Indonesia sudah darurat Narkoba, beberapa pejabat termasuk juga Presiden Joko Widodo sudah mengatakan hal ini. Harus diakui bahwa penyelendupan Sabu yang sampai berjumlah Ton atau ribuan kilogram bukan lagi hal yang biasa saja.
Dalam memerangi Narkoba, BNN yang pernah dipimpin oleh Buwas saya rasa sudah memiliki kinerja yang cukup baik. Mungkin belum sekeras Filipina yang diperintahkan untuk langsung tembak mati para penyalur Narkoba.
Hukuman mati sudah banyak dijatuhkan kepada para napi narkoba. Namun sayangnya pelaksanaan hukuman mati ini masih banyak yang belum dilaksanakan. Padahal sudah banyak terbukti bahwa banyak sindikat Narkoba yang dikendalikan oleh para napi ini.
Untuk mengurangi peran para napi yang mengendalikan sindikat dari penjara, sebenarnya bukan hal yang terlalu sulit. Salah satu caranya adalah dengan memblokir jaringan selular yang ada di penjara. Toh para penjaga penjara masih bisa memanfaatkan jaringan telepon kabel.
Tetapi masalahnya adalah kemauan dan mental para penguasa penjara. Diindikasikan ada beberapa napi terutama napi koruptor yang bisa memperoleh fasilitas lebih di dalam penjara. Bahkan bisa keluar jalan-jalan, Gayus sebagai contohnya. Gayus bisa jalan-jalan nonton pertandingan tenis dan kalau nggak salah ingat ke Bali.
Cara yang lebih mudah lagi adalah dengan menjalankan hukuman mati. Hukuman mati pasti minimal akan mengurangi tokoh yang mengendalikan sindikat. Tidak ada lagi godaan kepada para penjaga penjara dan selesai sudah cerita sang pengedar.
Kesulitan yang selalu dijadikan alasan adalah peninjauan kembali (PK) yang menurut putusan MK bisa dilakukan berkali-kali. Ini yang perlu dipertanyakan? Apakah bisa sebuah keputusan MK digugat kembali ke MK.
Toh sudah ada preseden tentang keputusan MK yang bertentangan dengan putusan sebelumnya. Angket KPK yang dinyatakan sah karena KPK dianggap lembaga eksekutif. Padahal dalam putusan sebelumnya dianggap bukan bagian dari eksekutif.
Sebagian orang menganggap bahwa hukuman mati adalah pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Saya ingin bertanya, bagaimana dengan HAM dari korban Narkoba, apakah dibiarkan begitu saja? Juga HAM dari korban koruptor, seperti nasib rakyat Indonesia yang belum bisa menikmati canggihnya E-KTP.
Memang semuanya adalah pilihan mau menjadi korban Narkoba atau tidak. Korban koruptor mungkin juga karena kesalahan memilih pimpinan termasuk juga wakil rakyat yang malah memakan rakyatnya. Tetapi jika dibalik menjadi pengedar Narkoba juga pilihan, jika tidak mau dihukum mati mengapa mau menjadi pengedar?
Saya pikir sudah saatnya semua napi Narkoba yang telah dihukum mati langsung dilaksanakan eksekusinya. Tidak perlu ada penundaan.