Bulu tangkis Indonesia gagal di babak grup pada kompetisi Piala Sudirman. Setelah kalah dari India 1-4 dan menang dari Denmark 3-2 ternyata masih tidak cukup untuk membawa Indonesia ke babak selanjutnya.
Tim nasional sepakbola usia 22 Indonesia, asuhan Luis Milla, kalah dari Bali United 0-1. Suatu hasil  yang mengecewakan, jauh dari harapan fans timnas sepakbola Indonesia.
Kedua hal ini terjadi, menurut saya adalah karena pola pembinaan Indonesia yang masih lemah. Saya lebih suka menyebutnya pendidikan bukan pembinaan. Karena mendidik mempunyai makna yang lebih dalam daripada sekedar membina.
Pada awalnya, bulutangkis Indonesia bisa berjaya karena bakat yang baik dari pemainnya. Kemudian mulai tertinggal dari RRC yang spartan dalam mendidik pebulutangkis muda. Sampai pernah membajak pelatih dari Indonesia demi meningkatkan prestasi. Indonesia sempat berhasil membuat pola pendidikan bulutangkis yang cukup baik sehingga lumayan mampu mengatasi RRC dan menurun semenjak reformasi 1998.
Dua contoh di atas hanyalah sebuah puncak gunung es dari lemahnya pola pendidikan di Indonesia. Bukan hanya di bidang olahraga tapi di semua bidang bahkan pendidikan dasar. Fokus pendidikan Indonesia masih pada hasil bukan proses. Selain itu sekarang ini masih menekankan yang penting program wajib belajar terlaksana alias seorang anak tetap duduk di bangku sekolah selama wajib belajar. Hasil dari pendidikan tersebut belum dilihat.
Selain daripada itu pola pendidikan di Indonesia, lebih fokus kepada hard skills (kemampuan yang bisa diukur) belum kepada pola yang bisa menyeimbangkan antara hard skills dan soft skills. (ulasan lebih lengkap tentang hard skills dan soft skills bisa baca disini). Padahal menurut beberapa penelitian keberhasilan seseorang sangat dipengaruhi oleh soft skills.
Pernah saya membaca pengalaman guru di Australia yang menceritakan jauh lebih sulit untuk mendidik seseorang untuk mengantri dibandingkan dengan mengajar perkalian. Kebetulan yang dijadikan contoh adalah anak usia tk. Memang jauh lebih mudah untuk menunjukkan keberhasilan dalam mengajarkan hard skills dibanding dengan menilai keberhasilan mengajarkan soft skills yang terkadang baru terlihat hasilnya puluhan tahun mendatang.
Pengalaman saya, guru di masa saya sekolah SD-SMP (1977-1988) tidak hanya mengajarkan mata pelajaran yang diasuh tetapi juga mendidik karakter murid. Saya pernah dilempar penghapus hanya karena duduk di atas meja, ternyata jam istirahat sudah selesai saya lupa turun hehehe. Pernah juga di pukul pakai penggaris kayu karena tidak membuat PR. Kedua hal ini saya anggap bukanlah suatu kekerasan terhadap murid tetapi usaha guru untuk mendidik tentang sopan santun dan tanggung jawab.
Pengajaran yang keras ini sangat membekas dan berguna bagi saya. Sebagai contoh saya selalu mengatakan permisi, menunduk dan memajukan tangan kanan saya setiap kali melewati kerumunan orang (adat Jawa sepertinya) secara otomatis. Mungkin karena sudah tertanam di otak saya. Saya juga sering merasa bersalah jika saya belum menyelesaikan PR di dalam dunia pekerjaan maupun dunia pertemanan dan keluarga.
Sekarang ini sudah memasuki Era Digital, dimana semua orang, tidak peduli usia dan tingkat pendidikan bisa memperoleh informasi yang diinginkan. Sampai cara membuat bom panci juga ada di internet.
Pendidikan soft skills terutama karakter menjadi lebih penting lagi.