Teori Disruptive Innovation pertama dibuat oleh Profesor Harvard Business School Clayton M. Christensen dengan beberapa rekannya pada tahun 1995. Teori ini mengatakan bahwa Disruptive Innovation adalah sebuah proses dimana sebuah perusahaan dengan sumber daya terbatas bisa mematahkan kedigdayaan usaha petahana (penguasa pasar).
Petahana fokus meningkatkan kualitas produk dan jasa untuk  pasar yang mereka kuasai. Serta yang paling menuntut dan juga biasanya yang paling memberikan keuntungan. Peningkatan ini melebihi kebutuhan dari sebagian pasar dan juga biasanya ada pasar yang tidak tergarap.
Penantang biasanya menargetkan pasar yang terlupakan tersebut, paling umum dengan memberikan harga yang lebih rendah. Petahana pada umumnya karena fokus pada keuntungan yang lebih tinggi (diberikan oleh pasar yang memiliki tuntutan lebih) tidak memperdulikan usaha penantang.
Penantang setelah sukses  akan masuk ke pasar yang dikuasai petahana dengan memberikan kualitas yang dituntut tetapi tetap mempertahankan keunggulan yang mereka miliki. Ketika mayoritas pasar pindah ke petahana maka terjadilah "disruption" (gangguan).
Menurut tulisan Prof Clayton di Harvard Business Review pada tahun 2015, Uber tidak memenuhi dua unsur disruptive innovation. Pertama Uber tidaklah menciptakan produk yang bisa memenuhi kebutuhan pasar yang hanya menuntut produk yang cukup baik dengan harga yang rendah, karena perusahaan taksi yang ada sebenarnya tidak atau belum memenuhi tuntutan masyarakat akan taksi yang nyaman, bersih dan mudah dipanggil. Uber diluncurkan pertama kali di San Fransisco sebuah kota dengan jumlah taksi yang cukup dan konsumen Uber pada umumnya adalah orang yang sudah terbiasa naik taksi.
Alasan kedua adalah Uber memang telah meningkatkan jumlah pemakai taksi. Hal ini terjadi karena Uber bisa menciptakan sesuatu yang lebih baik, dengan harga yang lebih murah untuk kebutuhan masyarakat. Tapi Disrupters memulai dari pasar bawah dan pasar yang belum dilayani sebelum akhirnya pindah ke pasar utama. Uber dimulai dari pasar utama dan pada akhirnya menarik pelanggan baru dari pasar yang terlupakan.
Uber menawarkan sebuah kemudahan dalam pemesanan, pembayaran dan pengguna bisa memberikan penilaian terhadap servis yang diberikan sehingga kualitas relatif terjaga. Selain itu Uber juga memberikan harga yang relatif lebih murah dibandingkan dengan petahana.
Kesuksesan Uber adalah karena pada umumnya perusahaan taksi dan tarifnya mempunyai diatur secara cukup ketat di beberapa negara. Sehingga kemampuan perusahaan taksi untuk melakukan inovasi jadi terbatas.
Tetapi di sisi lain, munculnya Grab dan Gojek yang memberikan alternatif pembayaran tunai mungkin bisa dibilang sebuah disruptive innovation di Indonesia. Karena pada awal Uber berjalan di Indonesia, hanya orang yang memiliki kartu kredit yang bisa menggunakan layanannya. Pengguna yang boleh dibilang kalangan menengah atas.
Dengan memberikan pilihan pembayaran tunai, seluruh masyarakat bisa menggunakan jasa taksi dan ojek online. Ditambah dengan tarif yang relatif lebih murah dibanding taksi biasa maka masyarakat yang biasanya tidak menggunakan taksi jadi ikut menggunakan taksi sehingga tercipta pasar yang baru.