Tajuk rencana harian Kompas hari ini tanggal 2 Agustus 2017 berjudul Efektivitas Program Anti kemiskinan menarik perhatian saya. Dikutip sebagian, "selama kurun waktu 2004-2011 anggaran pengurangan angka kemiskinan meningkat 400%, tetapi angka kemiskinan hanya turun 3,37% atau rata-rata 0,56% per tahun. Sejak tahun 2010 angka kemiskinan juga hanya turun kurang dari 1 juta per tahun"
Mengapa?
Menurut pendapat saya hal ini dikarenakan fokus anggaran lebih banyak kepada subsidi langsung. Sehingga yang terjadi adalah lingkar kemiskinan tidak terpatahkan karena rakyat dibiasakan hanya menunggu bantuan bukan diberikan jalan untuk keluar dari kemiskinan. Dengan kata lain rakyat tidak diberdayakan.
Bukan saya anti dengan subsidi, namun subsidi harus diberikan kepada rakyat yang benar membutuhkan sambil diberikan jalan dan dibantu agar bisa berdiri sendiri. Memberi subsidi tanpa pemberdayaan, saya ibaratkan seperti memberikan anak semua keperluannya tanpa memberikan pendidikan formal. Selama kita masih hidup dan mampu mungkin tidak masalah. Bagaimana setelah harta kita habis atau kita sudah tidak ada lagi di dunia fana. Kepada siapa anak harus meminta keperluan hidupnya?
Subsidi yang tidak tepat sasaran salah satunya adalah subsidi BBM, dimana semua pemilik kendaraan bermotor bisa membeli bensin bersubsidi (sekarang sudah tidak dilakukan). Bagi pemilik mobil yang sekarang harga barunya bisa mencapai minimal Rp. 100 juta apakah pantas diberi subsidi?
Pemberdayaan artinya bagaimana pemerintah memberi jalan dan membantu rakyat untuk bisa memperoleh penghasilan lebih dari batas minimal kemiskinan.
Ada dua cara yang menurut saya bisa digunakan untuk memberdayakan masyarakat miskin,
Koperasi adalah suatu wujud ekonomi gotong royong, di mana pemiliknya adalah semua anggota yang tergabung ke dalam organisasi ini. Sehingga keuntungan bisa dirasakan oleh semua anggota. Selain itu dengan bersatu maka nilai tawar kepada pihak lain akan lebih baik, jika dibandingkan dengan bernegosiasi sendiri-sendiri.
Manfaat koperasi sudah dirasakan oleh masyarakat  negara maju seperti Perancis (menyumbang 18% PDB), Belanda (18%) dan Selandia Baru ( 20%). Sedangkan di Indonesia baru menyumbang sekitar 3,99% dari PDB (Produk Domestik Bruto), yang berarti belum dimaksimalkan potensinya.
Salah satu kendala yang dihadapi oleh petani di Indonesia adalah luas lahan yang kecil sehingga tidak efisien jika menggunakan alat pertanian modern. Dengan menggabungkan diri dalam koperasi mungkin lahan ini bisa diolah berbarengan sehingga efisien. Selain itu jika sudah berhasil koperasi bisa mendirikan silo untuk gabah sehingga bisa disimpan hingga 3 tahun.Â