Donald Trump, mencanangkan kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat (AS) baru. Sejak masa kampanye, Trump sudah mengatakan bahwa kebijakan politik luar negeri AS sangat kacau "Our foreign policy is a complete and total disaster". Trump menawarkan solusi dengan slogan "America First". Salah satu realisasi kebijakan ini adalah keluarnya AS dari kesepakatan Paris.
Para duta besar di Washington DC sekarang ini mengalami kebingungan tentang cara bagaimana melakukan diplomasi ke pemerintah AS. Hal ini disebabkan oleh banyak posisi di kementerian luar negeri yang kosong. Seperti posisi wakil menteri dan asisten menteri luar negeri. Posisi yang kosong ini diisi oleh pejabat sementara yang tidak memilki wewenang untuk mengambil keputusan. Kesulitan ini membuat banyak kedutaan besar yang memerintahkan stafnya untuk melangkahi kementerian luar negeri AS dan mencari jalan lain agar suara negara-negara ini bisa didengar.
Donald Trump, saat ini dipandang tidak memilki ideologi tentang isu lain selain perdagangan. Karena itulah, menurut Paul Banahar (Kepala BBC di Washington), ada seorang kepala negara yang mengatakan bahwa bertemu dengan Trump selama 4 menit sama dengan mengadakan rapat dengan pejabat lain selama berjam jam. Pemimpin dunia menyadari bahwa transaksi perdagangan adalah kunci dalam melakukan diplomasi dengan AS.
Presiden Trump dipandang bukan merupakan team player. Sehingga banyak banyak diplomat membungkus suatu isu agar bisa diakui sebagai kemenangan oleh Donald Trump. Untuk memastikan diplomasi berjalan dengan baik, sekutu AS menyesuaikan agenda mereka dengan bahasa dan prioritas Donald Trump.
Arab Saudi melakukan hal ini dalam pertentangannya dengan Qatar, dengan membahasakan bahwa pertentangan ini bukan mengenai pengaruh di Timur Tengah tetapi perang terhadap ekstremis muslim. Pemimpin Amerika Latin juga melakukan hal yang sama, mengubah kata-kata perang terhadap narkoba menjadi perang terhadap teroris.
Seorang diplomat negara barat mengatakan kepada Paul, bahwa ada tiga grup orang yang didengar oleh Trump. Grup yang pertama adalah lingkaran dalam penasihat Gedung Putih, seperti Jared Kushner (menantu Trump), Gary Cohn dan Steve Bannon. Grup kedua adalah para menterinya, walaupun pengaruh terhadap Trump berbeda setiap orangnya. Grup ketiga adalah teman-teman Trump sebelum menjadi presiden dari New York serta industri media dan properti.
Oleh sebab itu, diplomat asing berusaha untuk meyakinkan sebanyak mungkin orang-orang yang masuk dalam grup ini sehingga percaya dengan isu yang mereka bawa. Harapan mereka adalah isu ini disampaikan kepada Trump dan jika cukup sering disampaikan kepada Donald Trump maka dia akan percaya. Tetapi menurut diplomat negara barat yang dikutip sebelumnya mengatakan, ada asumsi bahwa yang paling bisa memengaruhi keputusan Trump adalah orang yang terakhir yang bicara kepadanya. Sebelum keputusan diambil.
Para diplomat asing di AS, pada pagi hari hal yang pertama mereka lakukan adalah melihat cuitan Trump di Twitter. Karena cuitan ini dianggap sebagai cara terbaik atau mungkin satu-satunya cara untuk mengetahui perkembangan kebijakan luar negeri AS.
Salah seorang diplomat mengatakan kepada Paul, banyak politisi di seluruh dunia mencoba untuk belajar dari Trump. Trump yang tidak pernah berpolitik praktis, begitu mencalonkan diri sukses menjadi Presiden Amerika Serikat.
Selalu menarik untuk membaca tentang Trump.
Tulisan ini adalah rangkuman dan pengemasan ulang dari tulisan Paul Danahar (BBC) "The Guilty Secret of every diplomat in Washington DC"