Pak Eko seorang penduduk Bandung sempat menjadi bahasan yang viral beberapa minggu yang lalu. Dia memiliki rumah di Ujung Berung Bandung yang karena pembangunan rumah tetangganya pada tahun 2016, kehilangan akses jalan.
Rumahnya tidak bisa diakses sehingga pak Eko terpaksa mengontrak rumah di tempat lain. Tetapi pada akhirnya ada seorang tetangga keluarga almarhum Imas yang mau memberikan akses jalan ke rumah pak Eko. Kompas.com
Kejadian ini sebenarnya adalah suatu bukti bagaimana infrastruktur ini sangat penting. Tanpa adanya jalan masuk (infrastruktur) pak Eko tidak mungkin bisa menempati rumahnya. Jika dijual kemungkinan besar akan ditawar sangat murah dan mungkin hanya tetangga sekitar rumah yang mau membelinya.
Pemerintahan Jokowi-JK menyadari hal ini dan infrastruktur menjadi fokus kerja periode pertama. Tol Trans Jawa yang walaupun belum selesai bisa membantu mengurangi kemacetan mudik Idul Fitri 2018. Di Papua harga semen bisa turun ketika jalan sudah terbangun.
Pembangunan bendungan yang bukan hanya di Jawa diharapkan bisa membantu petani untuk bisa lebih produktif ditambah juga sebagian bisa dijadikan sarana untuk memproduksi listrik hijau.
Sekitar 2.623 km jalan telah terbangun, 7 bandara baru sudah selesai disertai rehab di 439 bandara, 34 pelabuhan pada tahun 2017 Â semua ini adalah data per Oktober 2017. Lebih lengkap baca "Sekilas Data 3 Tahun Jokowi-JK"
Indonesia yang luas namun dipisahkan oleh laut membutuhkan infrastruktur yang mumpuni sehingga distribusi barang dan pergerakan orang bisa lebih baik serta murah. Menunjang perkembangan ekonomi bukan hanya di Jawa namun di seluruh Indonesia.
Apa kata oposisi?
"Membangun infrastruktur itu bagus, tetapi membangunnya secara berlebihan tanpa melihat titik optimumnya berapa, maka dalam jangka pendek dan menengah membuat pertumbuhan ekonomi kita tidak bisa tumbuh cepat," kata Harryadin Mahardika dari Tim Ekonomi Gerindra, di Sekretariat Iluni UI, Salemba, Jakarta Pusat, Kamis (13/9/2018).
Adapun yang dimaksud titik optimum dalam pembangunan infrastruktur adalah total pembiayaan yang digelontorkan dalam lima tahun ini. Harryadin menyatakan bahwa total anggaran lebih dari Rp 4.000 triliun perlu dikaji ulang. Pasalnya, angka tersebut juga termasuk infrastruktur yang tidak terlalu dibutuhkan. Kompas.com
Membaca pendapat Harryadin saya melihat bahwa ekonom Gerindra ini setuju dengan pembangunan infrastruktur namun tidak setuju dengan kecepatan pembangunannya.
Sebuah pendapat yang bagus namun masih bisa diperdebatkan. Pembangunan infrastruktur dewasa ini telah menggunakan teknologi yang maju. Sehingga harus diakui bahwa penyerapan tenaga kerja yang tidak sebanyak dulu menyebabkan efek ekonominya tidak bisa instan. Masih membutuhkan investasi lanjutan yang seharusnya dilakukan swasta.
Namun di sisi lain, Indonesia sangat tertinggal dalam pembangunan infrastruktur. Tidak usah membandingkan dengan China, dibandingkan dengan Vietnam saja kita sudah tertinggal. Saya pernah ke Vietnam, jalan ke luar kota itu lebih besar jika dibandingkan dengan Indonesia.
Terlambatnya pembangunan infrastruktur juga bisa menyebabkan naiknya biaya pembangunan. Sebagai contoh MRT Jakarta jika dilakukan sejak sebelum Jokowi mungkin biaya untuk pembebasan tanah tidak akan semahal sekarang.
Pembangunan jalan tol layang Cikampek yang terlambat juga menyebabkan kemacetan parah di jalan tol tersebut setiap harinya (berapa biaya ekonomi akibat kemacetan tersebut?). Ditambah dengan sudah ramainya tol Jakarta Cikampek pembangunan semakin sulit dan menyebabkan macet yang lebih parah.
Persoalan pertumbuhan ekonomi yang melambat, menurut pendapat saya adalah karena harga komoditas yang menurun. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di zaman SBY salah satu faktor utamanya adalah harga komoditas yang tinggi.
Indonesia sampai saat ini masih mengandalkan ekspor komoditas yang bernilai tambah rendah. Hal ini adalah salah satu hal yang perlu diperbaiki.
Infrastruktur yang tidak terlalu dibutuhkan
Sebuah pertanyaan bagi saya, manakah yang disebut infrastruktur yang belum terlalu dibutuhkan?
Apakah jalan trans Papua? Atau jalan tol di Sumatra? Bendungan di Nusa Tenggara? Jalan di perbatasan? Listrik di pedesaan?
Kita harus ingat bahwa Indonesia bukanlah hanya Jawa. Pembangunan Jawa Sentris tidaklah mencerminkan "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Terlebih lagi luar Jawa telah menyumbang begitu banyak dari hasil komoditas.
**
Kita tahu sama tahu bahwa di Indonesia perubahan pemimpin biasanya akan mengubah kebijakan. Kebijakan yang menurut saya sangat perlu untuk dilanjutkan.
Oleh sebab itu marilah kita beri kesempatan bagi Jokowi untuk melanjutkan kebijakannya.
Salam
Hanya Sekadar Berbagi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H