Ajo. Kalau sobat pernah bermukim di Ranah Minang tentu panggilan ini tak asing lagi. Ajo. Ya ajo, sebuah panggilan untuk kakak, tepatnya kakak laki-laki yang disematkan bagi pria asal Pariaman. Kenalkah sobat dengan Pariaman, dikalau belum cobalah buka kembali atlas, googlemap, atau media peta lainnya. Pariamanku merupakan salah satu daerah tingkat II di Provinsi Sumatera Barat, eh maaf, maksudku salah dua, karena sekarang bersamaan dengan eufaria otonomi daerah telah dimekarkan menjadi dua, kabupaten dan kota, meski kutahu PAD-nya, besar pasak daripada tiang.
Gimana sobat, dah ketemu daerahku, kalau sobat kenal Nabi Muhammad, tentunya juga cucu Beliau yang meninggal karna dibunuh kenal donk, lupa ? saya kasih tau deh, namanya Hasan dan Husein. Trus hubungan dengan kampungku, sabar donk, hubungannya setiap tahun masyarakat daerahku selalu memperingati kematian mereka dengan budaya yang bernama Tabuik. Kalau ingin menyaksikannya silahkan saja datang tiap tanggal 10 Muharram tahun Hijriah. Rame lho. Udah kenal, belum, gimana kalau saya sebut Syeh Burhanuddin, kenal, coba deh tanya ama emaknya, atau neneknya kali. Nah, ulama besar tersebut berasal dari kampungku lho, tiap tahun, peziarah meyemuti makam beliau, hajatannya bernama “basafa”.
Jangan bilang belum kenal kampungku ya, belum, subhanaullah. Pernah makan sate, mau di Medan, di Jakarta, bahkan di Papua sekalipun. Kalau pernah makan sate, atau minimal lihat, terus ada tulisan Sate Padang, nah itu dia, sebenarnya mah sate Pariaman, tapi karna Padang ibukota Sumbar, makanya diluar Padang, lebih terkenal dengan Sate Padang. Belum tau juga, payah nih, siapa sih guru geografinya. Oce deh, kalau gitu pernah dengar cowok Padang kalau mau nikah dibeli, ssst, jangan keras-keras, ntar ninik mamakku (pamanku) marah lho. Nah, sebenarnya mah itu buat cowok Pariaman, bukan Padang, tapi mah sekarang jangankan Padang, daerah lain pun juga mengikutinya lho, padahal, padahal nih, mereka sering mencemooh, eh sekarang malah ngikut, parahnya lebih ekstrim dibanding dengan kampungku.
Sobat, ku terusin ya, aku mau mengklarifikasi nih, sebenarnya mah kami lelaki di Pariaman bukan dibeli, namun dijemput istilahnya. Saya kasih nih bedanya dikit kalau "dibeli" maka uang tersebut dinamakan uang hilang, dan seluruh uangnya diserahkah pihak mempelai perempuan pada pihak laki-laki, ini lho yang sering diterapkan oleh mereka yang bukan berasal dari daerahku. Trus yang satu lagi namanya "uang jemputan", nah kalau ini uang yang diberikan oleh pihak perempuan akan dikembalikan oleh pihak laki-laki, minimal, minimal banget setengah bahkan tak jarang lebih. Namun uang yang diberikan oleh pihak perempuan tersebut bukan bersumber dari kantong mereka, misal dari sumbangan keluarga, kado tamu, dari pihak bako (keluarga pihak ayah), serta lainnya. Ribet, nah disanalah seninya, maka tak heran orang Pariaman terkenal dengan pebisnis ulung, dan tak aneh kalau pedagang Cina tak berani masuk kekampung, bukan soal SARA, namun karna tahu ketemu lawan sepadan sesama pedagang.
Trus tanya donk, setuju ngak yang nulis nih dengan uang jemputan, ya elah setuju atuh, uang jemputan yaa, bukan uang hilang. Sering lho sahabatku yang akademis dan agamis menentang sistem ini. Kalau aku it’s ok. Tapi esok kalau aku nikah, sekarang mah baru nikah, aku ngak mau, dijemput ataupun dibeli. Ups jangan bilang aku ambigu ya, aku setuju, setuju banget, suwer deh, tapi pas aku married aku ngak nerapin boleh donk, iya toh sobat, kan aku orang pariaman, so panggil aku ajo.
Welcome to Pariaman, Sobat Kompasiana,,,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H