikolog kemudian memberikan tips kepada saya yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan, dan rasa-rasanya sampai sekarang pun tips itu masih saya gunakan hingga sekarang, karena menurut saya cukup efektif unuk mengatasi kekurangan-kekurangan yang terungkap dalam test ini.