Mohon tunggu...
ronaldy hehakaya
ronaldy hehakaya Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Masa Depan Sungguh Ada dan Harapanmu Tidak Akan Hilang

Selanjutnya

Tutup

Politik

Awas Penumpang Gelap di Parlemen!

1 Februari 2011   10:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:59 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penumpang gelap membonceng di hak angket mafia pajak. Bentukan parlemen senayan berbagai partai ini akhirnya tak di dukung dengan bulat,  10 fraksi.  2 fraksi, Partai Demokrat (PD),  dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) melalui fraksinya memerintahkan para kadernya yang sudah tergabung dalam hak angket itu, untuk segera menarik  diri. Segawat itukah hak yang bernama angket mafia pajak? Benarkah, hak angket itu ingin menggoyang pemerintahan SBY - Boediono, supaya tidak bisa stabil?

Yang dimaksud Tjipto dari PD, soal hak angket itu, adalah permainan partai politik (parpol), yang ingin menembak sasaran selain mafia pajak.  Ditakutkan ada penumpang gelap,  karena sudah ada wacana mau diarahkan ke satgas dan sebagainya," keluhnya (detik.com 26/1-2011)

Menurut penjelasan  pasal 27 huruf c UU no 22 tahun  2003, bahwa sebenarnya hak angket adalah  DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintahyang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Jika, berkaca dan berpaut pada penjelasan UU yang dimaksud di atas, maka wajar saja partai pemerintah, dalam hal ini PD, gerah, dan mengkhawatirkan pasal ini, khususnya  dengan tambahan mafia pajak. Bisa-bisa, hak angket ini bisa disalah gunakan pada hal-hal yang tidak perlu. Ujungnya, menggoyang pemerintahan SBY - Boediono. Dan, satgas  mafia hukum yang didalamnya ada nama Denny Indrayana, jelas-jelas menjadi sasaran tembak yang empuk.

Soal Panja dan Pansus DPR

Peneliti Bidang Hukum Indonesian Corruption Watch (ICW), Febri Ferdiansyah,  adalah hal yang tak pasti dan tak terselsaikan penyelesaian kasus hukum yang tersangkut kasus korupsi, dibentuk panja, pansus, dan hak angket (PPHA). Jika ini terjadi, akan mencederai proses hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena adanya tekanan  politik (pembentukan panja,  dll) dalam kasus hukum, terutama korupsi, tegasnya.

Bahkan, Gerakan Rakyat Anti Mafia Hukum (GERAM), dimotori  pengacara senior, Todung Mulya Lubis, dengan lantang menyerukan bahwa penegakan hukum yang ada; Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Komisi Pemberantasan Korupsi,  agar berada di garda terdepan dalam mengungkap kasus-kasus kejahatan korupsi yang terorganisir. Dan, pihaknya (GERAM) mendukung langkah-langkah serta upaya yang dilakukan oleh lembaga penegakan hukum, tegas pengacara  majalah Time versus Soeharto.

Tengoklah sedikit kebelakang, belum genap setahun pansus century yang dibentuk DPR, ujung dan akhirnya melempen dan tak  berhasil mengangkat akar permasalahan yang ada. Jika, pansus ini menjadi acuan pada pembentukan pansus dan panja berikutnya (pasca  pansus century) , pantas  saja kegelisahan dan kegundahan dan skeptis melanda sebagian besar rakyat Indonesia, terutama dari kalangan profesional - independen yang concern  terhadap bidang hukum.

Namun, alasan sebagian DPR membentuk panja, pansus dan hak engket ini, tak terlepas dari keseriusan untuk memberantas dan memerangi korupsi, elak  fungionaris legislatif dari beberapa partai pendukung gerakan pembentukan ini. Bahkan, tegasnya fungsi dari DPR sebagai keputusan politik, gunanya pembentukan  PPHA supaya lembaga penegakan hukum bekerja dengan serius dan tak berkesan  pada siapa  saja, termasuk yang berkuasa, ujarnya lagi.

Jadi, tinggal tergantungt dari kita sebagai rakyat awam yang belum dan mudah-mudahan tidak terkontaminasi pada kepentingan politik, untuk memilih dan memutuskan, bahwa apakah ada keuntungan yang signifikan dengan pembentukan PPHA  bagi kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia, terutama soal korupsi   yang menurun atau sebaliknya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun