Untung jaman modern seperti sekarang ini sudah ada Internet, tak bisa dibayangkan tentunya di tengah hidup yang semakin terpacu dan juga modern, kita tetap pelongak-pelongok saja tanpa tahu apa-apa. Dan ke-modern-an itu benar-benar sangat bermanfaat sekarang, di tengah rehat akhir minggu ini atas rekomendasi dari seorang teman saya mengisi akhir minggu ini dengan menonton sebuah film, Downsizing judulnya. Barangkali saya saja yang memang telat untuk menyaksikan, karena film besutan Alexander Payne ini sendiri sudah keluar sejak 2017.
Ahh, memang dasar saya saja yang telat. Beberapa tahun kebelakang, rasanya saya memang konsisten untuk jarang ke bioskop dalam kota. Kalaupun ingin nonton harus keluar kota, terakhir saya nonton film itu adalah Imperfect itupun hampir setahun yang lalu di Ketapang, sebelumnya nonton Dua Garis Biru di Mega Mall Batam. dua tahun yang lainnya lagi Cek Toko Sebelah di Semarang. Wkwkwk. Tidak ada alasan khusus mengapa harus di luar kota, hanya saja memang kalau pas di dalam kota lebih banyak agenda padatnya. Sehingga, waktu luang biasa dipakai untuk istirahat ketimbang berjubel di bioskop.
Kembali ke film downsizing yang kita sudah bahas diatas, diawal berbagai pertanyaan menyelinap, kenapa downsizing? ada apa ?. Ternyata, di awal ini adlaah kisah soal ilmuwan norwegia Dr Jorgen Asbjornsen bersama temannya yang terus mencari solusi atas peningkatan populasi penduduk bumi yang tidak terkendali. Melalui berbagai penelitian akhirnya ditemukannlah solusi mengatasi itu yakni adalah "Downsizing".
Downsizing adalah sebuah teknologi yang diklaim mampu memperkecil ukuran tubuh manusia menjadi 13 sentimeter. Dan sekejap WOW, teknologi ini berkembang dengan pesat bahkan kemudian dijadikan lahan bisnis oleh sebagian orang. Paul Safranek yang diperankan oleh Matt Damon dan juga sang istri Audrey Safranek begitu terpana melihat teman reuni nya yang berubah menjadi kecil dan menjadi kaya raya dalam sekejap karena mengecil.

Himpitan dan tuntutan ekonomi yang dialami manusia normal pada umumnya kemudian membuat Paul Safranek dan Istri bahkan memutuskan untuk menjadi kecil dan mengonversi harta bendanya yang kalau dihitung bisa cukup untuk mereka makan seumur hidup dan memiliki rumah mewah yang selama ini di idam-idamkan namun tak pernah kesampaian di kehidupan normal. Tetapi ternyata persoalan tidak selesai, menjadi kaya raya di dunia mini tak sepenuhnya dialami Paul, ditinggal istrinya dan kemudian tetangga menyebalkan masih kerap ia alami di kehidupan mini-nya.
Kisah soal Dowsizing ini betul-betul membuka mata kita bahwa akar persoalannya bukan pada ukuran manusia yang membuat bumi ini sumpek, tetapi lebih kepada keserakahan manusia.
Saya sebetulnya tak terlalu setuju menggambarkan hidup ini dengan kata serakah, mungkin lebih tepat banyak keinginan-nya. Ngomong-Ngomong soal keinginan, saya ingat dulu waktu kecil waktu masih di rumah lama, kala melihat tetangga atau teman bermain saya yang punya kamar mandi dalam kamar kok rasanya asyik ya, sepintas seperti di hotel-hotel. Bahkan, kerap kali saya bertanya kepada kedua orang tua saya, kenapa si rumah kita tidak punya kamar mandi di dalam kamar, malah di luar saja. Mereka selalu menjawab, Syukuri apa yang kita punya, itu sudah jadi rejeki kita punya rumah segini, yang penting ada tempat berteduh.
Setelah ada rejeki lebih, papa dan mama saya kemudian membeli rumah yang sekarang hanya beda satu komplek saja dengan rumah lama, dan ternyata ada kamar mandi di dalam kamarnya, bukan main senangnya saya kala itu punya kamar mandi di dalam kamar. Awal-awal pindah rumah yang saya ingat betul tanggal kepindahan kami persis dengan tanggal meninggalnya Presiden Soeharto 27 Januari 2008, bukan main senangnya saya, mandi selalu di tempat itu, rasanya sangat menyenangkan masa itu. Makin kesini, kok rasanya biasa saja seperti tak ada yang istimewa lagi. Malah saya lebih sering mandi di kamar mandi luar ketimbang di kamar mandi dalam.
Sepintas beberapa malam sebelumnya saya ungkapkan kisah kamar mandi ini dengan mama saya, jawabnya sederhana saja "Iya, begitulah hidup manusia, kadang memang tak pernah puas, kalau sudah dikasih berkat terus menerus rasanya jadi biasa dan selalu kurang malah sering menuntut lebih." tuturnya. Barangkali memang benar Virus Corona ini akibat Penduduk dunia yang memang serakah dan benar-benar menantang alam dan Tuhan. Maka-nya, saya selalu menganut seperti dalam segala hal, saya lebih percaya untuk tetap berada di tengah-tengah atau dalam kadar yang cukup atau pas. Middle way. Tidak boleh berlebihan, tetapi tidak boleh juga terlalu kekurangan. Pas saja!.
Semakin banyak mengingat keserakahan atau keinginan manusia, semakin saya sadar kalau banyak keinginan dan keserakahan manusia memang sudah menghinggapi sejak manusia pertama kali diciptakan. Padahal, di awal Tuhan sudah menciptakan bumi dan segala isinya dalam keadaan serba cukup. Apapun yang manusia butuhkan, telah Tuhan sediakan, Ironisnya ekploitasi besar-besaran terjadi dan efeknya sudah jelas banyak orang yang justru merasa tak cukup dan selalu merasa kekurangan. Saya tidak menganut teori konspirasi ya, tapi rasa-rasanya boleh jadi virus corona ini bisa dikatakan sebagai ajang bumi untuk bersih-bersih dan untuk istirahat dari kegaduhan umat manusia selama ini.