Mohon tunggu...
Ronald Wan
Ronald Wan Mohon Tunggu... Freelancer - Pemerhati Ekonomi dan Teknologi

Love to Read | Try to Write | Twitter: @ronaldwan88

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Falsafah Pedagang Tionghoa

9 Maret 2017   07:43 Diperbarui: 9 Maret 2017   08:18 906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Glodok 1872. Sumber http://www.geheugenvannederland.nl

Pandangan umum masyarakat Indonesia terhadap orang tionghoa, semua orang tionghoa adalah kaya raya. Pandangan yang keliru, saya pernah membaca ada orang tionghoa yang menjadi tukang becak di Medan. Pernah juga saya membaca tentang pekerja bangunan tionghoa di Tangerang. Petani pun ada, misalnya petani jeruk di Kalimantan Barat, yang nasibnya terpuruk setelah adanya kebijakan tata niaga jeruk Pontianak pada jaman Pak Harto. Padahal sebelumnya siapa yang tidak kenal jeruk Pontianak, salah satu buah yang sempat merajai pasaran Indonesia.

Selain kaya raya, pandangan umum masyarakat adalah orang tionghoa adalah mereka pedagang atau pengusaha. Pandangan yang cukup tepat, banyak orang tionghoa yang menjadi pedagang. Namun jaman sekarang banyak juga yang hanya pekerja biasa.

Dari pengalaman, pengamatan dan hasil ngobrol-ngobrol dengan pedagang tionghoa. Ada beberapa falsafah yang menurut saya cukup bermanfaat untuk dipelajari.

Hemat dan Sederhana. Pedagang tionghoa selalu berusaha hemat dalam hidupnya. Terutama pada saat mulai berusaha. Mereka akan selalu memperhatikan biaya yang mereka keluarkan. Contohnya pada awal memulai usaha para pedagang tionghoa tidak akan mengambil pegawai yang tidak perlu. Mereka akan memanfaatkan anggota keluarga (istri, anak saudara) untuk membantu mereka. Mereka juga akan selalu memisahkan antara omzet dan keuntungan. Menurut para pedagang yang pernah saya temui, uang omzet sama sekali tidak boleh digunakan selain untuk keperluan membeli dagangan dan membayar biaya-biaya toko. Keuntungan lah yang boleh digunakan untuk keperluan keluarga.

Sederhana, selalu berusaha bersikap low profile. Prinsip ini mungkin sudah mulai ditinggalkan oleh generasi tionghoa sekarang. Dulu saya sering mendengar pengalaman petugas bank di daerah Glodok yang setiap hari  menemui engkoh-engkoh yang bercelana pendek dan berkaos oblong membawa uang banyak dalam plastik kresek untuk disetor. Sekarang saya sering mengamati banyak pedagang-pedagang muda yang naik mobil mewah, mengenakan baju yang mahal dan lainnya, menunjukkan bahwa mungkin sikap low profile atau prinsip hidup sederhana sudah mulai ditinggalkan.

Untung kecil. Falsafah lain yang menarik dan bermanfaat adalah mengambil keuntungan kecil tetapi memiliki banyak pelanggan, Dengan mengambil keuntungan kecil harga yang ditawarkan akan menjadi murah dan akan semakin banyak orang yang berbelanja ke tokonya. Coba bayangkan jika kita mengambil untung Rp. 100,- tetapi jual 1000 mie instant dibandingkan dengan dengan untuk Rp. 300,- tetapi hanya jual 200 mie instant, belum lagi pelanggan akan berbelanja barang lain saat berkunjung ke toko. Selain daripada itu dengan berjualan dengan volume yang tinggi akan bisa mendapatkan tambahan diskon atau bonus hadiah dari distributor barang, jika penjualan mencapai angka tertentu.

Disiplin.Pedagang tionghoa selain disiplin dalam mengelola keuangan, seperti yang saya sudah sebutkan di atas. Mereka juga disiplin dalam menjalankan usahanya. Jika jam buka toko jam 7, walaupun hujan atau panas mereka akan selalu berusaha buka jam 7. Tutup toko atau libur pun akan diusahakan seminimal mungkin atau membuat jadwal tetap, agar pelanggan tidak kecewa. Sudah datang jauh-jauh tapi toko tutup. Pedagang yang ekstrim, pada saat imlek, mereka akan bergantian berjaga. Mungkin suami dengan istrinya atau anaknya. Bergantian untuk mengunjungi saudara, tetapi toko tetap buka sesuai dengan jadwal agar pelanggan tidak kecewa.

Kepercayaan.Pedagang tionghoa akan selalu berusaha menjaga kepercayaan baik kepada pelanggan, relasi bisnis maupun yang lainnya. Barang kw akan dibilang barang kw bukan orisinal. Hutang juga akan selalu diusahakan dibayar pada waktunya. Kepercayaan yang dijaga akan membuat pelanggan loyal dan relasi bisnis akan lebih yakin untuk memberikan bisnis yang lain. Dulu saya pernah mendengar karena kepercayaan yang tinggi dan bisa dijaga dengan baik. Pedagang bisa meminjam uang puluhan juta rupiah ke pedagang lain,  hanya dengan menggunakan tulisan yang ditulis diatas secarik kertas rokok. Namun sekarang banyak saya dengar tentang penipuan atau ketidakjujuran, membuat saya bertanya apakah falsafah ini tetap dijaga? 

Jaringan.Walaupun pedagang lain adalah saingan, para pedagang tionghoa selalu berusaha membentuk jaringan dengan melakukan pertemanan. Dengan jaringan ini mereka akan bertukar informasi dan bisa lebih kuat posisi tawarnya dalam menghadapi pihak lain seperti distributor. Sangat sering saya temui  saat berbelanja di pecinan, satu toko yang tidak memiliki barang yang saya  inginkan, mengambil barang ke toko tetangganya.

Ulet. Saya sering mendengar cerita pedagang tionghoa yang jatuh terus bangun lagi dan jatuh lagi tapi bangun lagi, sampai akhirnya sukses. Seperti bola bekel yang membal setiap kali kita banting. Tidak mudah putus asa. Dengan menjaga kepercayaan dan adanya jaringan, biasanya pedagang yang mengalami kesulitan akan bisa bangkit kembali.

Semoga bermanfaat

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun