Mohon tunggu...
Ronall J Warsa
Ronall J Warsa Mohon Tunggu... -

Menyukai proses mengalirnya air sungai dari hulu ke hilir dan dari hilir ke hulu sungai Mahakam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berdamai Dengan Sungai Mahakam

22 Mei 2012   17:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:57 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1337702485127862776

Sungai Mahakam bukanlah sesuatu yang asing bagi diriku, terlebih semenjak kecil aku sudah didamaikan dengan deras, keruh, serta keanggunan sungai yang terbentang melintasi 2 Kabupaten dan 1 Kota di Kalimantan Timur. Dengan panjang sejauh 920 km, sungai ini meliuk bagaikan Naga yang sedang tidur, dari Kabupaten Kutai Barat, Kutai Kartanegara, hingga Kota Samarinda. Sehingga dapat dikatakan bahwa hampir separuh kehidupan masyarakat dipinggiran sungai Mahakam, bagaikan kutu yang terus berpencar dalam liukkan rambut dan kulit kepala. Sangat dekat, dan begitu dekat, inilah sungai yang membasuh ubun-ubun kepala bayi merah hingga bayi tersebut menjadi tua dan terbujur kaku. Takkkala berumur 4 tahun saja, kaki dan tanganku sudah bermain dengan sungai yang kuning keemasan ini. Jika pagi datang, suara byur...byur hampir pasti jadi musik indah menghantarkan niat untuk bersekolah. Saat senja datang menyapa, derasnya air sungai ini mampu mensucikan diri ketika menundukkan diri pada Sang Pencipta. Sebelum tahun 1990, sungai ini sudah begitu ramainya dilalui oleh berbagai jenis kapal yang terbuat dari kayu hingga besi, dengan berbagai ukuran dan rupa. Namun semenjak tahun 1998, sesuai amanat reformasi dengan angin perubahannya. Sungai Mahakam seakan-akan dituntut mundur dari segala bidang kehidupan manusia yang dulunya bergantung hidup dengannya, terlebih dengan makin merajalelanya jalan-jalan aspal hitam yang meliuk-liuk melintasi 2 kabupaten dan 1 kota tersebut. Menunjukkan bahwa ular-ular tidak mau kalah dengan sang Naga, suatu saat bahkan ular-ular tersebut mulai mengangkangi sang Naga tidur dengan jembatan-jembatan yang berdiri kokoh. Sehingga jangan tanyakan bagaimana nasib generasi muda, anak-anak penduduk pinggir sungai. Yang tidak bernyali menyentuh kelembutan airnya. Mereka tumbuh untuk lebih cepat dan kuat berlari, ketimbang mampu berenang bermain dan menari dengan sang Naga. Apalagi dengan derap kuda besi beroda dua maupun roda empat, maka sampan-sampan pengiring gemerisik suara bambu bernyanyi mulai hilang dari ritual hidup manusiannya. Bergolak lembut dengan rapalan kekuatan alam, sungai Mahakam kembali menunjukkan dirinya adalah sang Naga dari kehidupan manusia. Ia menggoyang tali-tali baja yang bertumpu pada besi baja kokoh hingga rubuh dan memakan puluhan nyawa anak manusia. Kegemparan melanda seantero Nusantara, sungai dimana tempat bermula lahirnya asal-muasal kerajaan tertua menunjukkan nyali dan keberaniannya untuk menggeliat. Untuk mengingatkan bahwa anak-anak pinggir sungai harus lebih akrab, dan kembali dekat dengan penari alam ini. Perlahan-lahan manusia-manusia pinggiran sungai kembali dekat dengan sang Naga, menyentuhkan telapak tangan di tangannya yang lembut lagi hangat. Menggugah rasa dan kerinduan berwujud HABLUM MINAL 'ALAM. Untuk menari lebih dekat lagi, untuk mengerti bagaimana jiwa-jiwa itu adalah kedekatan untuk saling menjaga, bahwa sang Naga adalah pendamping bagi seluruh anak keturunan penduduk pinggir sungai hingga akhir jaman. Bersahabat dengan sungai Mahakam adalah sebuah keharusan, sebagaimana nenek moyang benar-benar meletakkan dasar atas nilai saling mempercayai satu dengan yang lainnya. Melintasi sungai Mahakam dengan kapal kayu, yang menghubungkan Kota Samarinda dengan Tenggarong - Kutai Kartanegara. Benar-benar cara menari yang luar biasa, kesejukkannya menenangkan hati manusia-manusia yang panas oleh gesekkan keakuan diri. Diatas Sungai Mahakam, 18 Mei 2012.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun